Pemerintah Tak Paksakan RKUHP dan RKUHAP Rampung
Utama

Pemerintah Tak Paksakan RKUHP dan RKUHAP Rampung

Sepakat dengan KPK. Sedangkan, MA merasa RKUHAP mengebiri kewenangannya.

Oleh:
Novrieza Rahmi/Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Mualimin Abdi. Foto: RES
Mualimin Abdi. Foto: RES
Plt Direktur Jenderal Perundang-undangan Kemenkumham Mualimin Abdi mengatakan pemerintah sepakat dengan usulan KPK untuk tidak akan memaksakan RKUHP dan RKUHAP rampung dalam sisa waktu yang tinggal 100 hari. Ia menilai sisa waktu tersebut tidak rasional untuk menyelesaikan pembahasan dua kitab tersebut.

Hal itu disampaikan Mualimim usai bertemu dengan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan tim perumus di Kemenkumham, Rabu (5/3). Mualimin mengatakan, masukan KPK sebagai stakeholder akan ditindaklanjuti Kemenkumham. Terlebih lagi, KPK merupakan lembaga penegak hukum yang melaksanakan KUHP dan KUHAP.

Oleh karena itu, Mualimin berpendapat, lebih rasional jika pembahasan RKUHP difokuskan terlebih dahulu pada Buku I yang hanya memuat asas-asas. Sementara, Buku II yang memuat tindak pidana akan dibahas selanjutnya. Setelah Buku I selesai, sesuai tata cara perundang-undangan, akan dipikirkan cara mengikatnya dengan Buku II.

“Kalau Buku I bisa kita ikat, kemungkinan pembahasan Buku II akan memerlukan waktu yang lama. Tidak mungkin kalau kita mendorong cepat selesai, apalagi kalau kita sembunyi-sembunyi membahasnya. Artinya, untuk membahas Buku I, kalau bisa selesai, itu merupakan prestasi luar biasa dengan sisa waktu yang tinggal sekitar 100 hari,” katanya.

Selain kendala waktu, Mualimin merasa penyelesaian RKUHP dan RKUHAP tidak dapat diburu-buru karena ada revisi undang-undang lain yang juga menjadi prioritas, seperti RUU MA dan RUU Advokat. Sebagaimana arahan DPR, pemerintah perlu berkonsolidasi dengan semua lembaga penegak hukum, terutama mengenai pembahasan RKUHAP.

Ia mengatakan, RKUHAP merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan lembaga. Para lembaga penegak hukum yang akan melaksanakan RKUHP dan RKUHAP harus urun rembug melakukan pembahasan bersama pemerintah. Hal itu untuk mengantisipasi permasalahan implementasi di kemudian hari.

Kemudian, mengenai usulan KPK terkait tindak pidana korupsi yang tetap menjadi lex specialis, menurut Mualimin tidak ada masalah. Ia menjelaskan, RKUHP merupakan rekodifikasi yang mengatur ketentuan umum semua tindak pidana. Ketentuan itu hanya berlaku sepanjang tidak diatur dalam undang-undang lain.

“Rekodifikasi artinya menarik semua tindak pidana yang ada di luar KUHP. Namun, di dalam pasal berapa, saya lupa, mengatakan bahwa tindak pidana yang diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri tetap berlaku sebagai lex specialis. Jadi, KPK tetap memiliki kewenangan. Itulah yang kami perlu harmonisasikan,” ujarnya.

Mualimin berharap, selanjutnya, Kemenkumham bersama KPK dan lembaga penegak hukum lainnya bisa duduk bersama untuk menyamakan persepsi. Kemenkumham merasa perlu melibatkan semua stakeholder dalam pembahasan RKUHP da RKUHAP. Ia memastikan minggu depan akan kembali mengundang KPK.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyambut baik undangan Kemenkumham. KPK sangat terbuka untuk melakukan pembahasan RKUHP dan RKUHAP, meski ada beberapa hal yang harus dipenuhi. Dalam pertemuannya dengan Menkumham Amir Syamsuddin, Bambang menyerahkan surat pimpinan KPK dan mendiskusikan solusi terbaik.

