DPR Hormati Putusan Penetapan Perppu MK
Utama

DPR Hormati Putusan Penetapan Perppu MK

UU MK sebaiknya direvisi dengan memasukkan pengawasan ekternal dan mekanisme banding.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Pembatalan UU No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur keberadaan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim ditanggapi positif oleh kalangan DPR.

Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Aziz Syamsuddin mengatakan pembatalan UU Penetapan Perppu MK terkait keberadaan MKHK dan Panel Ahli mengandung arti kembali ke UU MK sebelumya. Saat rapat paripurna persetujuan Perppu MK menjadi Undang-Undang, Fraksi Partai Golkar setuju dengan catatan. “Semua pihak, baik DPR maupun pemerintah harus menghormati putusan MK yang bersifat final dan mengikat,” kata Aziz saat dihubungi di Jakarta, Senin (17/2).

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Eva Kusuma Sundari memyambut baik putusan MK itu. “Saya lega dengan putusan itu seperti keberatan dan penolakan PDI-P saat voting (persetujuan Perppu MK),” kata Sundari.

Dia menilai para hakim MK telah memutus pengujian UU Penetapan Perppu itu secara jernih meski mengadili kepentingan mereka sendiri. “Konflik kepentingan tidak terbukti. Semoga menjadi preseden yang bagus untuk perbaikan kewibaan MK ke depan,” harapnya.

Menurut dia pengujian UU Penetapan Perppu MK memang pantas untuk dikabulkan dengan membatalkan keberadaan ketentuan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dan Panel Ahli. Sebab, materi UU itu menyalahi prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi.

“Isi Perppu itu memang pantas ditolak karena menyalahi prinsip kedaulatan rakyat yang berisi tiga cabang kekuasaan negara, masak ketiga cabang kekuasaan itu di bawah panel ahli,” kata Sundari.

Meski begitu, dia sepakat jika UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaiman diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 perlu direvisi, khususnya memasukkan instrumen dan lembaga pengawasan ekternal untuk mengawasi hakim konstitusi. “Mereka (hakim konstitusi) bukan malaikat yang tanpa nafsu dan steril dari penyimpangan. Kasus mantan ketua MK Akil Mochtar menunjukkan MK tidak bisa mengawasi diri sendiri),” bebernya.

“Materi revisi lain mungkin ada mekanisme (upaya hukum) banding terkait putusan MK yang dinilai cacat hukum (ada unsur suap). Masak putusan seperti itu tetap harus diterima, sementara ketahuan ada yang salah, seperti kasus Pemilukada Gunung Mas.”

Harusnya menolak
Komisioner KY Taufiqurrohman Syahuri mengatakan jika mau disebut seorang negawawan seharusnya MK menolak pengujian UU Penetapan Perppu MK. Dia mempersilakan MK menafsirkan konstitusi. Namun saat menafsirkan konstitusi, MK wajib bersikap jujur, imparsial, tidak manipulatif, dan tidak mementingkan diri sendiri.

“Jika hal-hal itu dilakukan, sudah seharusnya MK ditegur olh penjaga etika. Tetapi, sayangnya lembaga penjaga etika itu telah ‘dikubur’ oleh MK sendiri. Padahal, perilaku tercela (hakim konstitusi) sepanjang tidak ada unsur kriminalnya tak dapat disentuh penegak hukum,” kata Taufik.

Sebelumya, MK membatalkan UU Penetapan Perppu MK yang dimohonkan sejumlah advokat konstitusi dan dosen FH Universitas Jember. Dalam putusannya, MK membatalkan seluruh ketentuan yang mengatur pelibatan KY dalam pengajuan calon hakim konstitusi melalui panel ahli dan pengawasan hakim konstitusi melalui MKHK termasuk syarat calon hakim MK tidak menjadi anggota parpol dalam waktu 7 tahun.
Tags:

Berita Terkait