Banyak Media Online Labrak Kode Etik Jurnalistik
Berita

Banyak Media Online Labrak Kode Etik Jurnalistik

Akurasi adalah pelanggaran yang paling banyak dilakukan

Oleh:
HRS
Bacaan 2 Menit
Banyak Media Online Labrak Kode Etik Jurnalistik
Hukumonline
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia melihat mayoritas media online tidak lagi memperhatikan kode etik jurnalistik saat menyajikan beritanya. Ini merupakan hasil penelitian kecil AJI terhadap tantangan media berbasis internet.

“Rata-rata 6 dari 10 media online melanggar kode etik,” tutur Ketua Umum AJI Eko Maryadi kepada hukumonline, Kamis (16/1).

Eko menuturkan pelanggaran etik yang banyak dilakukan media online adalah persoalan akurasi. Atas nama kecepatan, banyak media online yang tidak lagi memperhatikan keakurasian berita. Contoh kecil adalah ejaan nama narasumber yang masih sering salah.

Ketidakberimbangan berita acapkali menjadi tantangan media online. Eko melihat media siber ini jarang mewartakan suatu berita secara berimbang. Sedikit informasi saja tanpa menguji kebenarannya sudah dapat ditayangkan dan dikonsumsi masyarakat. Padahal, prinsip dasar media adalah harus selalu melakukan check danrecheck, cover both side.

Fenomena ini, sambung Eko, dapat merugikan hak masyarakat. Masyarakat berhak memperoleh informasi secara benar. Tidak hanya itu, masyarakat juga berhak untuk mendapatkan berita secara utuh. Namun, lagi-lagi media siber mengabaikan prinsip dasar tersebut.

Kelengkapan dan keutuhan suatu berita menjadi hal langka. Berbeda dengan media cetak, media online seringkali menyuguhkan suatu berita secara sepotong-potong. Melengkapi berita pertama yang telah ditampilkan tersebut dapat dilihat pada berita kedua atau ketiga. Tentu saja hal ini menjadi persoalan. Sebab, esensi suatu berita menjadi hilang.

“Pemecahan berita dapat menghilangkan esensi dari suatu berita itu,” lanjut Eko.

Anggota AJI Indonesia yang turut melakukan riset untuk Persoalan Tata Kelola Internet di Indonesia Johanes Heru Margianto mengamini apa yang dikeluhkan Eko. Berdasarkan penelitiannya, media online memang banyak yang tidak mengikuti kode etik jurnalistik dalam pemberitaannya.

Prinsip 5W+1H yang menjadi komponen utama suatu berita sudah diabaikan. Prinsip itu adalah sebuah berita harus memuat informasi what (apa), when (kapan), where (dimana), who (siapa), why (mengapa), dan how (bagaimana). Ia melihat banyak media online yang hanya menayangkan berita dengan komponen 3W+1H. “Keberimbangan ini tidak hadir dalam satu berita, tapi berita selanjutnya,” ucapnya di dalam diskus yang diselenggarakan AJI, Kamis (16/1).

Pria yang telah lama menjadi jurnalis online di suatu media nasional ini melihat prinsip update dan mengalir adalah nilai baru. Heru  tidak mengetahui sejak kapan dan siapa yang memulai ketika berita yang belum diuji kebenarannya seperti verifikasi dan konfirmasi dapat dijadikan suatu berita. Sehingga, banyak jurnalisme di internet yang sering dituding memuat berita yang tak berimbang.

“Pada titik ini, dimana seharusnya media berdiri, kecepatan atau akurasi,” tanyanya.

Meskipun banyak media siber yang melanggar kode etik, khususnya akurasi dan keberimbangan, Eko menolak menyimpulkan untuk kembali ke media cetak. Persoalan wadah untuk menjadi tempat menyuguhkan berita bukanlah jawaban dalam menjawab fenomena ini.

Menurutnya, kacamata untuk melihat wadah berita adalah kacamata bisnis, bukan kacamata etik. Sebab, media online dapat bertransformasi ke media cetak. Ketika suatu media massa ingin menggunakan kertas sebagai perantaranya, perusahaan harus memperhitungkan banyak hal, di antaranya adalah biaya untuk kertas, mesin cetaknya, maupun waktu penyebaran berita.

“Jadi, pelanggaran kode etik ini bukan soal media. Soal media untuk menggunakan cetak atau tidak adalah soal bisnis, worth atau tidak,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait