Website, Cara Lembaga Hukum ‘Menelanjangi Diri’
Edsus Akhir Tahun 2013:

Website, Cara Lembaga Hukum ‘Menelanjangi Diri’

Tidak ada lembaga negara/pemerintah yang berkenan dicap sebagai lembaga tertutup.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Website, Cara Lembaga Hukum ‘Menelanjangi Diri’
Hukumonline
Rezim kerahasiaan kodratnya memang akan selalu bertentangan dengan rezim keterbukaan. Pertentangan itulah yang beberapa tahun lalu menjadi perdebatan hangat di ruang rapat DPR ketika RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) –sebelumnya bernama RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik- dan RUU Rahasia Negara dibahas dalam waktu yang hampir bersamaan.

Perdebatan itu kini memang sudah tenggelam, dan nasib kedua RUU itu juga berakhir dengan kisah yang berbeda. RUU KIP berhasil digolkan menjadi undang-undang, sedangkan RUU Rahasia Negara setelah bertubi-tubi ditentang, khususnya oleh kalangan LSM, akhirnya kandas.

Meskipun episode RUU KIP versus RUU Rahasia Negara telah usai, namun secara konsep pertentangan antara rezim keterbukaan dan rezim kerahasiaan akan selalu eksis. Sampai kapanpun, rezim keterbukaan yang dalam konteks gerakan reformasi lebih populer disebut transparansi akan terus berupaya menggerus rezim kerahasiaan atau ketertutupan.

Untungnya, atmosfer yang berkembang di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa keterbukaan atau transparansi adalah suatu keniscayaan. Kehadiran Komisi Informasi (KI) Pusat pasca lahirnya UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, juga semakin menegaskan hal itu.

Sesuai fungsinya, keberadaan KI Pusat untuk memastikan warga negara dapat mengakses dengan leluasa informasi-informasi yang bersifat publik. Kewenangan KI Pusat sebagaimana diamanatkan UU KIP adalah menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.

Upaya mendorong terwujudnya transparansi di Republik ini pada perkembangannya tidak terbatas pada pembentukan KI Pusat. Gerakan transparansi kini meluas dan bahkan sudah terjadi sinergi antara lembaga negara/pemerintah dan LSM dalam bentuk Open Government Indonesia (OGI).

Dikutip dari http://opengovindonesia.org, OGI adalah sebuah gerakan untuk membangun pemerintahan yang lebih terbuka, lebih partisipatif dan lebih inovatif. OGI didirikan pada tanggal 20 September 2011.

Tim Inti OGI terdiri dari Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian pembangunan (UKP-PPP), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Komisi Informasi Pusat (KIP), Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).

Berikutnya, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Transparency International Indonesia (TII), Gerakan Anti Korupsi Aceh (Gerak Aceh), JARI Indonesia, dan Komite Pemantau Legislatif Makassar (KOPEL) Makassar.

Dalam rangka pelaksanaan tugasnya, OGI telah merancang sejumlah rencana aksi. Yang teranyar adalah e-Transparency Award 2013. Dikutip dari laman www.antaranews.com, e-Transparency Award adalah penghargaan yang menjadi bagian dari program IMAGES (Improving Ministries and Agencies Website for Budget Transparency) yang digagas oleh Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan didukung secara aktif oleh berbagai elemen masyarakat sipil.

Dalam e-Transparency Award, yang menjadi tolak ukur untuk menilai tingkat transparansi sebuah lembaga adalah website atau situs. Terdapat lima kategori penilaian yaitu ketersediaan informasi anggaran, informasi kinerja, arsitektur website, tatakelola informasi, dan antar muka pengguna. Hasilnya, Kementerian Perindustrian dinobatkan sebagai website terbaik mengalahkan 47 lembaga lainnya.

Menelanjangi Diri
Pertanyaannya, kenapa website? Sebenarnya banyak tolak ukur lain yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat transparansi sebuah lembaga negara/pemerintah seperti publikasi cetak, pengumuman melalui media massa, dan sebagainya. Namun, sulit memang dipungkiri bahwa website di era teknologi informasi saat ini merupakan sarana paling mudah dan efektif untuk menyampaikan informasi ke publik.

Keunggulan utama website jika dibandingkan dengan sarana informasi publik lainnya adalah tiada batas ruang dan waktu. Informasi melalui website dapat menjangkau masyarakat dimanapun dan kapanpun. Kuantitas informasi yang dapat ditampilkan di ruang maya pun relatif tidak terbatas. Dengan keunggulan ini, lembaga-lembaga negara/pemerintah berlomba-lomba membangun website lembaga.

Saat ini, bisa dikatakan (nyaris) tidak ada lembaga negara/pemerintah yang tidak memiliki website. Dalam rangka menjawab tuntutan reformasi birokrasi, tidak ada lembaga negara/pemerintah yang berkenan dicap sebagai lembaga tertutup. Buktinya, coba simak pernyataan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali beberapa hari lalu saat penyampaian laporan akhir tahun 2013, Senin lalu (30/12).

"MA ini sudah terbuka, bahkan seperti 'setengah telanjang'. Saya heran kalau masih ada yang bilang MA tertutup," kata Hatta Ali.

Frasa ‘setengah telanjang’ yang dilontarkan Ketua MA mungkin bermakna konotatif, namun inti dari penarapan prinsip transparansi hakikatnya memang ‘menelanjangi’ diri sendiri. Dan, salah satu caranya adalah dengan menampilkan informasi sebanyak-banyaknya di website lembaga. Tuntutan publik ini termasuk juga menyasar pada lembaga-lembaga hukum.

Kembali ke ­e-Transparency Award 2013, menariknya, tercatat hanya ada dua lembaga hukum yang masuk 10 besar website terbaik lembaga negara/pemerintah kategori yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (peringkat 4) dan Mahkamah Konstitusi (peringkat 7). Dari hasil ini, muncul pertanyaan bagaimana dengan website lembaga-lembaga hukum lainnya? Bagaimana kualitas dan efektivitas website-website lembaga hukum yang ada di negeri ini?

Berangkat dari pertanyaan tadi, redaksi hukumonline tertarik mengangkat tema “Menakar Efektivitas Website Lembaga Hukum” untuk edisi akhir tahun 2013. Di edisi khusus ini kami mencoba memaparkan profil website beberapa lembaga hukum seperti KPK, MK, MA, Polri, Kejaksaan, Kemenkumham, dan sebagainya. Metode utama liputan edisi khusus akhir tahun 2013 adalah wawancara narasumber yang kompeten dan riset literatur.

Sebagaimana tradisi edisi-edisi khusus hukumonline sebelumnya, edisi khusus akhir tahun 2013 akan menampilkan seri tulisan dalam beberapa format rubrik seperti Berita, Fokus, Komunitas, Wawancara, dan Bahasa Hukum.

Akhir kata kami ingin menyampaikan Selamat Tahun Baru 2014, dan selamat menikmati Edisi Khusus Akhir Tahun 2013.
Tags:

Berita Terkait