Hukum Belum Seperti Pantha Rei
Catatan Akhir Tahun 2013:

Hukum Belum Seperti Pantha Rei

Hukum menjadi tersumbat, tidak mengalir lancar. Sumbatan itu suatu waktu akan jebol karena terus membesar. Inilah yang kemudian menjadi “legal chaos.”

Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Sepanjang tahun 2013, agaknya banyak catatan dalam bidang hukum yang perlu dicermati. Proses penegakan hukum (law enforcement) yang berlangsung, belumlah seperti “pantha rei”. Ini adagium yang dipopulerkan Heraclitus, filosof asal Yunani Kuno yang hidup jauh sebelum Socrates. “Pantha rei” artinya seperti air yang mengalir. Jadi, hukum itu harus seperti air yang mengalir agar mampu menyejukkan peradaban dan ketertiban.

Memang berbagai langkah-langkah hukum di tahun 2013, yang dilakukan aparat penegak hukum, patut diapresiasi. Yang menonjol seperti penindakan tindak pidana narkotika, terorisme dan korupsi serta tindak pidana lainnya. Karena hampir setiap hari menjadi pemberitaan di media cetak maupun elektronik dan menyita perhatian publik.

Namun di balik gegap gempitanya penegakan hukum itu terlihat institusi penegak hukum lebih berorientasi pada pencapaian target. Mengejar kuantitas, bukan kualitas, sehingga terkesan secara kasat mata, langkah-langkah penegakan hukum itu lebih mengutamakan untuk memberikan kepuasan kepada masyarakat.

Hal ini mengakibatkan terabainya prinsip keadilan, yang sejatinya menjadi tujuan penegakan hukum. Menipisnya public trust masyarakat pada hukum, membuat institusi penegak hukum menjalankan hukum dengan sistem jagal. Terkesan, siapapun yang menjadi tersangka, seolah sudah bersalah. Ini terang benderang mengebiri prinsip presumption of innocent (praduga tak bersalah), sebuah azas yang begitu agung dalam sistem rechstaat ini.

Karena terkesan sekali institusi penegak hukum menegakkan hukum, dengan mengikuti kemauan masyarakat. Ini berarti mengikuti logika awam. Bukan logika hukum. Padahal, prinsip hukum bekerja berlandaskan norma-norma. Keadilan adalah puncak dari pencapaian hukum itu. Alhasil proses law enforcement banyak terjebak demi mengikuti logika awam tadi.

Kondisi ini tentu sangat membahayakan kultur hukum (legal culture). Karena jika logika awam yang dikembangkan, tentu norma-norma hukum menjadi terkebiri dan keadilan menjadi suatu yang absurb. Keadilan menjadi berlandaskan suara orang banyak. Padahal keadilan adalah suatu titik dimana hukum menjadi kekuatan. Tidak bisa berlandaskan suara orang banyak.Karena jika penegakan hukum dasarnya demi memuaskan orang banyak, maka hasilnya sama dengan “main hakim sendiri”. Karena prinsip keadilan menjadi terpinggirkan. Inilah yang masih tercermin dalam proses penegakan hukum di tahun 2013.

Alhasil lembaga peradilan menjadi terkesan sebagai “tukang jagal”. Setiap tersangka, seolah wajib dijadikan terpidana. Seolah pihak yang tersangka, sudah dinyatakan bersalah. Inilah bukti presumption of innocent menjadi terkebiri. Jika terus dibiarkan, kondisi ini tentu akan merusak tatanan hukum. Akan merusak kultur hukum. Dan, hukum tak berjalan seperti “pantha rei”. Hukum menjadi tersumbat, tidak mengalir lancar. Sumbatan itu suatu waktu akan jebol karena terus membesar. Inilah yang kemudian menjadi “legal chaos.”

Bukan itu saja. Azas-azas hukum yang universsal, seperti equality before the law, lex specialist derogat lex generalis , lex posteriori derogat lex priori, terkesan masih terpinggirkan. Karena bukan rahasia umum lagi, institusi penegak hukum rentan terhadap tekanan publik daripada kebenaran materil yang berlandaskan negatief wetelijk system.

