Cabut Regulasi Penghambat BPJS
Berita

Cabut Regulasi Penghambat BPJS

Salah satunya Permenkes Tentang Tarif Pelayanan Program Jaminan Kesehatan Nasional.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Cabut Regulasi Penghambat BPJS
Hukumonline
Pelaksanaan JKN yang digelar BPJS Kesehatan masih menghadapi berbagai masalah. DPR juga sudah mencium gelagat potensi munculnya masalah. Murut Sekjen KAJS, Said Iqbal, pelayanan yang diterima peserta BPJS Kesehatan, terutama yan sebelumnya menjadi peserta Jaminan Pemeliharaan Kerja (JPK) Jamsostek dan Askes ketika beralih ke BPJS Kesehatan menjadi lebih buruk.

Menurut Iqbal, salah satu hal utama yang menyebabkan buruknya pelayanan itu adalah mekanisme pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan yaitu INA-CBGs. Mekanisme kendali mutu dan biaya yang diatur lewat Permenkes Tarif JKN itu mengelompokan tarif pelayanan kesehatan untuk suatu diagnosa penyakit tertentu dengan paket. Sayangnya, mekanisme pembiayaan yang dikelola Kementerian Kesehatan itu dinilai tidak mampu memberikan pelayanan terbaik bagi peserta BPJS Kesehatan. Sehingga fasilitas kesehatan yang selama ini melayani peserta JPK Jamsostek dan Askes enggan memberikan pelayanan.

Untuk itu Iqbal menyebut KAJS mengusulkan agar saat ini mekanisme pembiayaan itu diganti dari INA-CBGs menjadi Fee For Service seperti yang digunakan sebelumnya oleh PT Jamsostek. “Agar jaringan fasilitas kesehatan yang selama ini bekerjasama mau melayani peserta BPJS Kesehatan,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (24/1).

Selain itu, Iqbal menyoroti selama ini peserta Askes berpenyakit kronis bisa memperoleh rujukan yang berlaku selama tiga bulan dan obat satu bulan. Tapi saat ini dibatasi sehingga peserta Askes yang beralih ke  BPJS Kesehatan harus bolak-balik ke fasilitas kesehatan untuk mendapat rujukan dan obat. Sebab, obat yang dibutuhkan hanya bisa digunakan untuk satu pekan.

Pada kesempatan yang sama presidium KAJS lainnya, Indra Munaswar, menemukan ada peserta BPJS Kesehatan seperti mantan peserta JPK Jamsostek, ditolak fasilitas kesehatan yang biasa mereka sambangi. Fasilitas kesehatan itu berdalih tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Kemudian, ada peserta yang dipaksa pulang oleh fasilitas kesehatan setelah tujuh hari dirawat inap. Padahal peserta yang bersangkutan belum sembuh.

Sebagaimana Iqbal, Indra melihat persoalan itu berpangkal pada Permenkes tentang Tarif JKN yang intinya mengatur paket biaya dalam INA-CBGs. Lewat sistem itu Kemenkes membatasi biaya pelayanan kesehatan peserta. Misalnya, seorang peserta terkena demam berdarah, dengan paket biaya INA-CBGs, peserta itu harus dirawat inap tujuh hari. Jika dalam tujuh hari belum sembuh maka peserta harus pulang. “Menkes harus mengubah regulasi itu karena menghambat pelayanan peserta,” ujarnya.

Sebagai salah satu cara mengatasi masalah tersebut Indra mengatakan pimpinan BPJS akan melayangkan surat edaran bersama ke seluruh fasilitas kesehatan yang selama ini melayani peserta JPK Jamsostek. Ia akan memantau sejauh mana efektifitas surat itu, apakah mantan peserta JPK Jamsostek bakal dilayani atau tidak oleh fasilitas kesehatan.

Melanjutkan komentar rekannya di KAJS, Timboel Siregar, mengatakan cek darah dan rontgen tidak masuk dalam tindakan yang dicakup INA CBGs. Ia mengetahui hal itu saat mengadvokasi seorang peserta di Jakarta yang ingin cek darah ke Puskesmas. Walau fasilitas tingkat pertama itu dilengkapi dengan laboratorium sehingga dapat dilakukan cek darah, namun peserta BPJS Kesehatan itu ditolak. Alasannya, cek darah itu tidak masuk dalam INA-CBGs. Alhasil Puskesmas yang bersangkutan memberi rujukan ke fasilitas kesehatan kedua atau Rumah Sakit (RS).

Tapi ketika di RS, Timboel melanjutkan, peserta itu tidak bisa langsung mendapat pelayanan cek darah karena harus membayar biaya tertentu. Menurutnya hal itu mestinya tidak terjadi karena semua biaya sudah ditanggung BPJS Kesehatan. “Paket INA-CBGs harusnya meng-cover cek darah,” ujarnya.

Lagi-lagi Permenkes tentang Tarif JKN dinilai menjadi penyebab morat maritnya pelayanan BPJS Kesehatan. Timboel merasa peraturan itu mengatur semua biaya yang dibayar BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan. Sehingga terkesan BPJS Kesehatan hanya menjadi juru bayar karena Kemenkes yang mengatur mekanisme pembayarannya. Padahal mengacu pasal 24 UU SJSN, pembayaran di setiap wilayah ditentukan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan fasilitas kesehatan. “Permenkes itu harus dibenahi agar BPJS bisa bernegosiasi dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama dan kedua,” tegasnya.

Masih dalam rangka menjaga agar manfaat yang diterima peserta tidak berkurang, Timboel mengusulkan agar peserta BPJS Kesehatan yang sebelumnya tergabung dalam JPK mandiri Jamsostek dikenakan iuran khusus. Sehingga tidak dihitung per orang, tapi untuk satu keluarga yang berangotakan lima orang. Menurutnya ketentuan yang ada saat ini mengurangi manfaat yang sebelumnya diterima peserta JPK mandiri Jamsostek.

Sebab, mantan peserta mandiri JPK Jamsostek harus membayar iuran untuk satu orang berdasarkan nominal tertentu. Yaitu ruang perawatan kelas I Rp59.500, kelas II Rp 42.500 dan kelas III Rp25.500. “Kalau dulu peserta mandiri JPK Jamsostek hanya membayar iuran Rp96 ribu setiap bulan untuk maksimal 5 anggota keliuarga,” papar Timboel.

Jika sampai Februari 2014 pemerintah dan BPJS belum menyelesaikan persoalan tersebut, KAJS akan melakukan tindakan. Seperti melayangkan gugatan kepada pemerintah dan demonstrasi besar-besaran.

Sebelumnya anggota Komisi IX DPR fraksi Golkar, Poempida Hidayatulloh, berpendapat Kemenkes terkesan belum mau melepas sepenuhnya pengelolaan JKN kepada BPJS Kesehatan. Misalnya, INA CBGs yang sampai saat ini masih dikelola oleh Kemenkes. Padahal, INA CBGs harusnya sebuah kebijakan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Sehingga bermacam kepentingan yang ada dapat diakomodir. “Kalau ada pihak yang merasa tidak kebagian maka berpotensi tidak akan lancar,” ucapnya.

Selaras hal tersebut Poempida juga mengusulkan untuk merevisi peraturan pelaksana BPJS Kesehatan seperti Perpres. Sehingga BPJS Kesehatan punya wewenang penuh untuk menjalankan amanat UU SJSN dan BPJS.
Tags:

Berita Terkait