Industri Keuangan Wajib Jadi Anggota Lembaga ADR
Utama

Industri Keuangan Wajib Jadi Anggota Lembaga ADR

Lembaga ADR tersebut harus masuk ke dalam daftar lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditetapkan OJK.

Oleh:
FATHAN QORIB
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Beberapa waktu lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR) di Sektor Jasa Keuangan. Peraturan ini intinya mewajibkan tiap lembaga jasa keuangan untuk menjadi anggota lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang terdaftar di OJK.

OJK sendiri telah mengantisipasi beragamnya kegiatan usaha yang dilakukan oleh satu lembaga jasa keuangan. Dalam aturan itu disebutkan apabila lembaga jasa keuangan melakukan kegiatan usaha lintas sektor jasa keuangan, maka lembaga jasa keuangan tersebut hanya wajib menjadi anggota pada satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang sesuai kegiatan usaha utamanya.

Misalnya, terdapat PT Bank X Tbk yang melakukan kegiatan usaha utama sebagai bank umum juga menjadi agen penjual asuransi, menjadi bank kustodian serta bertindak sebagai agen penjual efek reksadana. Jika dilihat, PT Bank X Tbk tersebut telah melakukan kegiatan lintas sektor jasa keuangan, yakni di sektor perbankan, perasuransian dan pasar modal.

Terkait dengan keanggotaan di Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Bank X Tbk tersebut hanya wajib menjadi anggota pada satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Lantaran kegiatan utama PT Bank X Tbk tersebut adalah sektor perbankan, maka bank tersebut wajib menjadi anggota di Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor perbankan.

Menurut OJK, penanganan sengketa di Lembaga ADR tersebut dilakukan setelah tak tercapai kesepakatan penyelesaian pengaduan antara konsumen dengan lembaga jasa keuangan. Penyelesaian sengketa di Lembaga ADR tersebut merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan.

Lembaga ADR tersebut harus masuk ke dalam daftar lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditetapkan OJK. Setidaknya, lembaga ADR tersebut wajib memiliki layanan berupa mediasi, ajudikasi dan arbitrase. Bahkan, lembaga tersebut juga wajib memiliki aturan berupa layanan penyelesaian sengketa, prosedur penyelesaian sengketa, biaya penyelesaian sengketa, jangka waktu penyelesaian sengketa, ketentuan benturan kepentingan dan afiliasi bagi mediator, ajudikator dan arbiter, serta kode etik bagi mediator, ajudikator dan arbiter.

Lembaga ADR tersebut juga wajib menerapkan prinsip aksesbilitas, independensi, keadilan, efisiensi dan efektifitas dalam setiap peraturannya. Bahkan, lembaga ADR tersebut wajib memiliki sumber daya dalam melaksanakan pelayanan penyelesaian sengketa.

Lembaga jasa keuangan yang melanggar peraturan ini terancam sanksi administratif dari OJK. Sanksi tersebut berupa peringatan tertulis, denda atau kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu yang berlaku di tiap sektor keuangan, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha hingga pencabutan izin kegiatan usaha. OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif tersebut kepada masyarakat.

Lembaga ADR tersebut didirikan oleh lembaga jasa keuangan yang dikoordinasikan oleh asosiasi dan atau didirikan oleh lembaga yang menjalankan fungsi self regulatory organization (SRO). Pembentukan lembaga alternatif penyelesaian sengketa oleh asosiasi ini setidaknya untuk menepis potensi konflik kepentingan, sebagaimana yang pernah dikhawatirkan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Indonesia Erman Rajagukguk.

“Kalau pengertian saya, asosiasinya yang membentuk itu, bukan pelakunya. Kalau pelakunya gak bisa objektif, karena orang-orang di dalam pelaku itu yang membentuk (ADR, red),” tutur Erman.

Anggota Dewan Komisoner OJK bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Kusumaningtuti S Setiono tak menampik pembentukan ADR oleh lembaga jasa keuangan bisa memicu konflik kepentingan. Untuk menepis anggapan tersebut, OJK mewajibkan ADR yang dibentuk lembaga jasa keuangan tersebut menjalankan prinsip aksesbilitas, independensi, keadilan, efisiensi dan efektifitas.

Meski begitu, lanjut Kusumaningtuti, belajar dari pengalaman di sejumlah negara lain, bukan independensi yang menjadi kekhawatiran dari ADR yang dibentuk lembaga jasa keuangan. “Ternyata mereka prioritaskan penyelesaian dilakukan oleh mereka sendiri.  Hal ini bertujuan untuk menjaga loyalitas  dari konsumen, bukan objektifitas,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait