Pemerintah dan DPR Berlindung di Balik Revisi UU Advokat
Utama

Pemerintah dan DPR Berlindung di Balik Revisi UU Advokat

Tak menanggapi secara subtantif permohonan OC Kaligis. Pemohon hadirkan ahli yang memberi pandangan tentang Pasal 2 ayat (1) UU Advokat.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
OC Kaligis, pemohon pengujian UU Advokat saat bersidang di MK, Jakarta (18/02). Foto: RES
OC Kaligis, pemohon pengujian UU Advokat saat bersidang di MK, Jakarta (18/02). Foto: RES
Sidang lanjutan pengujian Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 28 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) yang dimohonkan advokat senior OC Kaligis dan associates-nya kembali digelar. Sidang kali ini mengagendakan keterangan pemerintah dan DPR serta mendengarkan pendapat seorang ahli dari pemohon yaitu Dosen FH Universitas Pancasila, Muhammad Rullyandi.

Dalam keterangannya, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutuskan pengujian UU Advokat ini. Sebab, pada saat bersamaan DPR juga tengah melakukan legislative review dengan cara merevisi UU Advokat. “Baik legal standing pemohon dan materi pokok perkara, kita serahkan sepenuhnya kepada MK,” kata anggota Komisi III DPR Ahmad Yani di ruang sidang utama MK, Selasa (18/2).

Yani menegaskan DPR tidak menanggapi substansi permohonan judicial review karena pembahasan revisi UU Advokat saat ini masih terus berjalan, khususnya yang menyangkut pendidikan profesi advokat. “Pembahasan revisi UU Advkat masih terus berjalan,” tegasnya.

Perwakilan pemerintah pun tak memberi tanggapan substantif atas materi pokok permohonan yang mempersoalkan penyelenggaraan PKPA oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Sebab, saat ini pemerintah dan DPR masih membahas sejumlah persoalan yang menyangkut dunia advokat melalui revisi UUD Advokat.

“Kami juga masih menginventarisir Daftar Isian Masalah (DIM) terhadap materi revisi UU Advokat. Mudah-mudahan revisi UU Advokat ini bisa menjawab apa yang diminta para advokat,” kata Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Mualimin Abdi.

Mualimin mengingatkan persoalan wadah tunggal organisasi advokat sudah selesai dalam sejumlah pengujian UU Advokat yang diputus MK sebelumnya. “Wadah tunggal organisasi advokat sudahclear yang telah diputus MK sebelumnya. Makanya, kita tidak bisa mengomentari pengujian UU Advokat itu,” tegas pria yang juga menjabat Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkumham ini.

Sementara, Rulliyandi menilai frasa “...yang dilaksanakan oleh organisasi advokat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat tidak memberikan kepastian hukum. Sebab, setiap warga negara termasuk pemohon berhak mendapatkan hak atas pendidikan seperti dijamin Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.

“Eksistensi pemohon di dalamnya mewujudkan hak dan akses masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan tertentu (advokat) bagi para calon advokat yang dijamin konstitusi,” kata Rulliyandi.

Kata “dilaksanakan” dalam pasal tersebut mengandung rumusan yang tak sejalan dengan konstitusi dengan mengesampingkan hak konstitusional pemohon untuk menyelenggarakan pendidikan seperti dijamin Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Menurut dosen Universitas Pancasila itu, rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Advokat kabur, seolah negara memberi kewenangan penuh kepada organisasi advokat (PERADI) untuk menyelenggarakan PKPA.

“Mestinya, PKPA dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga secara tafsir norma itu. Namun, karena tidak ada kepastian rumusan norma, organisasi advokat yang demikian dapat bertindak sewenang-wenang, diskriminatif, dan arogansi subjektif dalam pelaksanaannya,” katanya.

Sebagaimana diketahui, OC Kaligis bersama associates-nya merasa Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 28 UU Advokat membawa akibat hukum bahwa organisasi advokat satu-satunya penyelenggara PKPA. Frasa ‘yang dilaksanakan oleh organisasi advokat’ dan ‘satu-satunya’ dalam pasal itu mengakibatkan hilangnya hak konstitusional advokat seperti dijamin Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.

Awalnya OC Kaligis & Associates dan PERADI sudah bermitra untuk menyelenggarakan PKPA sejak 2008. Namun, iktikad baik pemohon perlahan-lahan dipersulit PERADI untuk melaksanakan PKPA. Akibatnya, pemohon tidak dapat mengadakan PKPA ketiga kalinya di tahun 2013 sesuai perjanjian kerja pemohon dan PERADI bernomor No. 026/PERADI-PKJS PKPA/13.

Hingga kini peserta PKPA pemohon sebanyak 153 di tahun 2013 belum menerima sertifikat PKPA dari PERADI. Padahal, pihaknya telah memenuhi syarat yang diminta PERADI untuk membayar fee sebesar 20 persen dari biaya PKPA berikut laporan penyelenggaraannya. Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) UU Advokat dinilai tidak adil lantaran memberi kewenangan mutlak kepada PERADI sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menyelenggarakan PKPA.

Pemohon meminta agar MK membatalkan frasa “yang dilaksanakan oleh organisasi advokat” dalam Pasal 2 ayat (1). Sehingga rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Advokat menjadi berbunyi, “Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh masing-masing organisasi advokat yaitu IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKPM, dan APSI.”  Pemohon juga minta MK membatalkan frasa “satu-satunya” dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat.
Tags:

Berita Terkait