Pemerintah Dituntut Serius Ratifikasi Konvensi PRT
Berita

Pemerintah Dituntut Serius Ratifikasi Konvensi PRT

Untuk memperkuat perlindungan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) dan migran Indonesia.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Dituntut Serius Ratifikasi Konvensi PRT
Hukumonline
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan serikat pekerja yang tergabung dalam Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran (KAPPRT-BM) menuntut pemerintah serius meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang PRT. Menurut Koordinator Nasional JALA PRT, Lita Anggraeni, tuntutan itu sebagai respon pernyataan Menakertrans, Muhaimin Iskandar, bahwa pemerintah bakal meratifikasi Konvensi tersebut. Bahkan, dalam forum internasional perburuhan yang digelar ILO tahun 2011, Presiden SBY berjanji akan meratifikasi.

Lita menilai sekarang saat tepat untuk meratifikasi konvensi yang melindungi PRT itu. Ratifikasi itu akan memberikan dampak yang signifikan dalam rangka perlindungan PRT. Termasuk, pekerja migran Indonesia di sektor domestik. Misalnya, konvensi itu mengamanatkan adanya upah minimum, jam kerja, libur dan hak-hak normatif PRT sebagai pekerja. Konvensi juga memberi landasan bagi pemerintah untuk melakukan inspeksi ke lokasi kerja PRT.

Materi Konvensi juga perlu dimasukkan ke dalam RUU PRT dan RUU PPILN sudah masuk proses legislasi. “Kami harap ratifikasi terwujud, kemudian RUU PRT segera disahkan dan RUU PPILN mengacu isi ratifikasi Konvensi ILO No. 189," kata Lita dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (13/2).

Namun ada juga keraguan tentang penerapan Konvensi 189. Sebab, sistem ketenagakerjaan PRT di Indonesia selama ini menggunakan mekanisme informal atau kekeluargaan. Harus ada mekanisme memastikan Konvensi dapat dijalankan di Indonesia, dan tidak sekadar diratifikasi. Misalnya, terkait upah minimum, untuk PRT dapat diterapkan secara bertahap atau ada upah minimum yang khusus untuk sektor pekerja domestik. Dalam hal ini, Indonesia bisa meniru Filipina.

Menurut Lita ada jenis pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan PRT secara paruh waktu, seperti mengasuh anak (bayi). Merujuk kondisi itu, Lita berpendapat peran pemerintah dibutuhkan misalnya, membangun tempat pengasuhan anak. Sehingga masyarakat Indonesia golongan ekonomi menengah ke bawah atau pekerja, dapat menitipkan anaknya di tempat penitipan. Sekalipun mereka butuh PRT untuk mencuci, maka dapat mengupahnya secara layak dengan mekanisme paruh waktu.

Presiden KSBSI, Mudhofir, mengatakan dengan meratifikasi konvensi ILO No. 189 itu posisi pemerintah di ranah internasional semakin kuat untuk memperjuangkan kesejahteraan pekerja migran Indonesia di sektor domestik. Sebab, dengan meratifikasi, berarti pemerintah serius melindungi pekerja migran Indonesia.

Sehingga, ketika pemerintah menuntut negara penempatan untuk menerapkan upah minimum dan memaksimalkan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia, maka negara penempatan mendapat dorongan untuk melaksanakannya. "Ratifikasi itu dapat meningkatkan posisi tawar pemerintah," kata Mudhofir.

Mudhofir juga berpendapat semua pemangku kepentingan harus aktif mengubah cara pandang terhadap PRT. Ia melihat selama ini PRT diposisikan sebagai pekerjaan yang "rendah" atau dipandang sebelah mata. Padahal, PRT merupakan pekerjaan yang menuntut keahlian dan keterampilan. Bahkan, pekerja migran Indonesia sebagian besar bekerja di sektor domestik dan disebut-sebut sebagai pahlawan devisa.

Mengacu hal tersebut Mudhofir menganggap layak jika pemerintah dan DPR memberikan pengharaan kepada PRT berupa ratifikasi konvensi ILO No. 189 itu. Serta memasukan ketentuan regulasi itu dalam RUU PRT, RUU PPILN dan diharmonisasikan dengan peraturan lainnya. "Itu perlu dihargai. Makanya negara wajib melindungi warganya yang memberikan kontribusi besar bagi negara ini," tegasnya.

Sebelumnya, Menakertrans, Muhaimin Iskandar, mengatakan awal tahun ini pemerintah memulai kembali proses dialog publik untuk mendiskusikan jalan menuju ratifikasi Konvensi 189. Pemerintah menampung pandangan dari berbagai pihak, termasuk mengundang perwakilan pejabat tinggi pemerintah Filipina. "Pada prinsipnya, pemerintah Indonesia menyambut baik lahirnya konvensi ini pada tahun 2011 karena perlindungan kepada PRT perlu mendapat perhatian. Sebab jenis pekerjaan sektor ini rawan terhadap pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan dan pelanggaran HAM," ujarnya.
Tags:

Berita Terkait