Pekerja Sektor Informal di ASEAN Minim Jamsos
Berita

Pekerja Sektor Informal di ASEAN Minim Jamsos

Sebagian besar pekerja informal di negara-negara anggota ASEAN belum mendapat Jaminan Sosial).

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pekerja Sektor Informal di ASEAN Minim Jamsos
Hukumonline
Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muchtar Luthfi, mengatakan sebagian besar pekerja sektor informal di ASEAN minim mendapatkan perlindungan Jamsos. Akibatnya, pekerja informal bekerja tanpa perlindungan jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja. Sebaliknya, pekerja sektor formal sudah berjalan cukup baik. Cuma, cakupan perlindungan Jamsos di beberapa negara hanya meliputi jaminan kesehatan dan hari tua.

"Sebagian besar pekerja informal di ASEAN tidak mendapatkan akses perlindungan jaminan sosial. Oleh karena itu dibutuhkan dorongan agar penerapan jaminan sosial lebih baik lagi," kata Luthfi  dalam keterangan pers yang diterima hukumonline.

Mengutip hasil laporan ILO, Lutfhi mencatat hampir di seluruh negara berkembang memiliki kesamaan bentuk perlindungan sosial, terutama bagi pekerja sektor formal, berupa jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja. “Untuk pekerja informal, berdasarkan laporan ILO, kondisi dan kesehatan kerja mereka kadang masih kurang, bahkan kadang tanpa perlindungan sosial atau kesehatan”.

Luthfi berharap Jamsos bisa lebih baik lewat BPJS. Jamsos bukan hanya memberi perlindungan bagi pekerja formal atau informal tapi juga masyarakat luas. Skema perlindungan Jamsos di ASEAN sebagaian besar kontribusi pemerintah, pekerja dan pengusaha. “Untuk itu sangatlah penting keterlibatan organisasi serikat pekerja dan pengusaha bersama-sama ikut terlibat dengan pemerintah dalam menyusun kebijakan maupun program terkait jaring pengaman sosial,“ tuturnya.

Bagi Lutfhi, dengan menjalin hubungan yang kondusif antar pemangku kepentingan maka akan memperbaiki iklim usaha dan penerapan Jamsos. Selain itu pengalaman negara lain dalam menerapkan Jamsos patut dipelajari untuk diadopsi. Misalnya, Jepang terkenal dalam memberikan proteksi yang baik terhadap para pekerja. “Jepang mampu memberikan perlindungan lebih baik karena iuran yang dibayarkan juga lebih tinggi. Dari sini kita dapat belajar," katanya.

Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan  berdasarkan data BPS, jumlah pekerja sektor informal pada Februari 2012 mencapai 70,7 juta orang atau 62,71 persen dari total pekerja. Jumlah yang tergolong besar itu dapat dinilai sebagai salah satu bentuk kegagalan pemerintah dalam membangun industri nasional. Sehingga, terdapat tenaga kerja yang tidak terserap lapangan kerja sektor formal.

Walau begitu, Timboel melanjutkan, pekerja informal termasuk pemangku kepentingan dalam pembangunan perekonomian. Karena itu pemerintah perlu memperhatikan keberadaan pekerja informal melalui perlindungan Jamsos.

Timboel melihat selama ini pekerja informal belum tersentuh Jamsos. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Jamsos, seperti UU No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) menurutnya belum secara penuh mengakomodir kepesertaan pekerja informal. Padahal, Jamsos bagi pekerja dan keluarganya sangat penting karena mampu memberi rasa aman dan tenang dalam bekerja.

Tapi kondisi itu saat ini mulai diperbaiki lewat UU SJSN dan BPJS karena pekerja sektor informal tercakup sebagai peserta program Jamsos yang digelar BPJS. Sehingga dapat dikatakan posisi pekerja formal dan informal setara dalam mendapatkan Jamsos. Tapi sayang, pemerintah belum fokus melibatkan pekerja informal menjadi peserta BPJS. Salah satu penyebab yaitu terkait keterbatasan dan ketidakpastian pendapatan pekerja informal. Tapi bagi Timboel hal itu mestinya tidak menghambat kepesertaan pekerja informal dalam BPJS, bahkan pemerintah mestinya mengulurkan bantuan. Salah satu caranya yaitu mensubsidi iuran Jamsos untuk pekerja informal.

Timboel mencatat subsidi iuran bagi pekerja informal itu telah dipraktikan oleh pemerintah daerah Purwakarta dan PT Jamsostek. Yaitu mengikutsertakan pekerja informal sebagai peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Menurutnya praktik itu dapat diadopsi pemerintah pusat dengan cara menerbitkan regulasi. Sehingga seluruh Pemda didorong untuk membiayai beberapa program Jamsos.

Untuk program Jaminan Kesehatan yang digelar BPJS Kesehatan, kata Timboel, lewat APBN, pemerintah dapat mengikutsertakan pekerja informal sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) karena sebagian besar pekerja informal tergolong miskin dan tidak mampu. Hal itu dapat dilakukan dengan cara menaikan jumlah PBI yang sekarang jumlahnya hanya 86,4 juta orang. Sedangkan dalam regulasi program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah harus memasukan ketentuan terkait kepesertaan pekerja informal. Timboel juga mengingatkan pemerintah agar tidak lupa memperhatikan Jamsos bagi pekerja rumah tangga (PRT).

Timboel berharap pemerintah memasukan klausul penerapan Social Protrection Floor (SPF) yang diterbitkan ILO. Klausul itu merupakan salah satu syarat sebelum Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015 diberlakukan. Penerapan klausul itu menurut Timboel sangat penting dalam rangka melindungi pekerja migran Indonesia yang bekerja di negara ASEAN. Baik mereka yang bekerja di sektor formal atau informal.

“Banyak pekerja migran kita yang berstatus pekerja formal maupun pekerja informal di Malaysia dan Singapura. Hal ini untuk menutupi kelemahan SJSN dan BPJS yang tidak meng-cover pekerja migran kita di luar negeri, sementara pekerja asing yang minimal bekerja 6 bulan di Indonesia berhak atas jaminan sosial di Indonesia,” urai Timboel.

Dari pantauannya, Timboel melihat selama ini pemerintah kurang memperhatikan pentingnya Jamsos bagi pekerja migran Indonesia. Oleh karenanya penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dapat dijadikan momentum pemerintah untuk serius melindungi pekerja migran Indonesia lewat Jamsos.
Tags:

Berita Terkait