Bambang merasa pemerintah memiliki niat yang sama untuk membuat RKUHP dan RKUHAP yang terbaik dan bermanfaat bagi masyarakat. Ia juga menyadari, secara faktual, periode kerja DPR yang hanya tinggal 100 hari sangat tidak efektif melakukan pembahasan secara menyeluruh. Ia meminta pembahasan Buku I RKUHP didahulukan.

Selanjutnya, RKUHAP selaku hukum formil dibahas setelah RKUHP rampung. Bambang berpendapat, tidak mungkin memaksakan pembahasan RKUHP dan RKUHAP segera rampung.  Apalagi, naskah akademik yang ada sekarang, perlu diperbaiki, mengingat ada sejumlah rumusan  yang harus didiskusikan dan dielaborasi lebih lanjut.

“Ada beberapa prasyarat. Kalau pakai UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, basis dari seluruh perubahan, ada naskah akademik. Naskah akademiknya harus betul-betul diselaraskan dan menjawab kebutuhan riil, supaya kompatibiltas antara naskah dan revisi pasal betul-betul nyambung,” tuturnya.

Terkait keberatan KPK dalam konteks tindak pidana korupsi yang tetap menjadi lex specialis, menurut Bambang sudah dimasukan dalam surat KPK kepada Kemenkumham. KPK bahkan memuat studi mengenai hal itu. Intinya KPK tetap dalam posisi, supaya pembahasan dilakukan dengan cara melibatkan seluruh pihak.

MA Lebih Dirugikan
Pada kesempatan berbeda, Hakim Agung Gayus Lumbuun menilai bahwa MA juga dirugikan dengan RKUHP dan RKUHAP ini. Ia bahkan merasa MA lebih dirugikan dibanding KPK. Jadi, tak hanya KPK yang merasa tidak sreg dengan pembahasan RKUHP dan RKUHAP. Jika KPK menganggap kewenangan penyadapan, penyitaan, dan pengambilalihan perkara dilemahkan, tinggal meminta saja untuk tetap memberlakukan Pasal 63 ayat (2) KUHP.

Selaku lembaga hukum yang menggunakan aturan khusus, KPK tidak akan kehilangan kewenangannya. Gayus menyebut, Pasal 63 ayat (2) KUHP sudah menegaskan bahwa, untuk suatu perbuatan yang dapat dipidana karena ketentuan pidana umum, ada ketentuan pidana khusus, maka ketentuan pidana khusus itu yang digunakan.

“Hal tersebut sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generalis, sehingga tidak perlu KPK meminta penundaan proses RKUHP dan RKUHAP. KPK cukup meminta Pasal 63 ayat (2) KUHP tetap diberlakukan. Apabila ingin lebih kuat, aturan itu ditempatkan pada aturan peralihan KUHP dan KUHAP yang baru,” katanya pada kesempatan berbeda.

Gayus menyatakan, MA perlu mengingatkan DPR dan Pemerintah agar memperhatikan pasal-pasal RKUHP dan RKUHAP yang mengurangi kewenangan MA, seperti Pasal 250 ayat (3) RKUHAP. MA hanya diperbolehkan memberikan hukuman lebih tinggi jika perbuatan pidana didakwakan secara alternatif atau subsidairitas, bukan dakwaan tunggal.

Kemudian, Pasal 84 RKUHAP yang mengatur putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi. Menurut Gayus, pemeriksaan tingkat kasasi perlu dilakukan untuk menguji apakah putusan bebas atau lepas pengadilan tingkat pertama tersebut sudah disertai argumen-argumen yang jelas dan kuat, serta apakah putusan itu murni atau tidak murni.

Ia melanjutkan, setelah bertahun-tahun KUHAP menempatkan aturan putusan bebas atau lepas tidak boleh dikasasi, Menteri Kehakiman menerbitkan Surat Keputusan No.M.14-PW.07.03 Th.1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, yang menyebutkan demi kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.

“Itulah yang menjadikan MA saat ini memeriksa perkara-perkara putusan bebas di tingkat pengadilan negeri untuk dikoreksi. Demikian pandangan saya, terhadap kesulitan MA dalam memberikan putusan dengan memeriksa ulang sebagai bentuk koreksi penerapan hukum sebagai putusan akhir demi hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait