Aturan Kelembagaan dan Perizinan Lahan Rugikan Petani Kecil
Berita

Aturan Kelembagaan dan Perizinan Lahan Rugikan Petani Kecil

Ahli berpendapat ketentuan kelembagaan dan perizinan lahan bertentangan dengan UUD 1945.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Aturan Kelembagaan dan Perizinan Lahan Rugikan Petani Kecil
Hukumonline
Ketentuan Pasal 59 UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) dinilai merugikan atau potensial merugikan petani tak bertanah, petani gurem. Sebab UU Perlintan tak eksplisit menyebut petani yang bagaimana yang akan memperoleh kemudahan.

“Apakah petani lemah, petani kuat, atau petani ‘berdasi’ yang tinggal di kota-kota dan tidak mengerjakan sendiri tanahnya,” ujar Prof Achmad Sodiki saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU Perlintan yang dimohonkan sejumlah LSM, Kamis (13/2).     

Permohonan ini diajukan sejumlah LSM yaitu IHCS, SPI, FIELD, API, KPA, KIARA, Bina Desa, IGJ, KRKP, Sawit Watch, Walhi, dan Kontras. Mereka mempersoalkan Pasal 59, Pasal 70 ayat (1), Pasal 71 (1) UU Perlintan. Para pemohon menilai ketentuan yang mengatur perolehan izin lahan pertanian dan kelembagaan petani itu menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi petani.

Aturan Perizinan lahan petani dinilai tidak komprehensif mengupayakan redistribusi tanah kepada petani. Sebab, aturan itu hanya mengatur konsolidasi tanah, tanah telantar, dan tanah negara bebas yang bisa diredistribusi ke petani dengan hak sewa, izin usaha, izin pengelolaan dan pemanfaatan, tidak bisa menjadi hak milik petani. Hal ini potensial menyulitkan petani memperoleh penghidupan layak mengingat petani umumnya masyarakat kurang mampu membayar sewa dan izin.

Sementara kelembagaan petani dalam Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1) UU Perlintan dinilai bentuk korporatisme negara dimana pemerintah menfasilitasi pembentukan dan penentuan bentuk lembaga petani (tersentral). Petani hanya diberi wadah kesempatan berorganisasi yang ditentukan pemerintah. Dengan begitu, lembaga petani yang berbeda potensial tidak diberdayakan dan dilindungi pemerintah, sehingga bertentangan dengan hak berserikat petani.

Sodiki melanjutkan persaingan bebas, uang, relasi kekuasaan sangat penting. Efeknya, kemungkinan petani yang benar-benar membutuhkan lahan 2 hektar akan tersisih. Keterangan pemerintah yang menyebut sewa-menyewa terjadi antara petani dengan petani, bukan antara petani dan pemerintah, dikhawatirkan akan terjadi konsentrasi penguasaan tanah dengan hak sewa pada segelintir pemodal besar.

Hal itu jelas menjadikan aset negara (tanah) tidak terdistribusikan secara adil dan merata, sehingga memperluas jurang ketidakadilan sosial. Demikian pula izin pengusahaan, pengelolaan atau pemanfataan potensial berdampak sama. Persaingan tak seimbang itu dikhawatirkan MK lewat putusan pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disebut indirect discrimination dan putusan lain yang membenarkan hak-hak masyarakat miskin untuk menutup jurang ketidakadilan sosial.    

“Pasal 59 UU Perlintan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945,” tuturnya.

Menurut Sodiki, Pasal 70 ayat (1) secara limitatif membatasi jenis pembentukan kelembagaan dan kelembagaan ekonomi petani sesuai kebutuhannya. Ketentuan itu jelas hendak menggiring kelembagaan petani hanya terbatas pada empat jenis lembaga yakni kelompok tani, gabungan kelompok tani, asosiasi komoditas pertanian, dan dewan komoditas pertanian nasional. Selain itu, ada kewajiban pemerintah memberi fasilitas pembentukannya.

“Lembaga bentukan pemerintah seperti HKTI, HSNI, dan sebagainya yang tidak pernah efektif bekerja membela petani dan nelayan karena lebih mencerminkan pengaruh kepentingan politik berkuasa,” lanjutnya.

Menurutnya, dalam alam demokrasi saat ini seharusnya kelembagaan petani dibentuk dari petani oleh petani dan untuk petani, bukan perpanjangan tangan penguasa. Sekalipun Pasal 69 ayat (2) menyebut pembentukan lembaga petani dilaksanakan dengan perpaduan budaya, norma, nilai, kearifan lokal petani. Karena itu, Pasal 70 ayat (1) dinilai merugikan atau potensial merugikan petani dan bertentangan UUD 1945.   

“Pasal 71 ayat (1) UU Perlintan yang menyebut ‘petani berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam kelembagaan petani sebagaimana dimaksud Pasal 70 ayat (1)’ diragukan efektivitasnya karena tidak disertai sanksi. Seharusnya kata ‘berkewajiban’ dihapus saja untuk memberi keleluasaan petani membentuk organisasi karena bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.”
Tags:

Berita Terkait