Menguji Sifat ‘Final dan Mengikat’ dengan Hukum Progresif
Laporan dari Semarang:

Menguji Sifat ‘Final dan Mengikat’ dengan Hukum Progresif

Putusan yang berbau koruptif perlu dikoreksi.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Prof. Dr. Arief Hidayat S.H., M.S. Foto: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Prof. Dr. Arief Hidayat S.H., M.S. Foto: www.mahkamahkonstitusi.go.id

Mengaku hadir dan berbicara sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang dalam acara Konsorsium Hukum Progresif, Arief Hidayat sempat menyinggung judicial corruption yang terjadi dalam penanganan sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Judicial corruption itu terjadi dalam penanganan sengketa pemilukada yang melibatkan M. Akil Mochtar sebagai majelis.

Setelah Akil ditangkap KPK, terjadi proses delegitimasi MK di mata publik. MK melakukan berbagai cara, mulai dari memperbaiki standar pengamanan sidang hingga meminta pengacara tak menggoda hakim dengan gelimang uang. Bahkan diakui Prof. Arief muncul wacana untuk meninjau ulang putusan MK terkait sengketa pemilukada. Ada gagasan yang ‘menggugat’ sifat final dan mengikat (final and binding) putusan MK.

Secara teoritis, final bermakna putusan MK berkekuatan hukum tetap setelah selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan tidak terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan itu. Sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Suara gugatan itu juga muncul dalam acara Konsorsium Hukum Progresif di Semarang, Jum’at (29/30) siang. Apalagi semasa hidup, Prof. Satjipto Rahardjo –penggagas hukum progresif—memuji MK sebagai lembaga negara yang bermazhab hukum progresif. Pujian itu datang ketika putusan-putusan MK menembus kebuntuan cara berhukum, membawa rasa keadilan, dan memenuhi hak konstitusional warga negara.

Bernard L. Tanja, akademisi Universitas Nusa Cendana Kupang, termasuk yang menyuarakan gugatan itu. Kalau jelas ada bau korupsi dalam putusan, kata dia, putusan itu perlu dikoreksi. Menggunakan kacamata hukum progresif, Bernard mengatakan kepastian yang diperoleh melalui putusan hakim tak bisa dibaca sebagai kepastian an sich, tetapi harus juga memberikan kepastian yang berkeadilan. “Hakim harus memberi tafsir baru pada final dan mengikat,” kata Bernard saat tampil sebagai pembicara.

Arief Hidayat tak menafikan gugatan Bernard. Wacana meninjau ulang putusan MK tentang pemilukada itu buktinya. “Secara tidak langsung telah mempertanyakan keberlakuan sifat final dan mengikat putusan MK,” ujarnya.

Masalahnya, ada prinsip hukum yang berlaku universal, putusan pengadilan harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur). Putusan pengadilan tidak dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan. Dalam konteks ini sifat final dan mengikat putusan MK bersifat mutlak. Kalaupun ada indikasi judicial corruption, daya berlaku sifat final dan mengikat itu tidak terkurangi.

Menggunakan optik hukum progresif, pandangan tersebut bisa saja dipersoalkan. Sangat mungkin sifat final dan mengikat putusan MK berangkat dari asumsi keadaan biasa atau normal-normal saja. Kalau terjadi kejadian yang luar biasa, hakim bisa saja menafsirkan lain. “Betul final tapi dalam keadaan normal. Lah kalau tidak normal, kita lihat kembali?” kata Prof. Arief.

Tindak lanjutnya tergantung pada delapan hakim konstitusi yang tersisa. Menurut Arief, bisa saja Bisa saja ada perbedaan pandangan, yang satu mengatakan hahwa ini sudah final dan secara normatif sudah selesai; yang lain menganggap belum selesai. Pertanyaannya, apakah kedelapan hakim konstitusi mau berpikir out of the box. Arief, yang juga Wakil Ketua MK, mengatakan gagasan itu masih dibayangkan dan mungkin dibahas dalam rapat permusyawaratan hakim. “Kita tunggu karena itu proses,” ujarnya menjawab pertanyaan hukumonline.

Namun peninjauan ulang sifat final dan mengikat putusan MK oleh MK sendiri dikritik Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang, Saldi Isra. Prof. Saldi mengatakan peninjauan kembali suatu putusan oleh majelis yang memutus perkara itu juga adalah sesuatu yang tidak logis. Jika putusan yang sudah final dan mengikat ditinjau ulang, bagaimana pula dengan hak-hak yang sudah timbul dari putusan sebelumnya.

Tags:

Berita Terkait