Keputusan Perppu MK Diboyong ke Paripurna
Berita

Keputusan Perppu MK Diboyong ke Paripurna

Empat fraksi menerima, empat fraksi menolak, dan satu fraksi belum menentukan sikap.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Keputusan Perppu MK Diboyong ke Paripurna
Hukumonline
Sejumlah pandangan fraksi partai di Komisi III telah disampaikan di depan pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Dalam Negeri. Pandangan perihal diterima tidaknya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun disebabkan menemui jalan buntu, maka diputuskan diboyong ke sidang paripurna pada Kamis (19/12). “Karena tidak menemui kesepakatan, maka ini dibawa ke paripurna. Kita sepakati dibawa ke forum paripurna,” ujar Wakil Ketua Komisi III, Aziz Syamsuddin di Gedung DPR, Rabu (18/12).

Dalam pandangan fraksi, sebanyak empat partai menyetujui Perppu MK menjadi UU. Keempat fraksi itu adalah Demokrat, Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sedangkan, empat fraksi yang menolak Perppu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hanura, Gerindra, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sedangkan satu fraksi yang belum menentukan sikap adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pasalnya, PPP dalam pandangan fraksinya yang dibacakan Ahmad Yani berpendapat perlu mendapat penjelasan gamblang dari pemerintah. Setelah itu, FPPP akan menentukan sikap menyetujui atau menolak Perppu tersebut.

Menurut anggota Komisi III dari Fraksi Hanura Sarifuddin Sudding mengatakan presiden berhak menerbitkan Perppu menurut Pasal 22 UUD 1945. Namun penerbitan Perppu mesti didasari adanya kegentingan memaksa untuk menyelesaikan persoalan hukum sehingga tidak terjadi kekosongan hukum.

Sudding yang juga ketua Fraksi Hanura berpandangan tindakan reaktif presiden menerbitkan  Perppu tanpa dilandasi pertimbangan hukum dan berdasarkan konstitusi, bukan tindakan bijaksana. Malahan dikhawatirkan dapat disalahgunakan. Pasalnya jika Perppu ditetapkan tanpa memenuhi syarat pasal 21 ayat (1) UUD 1945 serta keadaan obyektif sesuai parameter ‘kegentingan memaksa’, Perppu berbahaya dalam perjalanan demokrasi dan sistem hukum itu sendiri.

Menurutnya, pertimbangan diterbitkannya Perppu tentang MK mengacu pada parameter terjadinya kekosongan hukum dan tak dapat diatasi dengan membuat UU secara prosedur biasa. Pasalnya, memerlukan waktu yang cukup lama.

“Jika presiden konsisten, tentu fraksi Hanura tidak dapat membayangkan berapa banyak Perppu yang akan dikeluarkan oleh presiden mengingat banyaknya anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang tersangkut korupsi,” ujarnya.

Senada, pandangan F-PDIP  yang dibacakan Sugianto Sabran menuturkan tertangkapnya ketua MK Akil Mochtar tidak berarti terjadi kegentingan memaksa. Pasalnya, meski kepercayaan publik terhadap lembaga konstitusi, toh 8 hakim yang tersisa mampu menjalankan tugas kelembagaan tersebut.

Selain itu, dalam Perppu mengatur tentang proses seleksi hakim kontitusi. Mulai persyaratan calon hakim tidak boleh aktif dari partai politik selama tujuh tahun, hingga seleksi dilakukan oleh panel ahli. Menurutnya lembaga yang berwenang di masing-masing lembaga dapat membuat aturan tersendiri terkait teknis seleksi dan pemilihan hakim konstitusi. Sehingga tidak perlu Perppu.

Lebih jauh Sugianto yang anggota Komisi III itu mengatakan materi pengaturan Pasal 20 ayat (2) Perppu No.1 tidak memiliki landasan konstitusional. Pasalnya Komisi Yudisial (KY)dilibatkan dalam bentuk pengaturan tata cara uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan panel ahli. Dengan kata lain, panel ahli dibentuk oleh KY. Sehingga pengangkatan hakim konstitusi melibatkan KY. Padahal dalam Pasal 24B UUD 1945 menyebutkan KY hanya berwenang mengusulkan hakim agung.

“Substansi ini tidak sesuai dengan UUD 1945. Artinya, Perppu ini bertentangan dengan konstitusi,” ujarnya.

Sementara F-Demokrat dalam pandangannya yang dibacakan Eddy Sadeli mengatakan  tindakan presiden menerbitkan Perppu dipandang tepat. Pasalnya sejak tertanggkap mantan ketua MK Akil Mochtar membuat kepercayaan publik menurun. Makanya perlu diambil langkah tepat. Menurutnya, tidak adanya pengawasa terhadap lembaga konstitusi mengakibatkan hal seperti yang dialami Akil.

“Maka perlu dilakukan pengawasan. F-Demokrat menyetujui Perppu MK menjadi UU,” ujarnya.

F-PAN dalam pandangannya yang dibacakan Taslim Chaniago mengamini pandangan Demokrat. Menurut Taslim, tidak adanya pengawasan yang menyebabkan pejabat dapat berperilaku korup. Dengan dilakukan pengawasan melekat, kata Taslim, kewibawaan lembaga dan hakim dapat terjaga.

“PAN berpandangan penerbitan Perppu, telah memenuhi secara konstitusional. Berdasarkan muatan materi Perppu, PAN berpandangan Perppu itu menjadi kaidah hukum dan mengikat,” ujarnya.

Menanggapi pandangan sejumlah fraksi, Menkumham Amir Syamsuddin mempersilakan pengambilan keputusan diboyong dalam rapat paripurna. Ia menghormati sejumlah fraksi yang menolak.

“Kami menyerahkan sepenuhnya kepada komisi. Kami akan mematuhi sepenuhnya apa yang diputuskan oleh komisi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait