Sistem INA-CBGs Dorong Efisiensi Faskes
Berita

Sistem INA-CBGs Dorong Efisiensi Faskes

Agar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta sesuai dengan kebutuhan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Sistem INA-CBGs Dorong Efisiensi Faskes
Hukumonline
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar BPJS Kesehatan membawa perubahan besar dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Menurut Ketua tim National Casemix Center (NCC), Bambang Wibowo, salah satu perubahan besar itu diantaranya soal pembayaran klaim yang selama ini menggunakan mekanisme fee for service (FFS) menjadi INA-CBGs. Dalam fee for service, jumlah klaim yang ditagih tergantung pada pelayanan yang diberikan kepada pasien atau peserta. Sehingga, Rumah Sakit (RS) atau dokter dapat menentukan pelayanan apa saja yang diberikan kepada pasien.

Misalnya, seorang pasien yang didiagnosis operasi melahirkan. Maka dalam mekanisme FFS setiap komponen pelayanan yang diberikan seperti tindakan operasi, obat, akomodasi dan jasa dokter dihitung setelah pasien selesai menjalani perawatan. Ketimbang INA-CBGs, pola pembiayaan FFS cenderung mudah dipahami pemangku kepentingan (manajemen RS dan dokter).

Namun, Bambang melihat FFS membuat tarif di setiap RS berbeda-beda dalam melakukan tindakan medis terhadap diagnosis penyakit yang sama. Sebab, masing-masing RS menyusun tarifnya sendiri. Tapi pola FFS memberi keuntungan bagi RS karena resiko keuangannya tergolong kecil karena semua tagihan atas pelayanan dibebankan kepada pasien. “Fee for service itu pembayaran yang ditetapkan setelah pelayanan diberikan,” katanya dalam jumpa pers di Media Center BPJS Kesehatan di Jakarta, Kamis (6/3).

Jika FFS menguntungkan bagi RS tapi tidak untuk badan penyelenggara atau pembayar. Pasalnya, Bambang melihat dengan FFS pelayanan yang diberikan RS cenderung kurang efektif dan tidak efisien. Sehingga, ada pelayanan yang harusnya tidak dilakukan tapi diberikan kepada pasien.

Misalnya, Bambang menandaskan, setelah didiagnosis, seorang pasien sebenarnya hanya butuh USG berteknologi dua dimensi. Namun, karena RS menawarkan kepada pasien teknologi terbaru yaitu empat dimensi dan pasien mau menggunakannya maka tindakan medis itu dilakukan. “Sebenarnya USG dua dimensi saja cukup dan tidak semua diagnosis perlu empat dimensi,” paparnya.

Mengacu hal tersebut Bambang menilai pola pembiayaan FFS sangat sulit untuk diarahkan menuju pelayanan medis yang efektif dan efisien. Oleh karenanya dalam program JKN, pemerintah menggunakan pola pembiayaan Casemix bernama INA-CBGs. Mekanisme pembiayaan INA-CBGs dapat juga disebut dengan pembayaran paket. Sebab, rangkaian tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien yang mengalami sebuah diagnosis penyakit dapat diketahui dan ditentukan tarifnya.

Tarif paket dalam INA-CBGs dihitung berdasarkan data yang ada di berbagai RS di Indonesia (pemerintah atau swasta). Data meliputi tindakan medis yang dilakukan, obat-obatan, jasa dokter dan barang medis habis pakai yang diberikan kepada pasien, termasuk profit yang diperoleh RS. Data tersebut kemudian dihitung dalam rumus yang berlaku secara internasional dan diambil besaran rata-rata. Dengan paket biaya itu RS dan dokter dituntut efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan kepada pasien.

Bagi Bambang, semakin efektif dan efisien maka operasional RS yang bersangkutan bakal berjalan lancar. Jika terjadi sebaliknya, RS sebagai provider akan mengalami resiko keuangan. Bambang mencatat selisih antara biaya yang dikeluarkan RS masih bervariasi. Ada RS yang punya selisih positif karena mampu menyesuaikan dengan tarif INA-CBGs dan ada yang negatif karena belum mampu memberikan pelayanan yang efektif dan efisien.

Kepada RS yang selisihnya negatif, Bambang menyarankan agar melihat praktik yang dilakukan RS yang selisihnya positif. Oleh karenanya, Bambang mengatakan pola pembiayaan INA-CBGs punya resiko keuangan yang cukup besar bagi RS yang tidak mampu menjaga pelayanan yang efisien dan efektif. Baginya, pola pembiayaan FFS dan INA-CBGs, masing-masing punya kelemahan dan kelebihan.

“RS harus mengubah cara pandang dalam mengelola RS dan pasien lewat sistem INACBGS ini. Dengan begitu RS dan dokter harus memilih tekonologi dan pelayanan yang cost effective,” tutur Bambang.

Bambang menjelaskan tarif paket dalam INA-CBGs akan terus diperbaiki secara berkala. Yang penting, para pemangku kepentingan seperti manajemen RS dan dokter harus memahami konsep pembiayaan pola INA-CBGs agar dapat memberikan pelayanan terbaik kepada peserta JKN.

Sebelumnya Dirjen BUK Kemenkes, Akmal Taher, perubahan pembiayaan dalam program JKN merupakan salah satu bentuk perubahan yang muncul dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan. Tujuannya agar terwujud kendali mutu dan biaya dalam pelayanan kesehatan. Namun ia mengakui butuh waktu yang cukup agar RS dan dokter memahami pola pembiayaan INA-CBGs.

Selain itu pelaksanaan pola pembiayaan INA-CBGs harus dibarengi dengan adanya remunerasi bagi tenaga medis seperti dokter. Hal itu menurutnya harus dilakukan manajemen RS. Sehingga, imbal jasa yang diberikan RS terhadap dokter dapat ditentukan secara adil. “Manajemen RS harus membuat remunerasi untuk dokter. Sehingga terwujud pembagian jasa pelayanan yang berkeadilan,” ucapnya.
Tags:

Berita Terkait