Kewenangan Pengawasan Notaris di Tangan Kemenkumham
Utama

Kewenangan Pengawasan Notaris di Tangan Kemenkumham

Pemanggilan notaris demi kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan tanpa persetujuan MPD.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
Sidang Paripurna DPR dengan agenda persetujuan Revisi UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjadi undang-undang. Foto: SGP
Sidang Paripurna DPR dengan agenda persetujuan Revisi UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjadi undang-undang. Foto: SGP
Sidang paripurna DPR, Selasa (17/12), menyetujui Revisi UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjadi undang-undang. Salah satu hal menarik dalam regulasi tersebut adalah pengawasan notaris dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui Majelis Pengawas Daerah (MPD), Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dan Majelis Pengawas Pusat (MPP).

Ketua Pansus RUU Jabatan Notaris Andi Rio Idris Padjalangi dalam laporannya mengatakan, Pansus telah meminta masukan dari seluruh pemangku kepentingan antara lain Polri, Kejaksaan, BPN, Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Perhimpunan Bank Swasta Nasional (PBSN), Ikatan Notaris Indonesia (INI), Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), IKAHI dan para pakar kenotariatan. Dalam rapat selanjutnya, Pansus menetapkan 311 Daftar Invetarisasi Masalah (DIM) tetap.

Dikatakan Andi, pembahasan di tingkat Panja menyepakati pembentukan 18 cluster dengan jumlah 72 DIM untuk memudahkan pembahasannya. Ia menjelaskan, 18 cluster itu adalah kewenangan notaris dalam pembuatan akta berkaitan dengan pertanahan, organisasi notaris, persyaratan pengangkatan notaris, pensiun notaris, pengangkatan notaris dalam hal tertentu.

Selain itu, usia cakap melakukan perbuatan hukum, formasi jabatan notaris, bahasa akta, kewajiban notaris, jangka waktu pengambilan sumpah, larangan notaris, ketentuan umum, ketentuan menimbang, pemberhentian sementara notaris, ketentuan sanksi, ketentuan penutup, cuti notaris, dan kewenangan majelis pengawas.

Andi mengatakan, Panja sempat berkonsultasi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan fungsi pengawasan terhadap notaris dan akibat hukum pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.49/PUU-X/2012 tertangal 28 Mei 2013. Menurut Andi, amar putusan MK itu membatalkan frasa ‘dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah’ (MPD) sebagaimana tertuang dalam Pasal 66 ayat (1) UU 30 Tahun 2004. Dengan kata lain, untuk kepentingan peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat memanggil notaris beserta alat bukti yang melekat tanpa persetujuan MPD.

Namun yang menjadi persoalan, kata Andi, bentuk pengawasan notaris yang dikembalikan kepada kewenangan pengadilan. Menurutnya, berdasarkan rapat konsultasi dengan MA disimpulkan bahwa pengawasan dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM melalui Majelis Pengawas Daerah (MPD), Majelis Pengawas Wilayah (MPW), dan Majelis Pengawas Pusat (MPP).

Anggota Komisi III itu berpendapat, pengawasan notaris merupakan tugas murni lembaga eksekutif sehingga pengawasan berada di bawah Kemenkumham. Misal, balai harta peninggalan.

Menurut Andi, tugas hakim di daerah sudah terlampau berat di bidang yudisial. Jika pengawasan terhadap notaris dilakukan hakim, tidak menutup kemungkinan akan mengganggu tugas pokok hakim.

“Setiap laporan pengawasan yang tidak sesuai dapat dilaporkan ke pengadilan. Pasalnya, secara hirarki Kemenkumham dan MA tidak menyatu,” ujarnya.

Dikatakan Andi, MA berpendapat putusan MK No.49/PUU-X/2012 tertangal 28 Mei 2013 tak perlu dikhawatirkan. Pasalnya, notaris memiliki kekuatan hukum terkait hak ingkar. Andi merujuk pada Pasal 170 dan 322 KUHAP, serta Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata.  Menurut Andi, Pasal 170 KUHAP mengakui adanya golongan orang yang atas permintaan mereka sendiri dibebaskan memberikan kesaksian. Antara lain, karena martabat, jabatan atau hubungan kerja yang sah diwajibkan menyimpan rahasia.

Di ujung laporannya, Andi berharap regulasi tersebut dapat memantapkan tugas, fungsi dan kewenangan notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga, menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.

“Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dimaksudkan agar ada sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan, sehingga tugas, fungsi dan kewenangan notaris dapat dilaksanakan dengan baik,” imbuhnya.

Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin menyambut baik penyetujuan Revisi UU Jabatan Notaris. Pasalnya, kata Amir, UU Jabatan Notaris yang ada sebelumnya sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ia mengatakan, revisi UU Jabatan Notaris ke depan menjadi instrumen hukum bagi profesi notaris dalam menjalankan tugas pelayanan publik.

“Dengan mengucapkan Basmallah, presiden menyatakan setuju RUU perubahan UU.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjadi UU,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait