Alasan Asian Agri Tolak Besaran Tagihan Pajak
Utama

Alasan Asian Agri Tolak Besaran Tagihan Pajak

Keuntungan yang diperoleh oleh AAG sepanjang 2002-2005 ‘hanya’ mencapai Rp1,24 triliun.

Oleh:
FITRI NH
Bacaan 2 Menit
Alasan Asian Agri Tolak Besaran Tagihan Pajak
Hukumonline
Asian Agri Group (AAG) adalah kelompok usaha yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit. AAG terjerat kasus perpajakan yang hingga saat ini belum terselesaikan secara tuntas. Kasus AAG menyita perhatian banyak pihak karena potensi pengemplangan pajak yang dilakukan tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp1,3 triliun dari tahun 2002-2005.

Karyawan AAG yang terseret kasus ini adalah Suwir Laut. Mahkamah Agung (MA) memutus Suwir Laut bersalah dan dihukum pidana dua tahun penjara dengan masa percobaan selama tiga tahun. Selain itu, 14 perusahaan yang tergabung dalam AAG  yang pengisian SPT tahunannya diwakili oleh terdakwa wajib membayar denda senilai Rp2,5 triliun. Majelis kasasi juga mencantumkan syarat khusus yakni dalam jangka waktu satu tahun, 14 perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group diharuskan membayar dua kali pajak terutang Rp1.259.977.695.652, sehingga totalnya sekitar Rp2,519 triliun.

Terkait putusan itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kemudian mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) 14 perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group dengan total nilai Rp1,829 trilun. Menurut Dirjen Pajak Fuad Rahmany, SKP tersebut tidak dikeluarkan sekaligus karena ada beberapa wajib pajak dari total keseluruhan pajak Asian Agri Group.

DJP menagih utang pajak tersebut dengan menerbitkan SKP yakni SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) dan SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan). Nilai total SKP sebesar Rp1,829 triliun itu merupakan perhitungan denda pajak terutang yang kurang dibayar sebesar 100 persen atau Rp1,25 triliun ditambah denda 48 persen. Jika ditotal, keseluruhan yang harus dibayar oleh AAG kurang lebih Rp4,5 triliun.

AAG menyatakan menghormati putusan pengadilan. Namun, kelompok usaha ini tetap mempertanyakan jumlah yang harus dibayar. Perusahaan keberatan atas surat ketetapan pajak (SKP), dan menilai keputusan Ditjen Pajak itu tak sesuai prosedur perpajakan.

Kali ini, AAG mencoba mengungkapkan alasan di balik keberatan atas total pajak yang harus dibayar oleh pihaknya. Menggandeng Indonesia Research and Strategic Analysis (IRSA), AAG menjabarkan data keuangan AAG sepanjang tahun 2002-2005. Setidaknya, ada tiga pelanggaran pajak yang dituduhkan kepada AAG yakni praktik transfer pricing yang menyebabkan kerugian berupa pengurangan penerimaan perusahaan sebesar Rp889 miliar, penggelembungan biaya  perusahaan sebesar Rp1,5 triliun serta transaksi hedging fiktif yang menyebabkan kerugian sebesar Rp232 miliar.

Atas tuduhan tersebut, besaran penyelewengan sebesar Rp1,3 triliun dinilai sangat besar dan sulit dipahami dengan perhitungan masuk akal. “Akal sehatnya, tidak mungkin kan Anda bayar pajak melebihi dari laba Anda?,” kata Penasehat IRSA Faisal Basri di Jakarta, Rabu (19/2).

Menurut Faisal, dari hasil penelitian yang telah dilakukan, pengenaan besaran pajak beserta denda yang dibebankan kepada AAG tidak sebanding dengan laba yang diperoleh. Faktanya, produksi CPO selama 2002-2005 mencapai sekitar 2,4 juta ton, dengan produktivitas CPO per hektar rata-rata 4 ton per tahun. Pada harga CPO rata-rata 350 USS (Rp3.2juta) per ton, total penjualan 2002-2005 sekitar Rp7,6 triliun.

Dengan kekurangan pembayaran pajak Rp1,3 triliun, berarti laba yang tidak dilaporkan selama 2002-2005 adalah sebesar Rp4,3 triliun. Untuk mendapatkan laba sebesar itu, perusahaan harus menghasilkan laba sebelum pajak sebesar 57,3 persen.

