Dewan Etik vs MKHK Timbulkan Problem Hukum
Fokus

Dewan Etik vs MKHK Timbulkan Problem Hukum

Aturan Dewan Etik dan MKHK rentan dipersoalkan warga negara.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Peristiwa tertangkapnya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Akil Mochtar oleh KPK terkait dugaan suap dua sengketa Pemilukada Gunung Mas dan Lebak, Rabu 2 Oktober 2013 silam, membuat MK dan publik benar-benar shock. Soalnya, tak tanggung-tanggung aktor yang terlibat di dalamnya adalah orang nomor satu di lembaga pengawal konstitusi itu. Belum pernah ada di dunia ketua Mahkamah Konstitusi ditangkap karena menerima suap kecuali di Indonesia. Tidak heran, citra MK yang selama ini dikenal berwibawa dan bersih, langsung jatuh ke titik nadir.

Sejak saat itu, muncul desakan publik agar hakim konstitusi diawasi sebuah lembaga permanen yang berfungsi menjaga keluhuran martabat dan perilakunya. Sejak MK berdiri, belum ada organ/lembaga yang mengawasi hakim konstitusi. Awalnya, Komisi Yudisial (KY) dianggap berwenang mengawasi hakim konstitusi. Namun, MK membatalkan fungsi pengawasan KY terhadap hakim konstitusi lewat uji materi UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY yang dimohonkan 31 hakim agung. Lewat Putusan MK bernomor 005/PUU-IV/2006 dinyatakan hakim konstitusi tidak termasuk objek pengawasan KY.

Desakan itu direspon MK dengan membentuk Dewan Etik Hakim Konstitusi lewat Peraturan MK No. 2 Tahun 2013 yang bertugas mengawasi perilaku hakim konstitusi. Setelah melalui proses seleksi, Kamis (12/13), Pansel Dewan Etik memilih 3 anggota Dewan Etik yakniProf Abdul Mukhtie Fadjar (mantan hakim konstitusi), Prof Muhammad Zaidun (akademisi), dan Dr. KH A. Malik Madani (tokoh masyarakat) yang efektif bekerja per 1 Januari 2014. Organ ini merekomendasi pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) untuk mengadili hakim konstitusi yang diduga melanggar etik kategori berat.

Hampir bersamaan, presiden pun menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Awalnya menuai polemik, tetapi akhirnya DPR mengesahkan Perppu MK itu menjadi undang-undang, pada Kamis (19/13). Beleid inimemberi wewenang KY membentuk MKHK bersama MK yang bersifat tetap dan sekretariatnya berkedudukan di KY. MKHK ini beranggotakan lima orang dari unsur mantan hakim konstitusi, praktisi hukum, dua orang akademisi, dan tokoh masyarakat. Seperti termuat dalam Pasal 27A UU MK perubahan kedua.

Sama hal Perppu MK, pembentukan Dewan Etik menuai kritikan dari sejumlah pihak yang disinyalir akan terjadi tumpah tindih pengawasan. Sebab, keduanya sama-sama memiliki fungsi menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi. Pembentukan Dewan Etik - yang dibentuk berdasarkan peraturan MK ini - juga dinilai bertentangan dengan UU MK, sehingga diusulkan dibubarkan.

Hingga tulisan ini diturunkan, MK belum bersikap mengenai status keberadaan Dewan Etik ini sejak Perppu MK disahkan DPR menjadi undang-undang. Namun, sebelumnya Ketua MK Hamdan Zoelva menyatakan tetap akan membentuk Dewan Etik terlebih dulu, setelah itu MKHK. MK akan melihat perkembangannya sambil menyusun peraturan bersama antara MK dan KY terkait pembentukan MKHK dan penyusunan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sesuai amanat UU MK perubahan kedua.    

Rentan dipersoalkan
Jika dicermati dari proses pembentukan Dewan Etik dan MKHK ini, anggapan akan terjadi tumpah tindih pengawasan memang sangat dimungkinkan. Selain akan menimbulkan rivalitas diantara anggota Dewan Etik dan MKHK, dari segi komposisi keanggotaan kedua organ pengawasan itu hampir serupa. Karena itu, sangat beralasan jika Dewan Etik diusulkan untuk dibubarkan. Agar efisien, tiga anggota Dewan Etik yang sudah terpilih bisa diakomodir dalam keanggotaan MKHK.

Selain itu, Dewan Etik dapat merekomendasikan pembentukan MKHK terhadap hakim konstitusi yang diduga melanggar etik kategori berat. Persoalannya, MKHK mana yang akan diterapkan, MKHK versi UU MK perubahan kedua atau versi Peraturan MK No. 1 Tahun 2013 tentang MKHK. Peraturan MK itumengatur komposisi keanggotaan MKHK terdiri dari unsur hakim konstitusi, mantan hakim konstitusi, mantan ketua lembaga negara, akademisi, dan pimpinan KY. Komposisi ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai aturan MKHK mana yang akan diterapkan.

Unsur pimpinan KY dalam MKHK menunjukkan sikap “kebingungan” MK saat mengadili Akil Mochtar. Sebab, kehadiran unsur KY, MA, DPR, dan pemerintah dalam keanggotaan MKHK dalam Pasal 27A ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK juga telah dibatalkan MK. Alasannya, keempat unsur itu akan mengganggu kemandirian hakim konstitusi dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan ketika menjadi pihak berperkara di MK.                           

Persoalan lain, aturan Dewan Etik maupun MKHK potensial menimbulkan problem hukum di kemudian hari. Sebab, keduanya sangat rentan dipersoalkan warga negara melalui judicial review (uji materi) ke MA dan MK. Keberadaan Dewan Etik dinilai bertentangan undang-undang karena istilah Dewan Etik sama sekali tidak dikenal dalam UU MK. Sementara MKHK yang melibatkan peran KY dalam pengawasan hakim konstitusi pun rentan dipersoalkan. Seperti halnya, Perppu MK yang diujimaterikan beberapa kelompok masyarakat meski pengujian Perppu MK bakal dihentikan MK lantaran objeknya sudah tidak ada.

Alasannya klasik, hakim konstitusi tidak termasuk objek pengawasan KY sesuai Putusan MK bernomor 005/PUU-IV/2006 dan 49/PUU-IX/2011 tentang pengujian Pasal 27A ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang membatalkan keterlibatan anggota KY dalam keanggotaan MKHK. Jika pengujian itu benar terjadi, tentunya akan membuat MK dalam posisi sangat dilematis. Dalam konteks ini, menuntut MA dan MK bersikap arif dan bijaksana demi kepentingan negara yang lebih luas.

Terlepas dari persoalan itu, sudah seharusnya MK tetap berkomitmen untuk memiliki lembaga pengawas apakah itu bentuknya Dewan Etik dan atau MKHK secara permanen agar keluhuran dan martabat hakim konstitusi tetap terjaga. Kehadiran lembaga pengawas diharapkan dapat mengembalilkan atau memulihkan citra MK di mata publik paska kasus Akil Mochtar. Semoga.
Tags:

Berita Terkait