Hal ini terjadi karena para penegak hukum terjebak pada ego sektoral, euforia kekuasan dan popularitas. Selain itu pengadilan sendiri sebagai the last corner stone, yaitu muara terakhir dari pencari keadilan, gamang dengan opini yang terbentuk. Alhasil, pengadilan berubah menjadi ajang untuk memenuhi hasrat opini orang banyak. Hasrat untuk memenuhi kepuasan pendapat awam. Bukan untuk memenuhi prinsip keadilan. Karena tak heran, putusan hakim banyak yang bersifat sekedar “buang badan.”

Tahun 2014 berbagai hal itu tidak boleh terjadi lagi. Harus diambil langkah yang signifikan dengan merevisi berbagai produk legislasi yang memberi ruang terjadinya hal itu. Dan petinggi insitusi hukum harus meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi terkait dengan permasalahan hukum dengan duduk bersama.

Disamping itu, para pakar hukum jangan hanya diam berpangku tangan. Tetapi harus menyuarakan keprihatinan dalam upaya menggugah pihak-pihak terkait. Begitu juga barisan advokat untuk lebih proaktif dalam membela kepentingan pencari keadilan, agar mereka tidak tersandera oleh tindakan penegak hukum yang semena-mena (abuse of power).

Selain itu, penegakan hukum juga terkesan lumpuh kala menghadapi aksi premanisme. Karena sangat disayangkan sekali aparat penegak hukum ketika berhadapan dengan aksi-aksi brutal dan premanisme yang muncul di berbagai daerah,tidak ditindak tegas.Ini jelas meresahkan masyakarat. Aparat keamanan hampir-hampir tak berdaya. Tentu kondisi ini kembali membuat sistem hukum menjadi tersumbat. Tidak berjalan lancar, seperti “pantha rei”.

Memang premanisme di Jakarta berupaya diberangus. Tapi berbagai kelompok anarkis di daerah dibiarkan tumbuh subur. Kondisi ini tentu tidak mencerminkan ditegakkannya keadilan.

Di Indonesia ini yang lebih berbahaya adalah preman berdasi. Dialah bos yang mengendalikan preman-preman ini dengan dukungan aparat penegak hukum dari atas sampai bawah. Ini benar-benar melecehkan penegakan hukum di Indonesia seperti halnya kasus pendudukan sebuah Hotel di Bali oleh kalangan preman-preman, tanpa dasar apapun.

Harapan Tahun 2014
Tahun 2014 KPK harus mengusut korupsi yang dilakukan korporasi. Partai politik yang jelas merupakan bentuk korporasi apabila terbukti memberikan dukungan kepada pengurus partainya seperti bendaharanya melakukan korupsi dan dinikmati partainya, maka layak di usut sebagai tindak pidana korupsi. Dan secara politik partainya juga bisa dibubarkan.

Untuk menghadapi Pemilu 2014, aparat penegak hukum harus siap mengawal pesta demokrasi itu. Institusi penegak hukum menjadi “satpam” yang mengawal agar pesta itu berjalan lancar. Setiap parpol yang korupsi, harus ditindak, tanpa pandang bulu.

Selain itu, tahun 2014, institusi penegak hukum harus meningkatkan orientasi kerjanya. Tidak lagi mengejar kuantitas, tapi kualitas. Keadilan harus ditegakkan. Bukan lagi kepuasan masyarakat banyak, yang cenderung berpikir bukan berlandaskan keadilan. Pengadilan harus mampu menjadi ajang untuk menegakkan kebenaran materil. Bukan terjebak pada kebenaran formil.

Demikianlah catatan akhir tahun 2013 AAI ini. Hukum harus berjalan seperti “pantha rei”. Hukum harus tegak dan keadilan bersarang di dalamnya.

*KETUA UMUM DPP AAI
Tags:

Berita Terkait