‘Grey Area’ Penanganan TPPU (Bagian 2)
Fokus

‘Grey Area’ Penanganan TPPU (Bagian 2)

Revisi UU TPPU, menjadi solusi untuk mengurai permasalahan penuntutan KPK dalam perkara TPPU.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Luthfie Hasan Ishaq, terdakwa korupsi yang juga didakwa UU TPPU. Foto: SGP
Luthfie Hasan Ishaq, terdakwa korupsi yang juga didakwa UU TPPU. Foto: SGP
Revisi UU TPPU
Sedari awal, Yenti merasa aneh mengapa legislatif tidak memasukan aturan yang memberikan KPK kewenangan penuntutan dalam UU TPPU. Ia berharap ini bukan suatu kesengajaan pembuat undang-undang. Ke depan, aturan hukum harus lebih memadai bagi KPK dengan ditambahkannya aturan penuntutan dalam UU TPPU.

Revisi UU TPPU, menjadi solusi untuk mengurai permasalahan penuntutan KPK dalam perkara TPPU. Selain itu, menurut Yenti, satu pasal lagi yang mesti direvisi adalah Pasal 69. Pasal 69 mengatur, untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara TPPU di pengadilan tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.

Pasal 69 UU dinilai Yenti tidak sesuai dengan prinsip dasar pembuktian pidana. TPPU tidak akan terjadi jika tidak ada tindak pidana asal. Seseorang akan dihukum untuk dua kejahatan yang berbeda, sehingga tindak pidana asal harus tetap dibuktikan. Namun, bukan berarti kedua tindak pidana itu didakwa dalam persidangan terpisah.

Yenti menjelaskan, penuntut umum cukup membuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu, baru kemudian TPPU. Tidak perlu menunggu perkara tindak pidana asal berkekuatan hukum tetap. Seperti dalam kasus Djoko Susilo. Selain didakwa TPPU setelah tahun 2010, Djoko juga didakwa TPPU sejak tahun 2003. Tidak jelas apa tindak pidana asalnya.

Untuk ketidakjelasan ini, Yenti berpendapat ada frasa yang harus ditambahkan dalam UU TPPU. “Seharusnya ditambahkan saja dalam UU TPPU, berkaitan dengan tipikor yang ditangani, jika ditemukan harta kekayaan yang tidak bisa dibuktikan berasal dari pendapatan yang sah, itu diduga berasal dari kejahatan,” katanya.

Dengan demikian, tidak ada lagi perdebatan mengenai perlu tidaknya tindak pidana asal dibuktikan terlebih dahulu. Sebab, UU TPPU sudah mengatur secara jelas bahwa apabila terdakwa tidak mampu membuktikan harta kekayaannya didapat dari pendapatan yang sah, maka harta tersebut diduga berasal dari kejahatan.

Pelaku TPPU pasif
Praktik penanganan TPPU yang dilakukan KPK menunjukkan kemajuan signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sayang, apabila dibandingkan dengan negara lain, KPK belum menyentuh pelaku TPPU pasif. Yenti mengatakan, jika ada pelaku TPPU aktif, pasti ada pelaku TPPU pasif. Sejauh ini, KPK belum pernah menjerat pelaku TPPU pasif.

Ia membandingkan penanganan perkara TPPU di kawasan Eropa. Sekitar Oktober 2013 lalu, Pengadilan Athena, Yunani menghukum mantan Menteri Pertahanan Akis Tsohatzopoulos dengan pidana penjara 20 tahun untuk kasus korupsi dan pencucian uang. Kasus ini merupakan salah satu kasus terbesar yang menyita perhatian masyarakat Yunani.

Kasus korupsi dan TPPU Tsohatzopoulos berawal ketika terungkapnya kontrak pengadaan peralatan persenjataan dari Rusia dan Jerman. Pengadilan memvonis Tsohatzopoulos bersalah bersama 16 orang lainnya, termasuk istri, mantan istri, dan putri Tsohatzopoulos . Mereka diduga menikmati hasil kejahatan Tsohatzopoulos.

Jika melihat penanganan TPPU yang dilakukan di negara lain, sudah lebih maju ketimbang penanganan TPPU yang dilakukan KPK. Yenti menganggap, KPK belum menuntaskan penanganan perkara TPPU. Dari sejumlah kasus yang ditangani KPK, ada indikasi keterlibatan orang-orang terdekat tersangka, seperti istri dan anak.

Dalam kasus Djoko Susilo atau Ahmad Fathanah misalnya. Para istri diduga menikmati uang hasil tindak pidana suaminya. Namun, hingga kini belum ada satupun pelaku pasif yang ditetapkan menjadi tersangka. Padahal, Pasal 5 UU TPPU secara jelas mengatur, setiap orang yang “mengetahui” atau “patut menduga” dapat dikenakan TPPU.

Menurut Yenti, seorang istri merupakan orang terdekat yang mengetahui penghasilan suaminya. Apabila suami memberikan sesuatu yang di luar kebiasaan, apalagi dalam jumlah yang tidak sesuai pendapatan suami, istri “patut menduga”. Jangan sampai terbangun persepsi, istri tidak usah dipidana dengan alasan kemanusiaan.

“Ini bahaya, karena menjadi celah dan dapat dijadikan modus para koruptor. Nanti sebanyak-banyak mungkin dialirkan ke istri, toh penegak hukum kasihan dengan alasan kemanusiaan. Saya melihat kecenderungan orang-orang ini menikah lagi, artinya istri-istri lebih dipercaya untuk menyimpan uang dibandingkan orang lain,” ujarnya.

Yenti berharap KPK tidak ragu menjerat para pelaku TPPU pasif. Selain untuk memberi efek jera, juga untuk mencegah setiap orang agar tidak mudah menerima hasil kejahatan. Di sisi lain, para koruptor nantinya akan berpikir, jangan sampai orang-orang terdekatnya harus turut menanggung hukuman akibat perbuatannya.

Ia menambahkan, dalam penanganan TPPU, Kepolisian sedikit lebih maju ketimbang KPK. Banyak kasus TPPU di Kepolisian yang mulai menjerat pelaku pasif, seperti kasus Malinda Dee dan Kalapas Nusa Kambangan. “KPK harusnya tidak usah khawatir. KPK punya kewenangan dan dukungan masyarakat lebih besar,” tutur Yenti.
Tags:

Berita Terkait