Dengan total penjualan Rp7,6 triliun, lanjutnya, keuntungan yang diperoleh sebesar Rp4,3 triliun. Maka, margin keuntungan rata-rata yang dicapai selama empat tahun diasumsikan sebesar 57,3 persen. Margin laba setinggi itu, menurut Faisal, sulit dicapai oleh perkebunan manapun, apalagi jika margin keuntungan tersebut terjadi selama empat tahun berturut-turut.

Skenario hipotesisnya, jika margin laba yang diperoleh perusahaan sebesar 15 persen dari penjualan, keuntungan Rp4,3 triliun dapat diperoleh apabila total penjualan sebesar Rp28,9 triliun. Penjualan sebesar itu, jelas Faisal, dapat dicapai apabila total produksi 2,4 juta ton dan harga CPO 1.338 USS/ton atau harga CPO 350 USS/ton dan produksi sebesar 7,9 juta ton.

Jika merujuk pada data dan fakta, Faisal menjelaskan harga CPO rata-rata selama 2002-2005 selalu berada di bawah 500 USS/ton. Selama periode itu, harga di pasar Rotterdam berkisar antara 390-470 USS per ton, atau rata-rata 450 USS/ton. “Perlu dicatat, harga di asar Rotterdam tentu lebih tinggi dari harga di Indonesia. Dan tampaknya dugaan transfer pricing didasarkan atas selisih antara harga ekspor AAG dengan harga CPO di pasar Rotterdam,” jelas Faisal.

Perbedaan harga tersebut, lanjutnya, disebabkan adanya biaya transportasi, asuransi, handling fee di pelabuhan dan lain-lain dan tentu harga di Rotterdam lebih tinggi dari harga di pelabuhan Indonesia. Membandingkan harga ekspor AAG dengan harga Rotterdam menjadi tidak tepat sehingga dugaan transfer pricing dengan sendirinya tidak memiliki dasar yang kuat.

Lebih lanjut, volume penjualan 7,9 juta ton mustahil dapat dicapai mengingat produktivitas CPO 4 ton/hektar sehingga diperlukan 557 ribu hektar areal produksi kelapa sawit untuk mencapai produksi CPO dengan jumlah tersebut. Dengan luas lahan sebesar 146 ribu hektar, produksi 7,9 juta ton CPO dicapai apabila produktivitas CPO sebesar 15.5 ton/ha/tahun. “Saya tidak bilang DJP menzalimi AAG. Tetapi jika dilihat dari data, Rp1,3 triliun yang harus dibayar AAG tidak masuk akal,” ungkapnya.

Terkait dugaan mark up biaya, menurut Faisal perlu diteliti lebih seksama dengan memperhatikan dampaj penggunaan biaya tersebut pada produktivitas kebun perusahaan. Kerugian transaksi forward pelu ditelaah lebih lanjut sebelum dianggap sebagai suatu pelanggaran.

“Selain penyerahan fisik, kontrak forward dapat ditutup dengan wash out dengan pembatalan kontrak. Wash out tidak selalu dilakukan dengan motif penyelewengan. Bisa jadi untuk menghindari kerugian atau mendapat keuntungan yang lebih besar. Persoalan pokok sehubungan transaksi forward ini adalah kewajaran transaksi,” tegas Faisal.

General Manajer Asian Agri Freddy Widjaya AAG meminta DJP menghitung kembali tagihan pokok pajak yang dibebankan kepada AAG. Ia mengaku, keuntungan yang diperoleh oleh AAG sepanjang 2002-2005 hanya mencapai Rp1,24 triliun. “Data ini tidak dimanipulasi. Kita minta cek lagi dan saling kroscek angka,” kata Freddy.

Sementara untuk pengajuan banding di Pengadilan Pajak, Freddy mengaku hingga saat ini belum ada putusan. Yang jelas, katanya, pihaknya telah melakukan pembayaran setengah dari sanksi administrasi sebagai syarat pengajuan banding ke pengadilan. “Kita sudah bayar yang Rp700 miliar. Kita tetap penuhi aturan yang batasannya Oktober,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait