RKUHAP Perlu Atur Syarat Pengajuan PK Berulang
Utama

RKUHAP Perlu Atur Syarat Pengajuan PK Berulang

Perlu dipertimbangkan masuk RKUHAP dengan catatan dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua Komisi III DPR al Muzzammil Yusuf. Foto: RES
Wakil Ketua Komisi III DPR al Muzzammil Yusuf. Foto: RES
Dikabulkannya uji materi Pasal 268 ayat (3) soal pembatasan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) yang dimohonkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mengundang beragam pandangan. Mulai perlunya persyaratan pengajuan PK diatur dalam Revisi KUHAP (RKUHAP), hingga tidak menimbulkan kepastian hukum.

Wakil Ketua Komisi III Al Muzzammil Yusuf mengatakan, ada dampak yang perlu dipertimbangkan atas putusan MK tersebut. Bila semua terpidana dalam berbagai kasus tindak pidana dapat mengajukan PK berulang, dikhawatirkan terpidana atau pelaku kejahatan luar biasa lolos. Misalnya, terpidana narkotika yang telah divonis hukuman mati.

Muzammil menyadari bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Namun, putusan MK seperti ini perlu dipertimbangkan agar masuk dalam RKUHAP, dengan catatan dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum. Menurutnya, putusan MK tersebut dapat dibicarakan antara DPR dan pemerintah dalam pembahasan RKUHAP.

Anggota Panja RKUHAP itu berpendapat, perlunya syarat pengajuan PK agar menimbulkan kepastian hukum. Persoalan berulang kali terpidana mengajukan PK menjadi perdebatan hukum yang dimungkinkan dalam pembahasan RKUHAP antara DPR dan pemerintah.

“Saya pikir ini bisa dibicarakan lagi, ternyata PK harus ada syaratnya seperti apa, sehingga kepastian hukum harus bisa ditegakan, jangan sampai kepastian hukum tidak ada,” ujarnya di Gedung DPR, Jumat (7/3).

Lebih jauh politisi Partai Keadilan Sejahtera itu berpandangan, MK menganut mazhab hukum progresif dengan mengedepankan rasa keadilan ketimbang kepastian hukum. Menurutnya, putusan MK yang menyatakan PK dapat diajukan lebih dari sekali perlu ditambahkan persyaratan pengajuan PK dalam RKUHAP.

“Harus ada syaratnya, misalnya diperketat sehingga tidak mudah orang mensiasati,” katanya.

Anggota Panja RKUHAP Harry Witjaksono mengamini pandangan Muzzammil. Menurutnya, dalam RKUHAP perlu pengaturan tentang proses pengajuan PK. Putusan MK bukan tidak mungkin nanti menjadi pembahasan mendalam dalam rangka penyusunan RKUHAP antara DPR dan pemerintah.

“Itulah sebaiknya kita menata dan membuat suatu proses hukum acara pidana yang baru. Sekarang malah MK membuat norma baru terhadap ketentuan hukum acara pidana,” ujarnya.

Anggota Panja RKUHAP lainnya Sarifuddin Sudding, mengatakan PK berulang kali memunculkan banyak persoalan. Di satu sisi, pengadilan dituntut publik memberikan keadilan bagi pencari keadilan. Di lain sisi, pengadilan mesti memberikan kepastian hukum. Menurutnya, jika pengajuan PK berulang kali bukan tidak mungkin perkara akan kian menumpuk di lembaga Mahkamah Agung.

“Ini akan membuat kerancuan. Hukum kan berkeadilan dan kepastian hukum,” katanya

Anggota Komisi III dari Fraksi Hanura itu menambahkan, putusan MK terkait PK dapat diajukan berulang memberikan dampak yang tidak baik bagi masyarakat yang mencari kepastian hukum. Menurutnya, dalam RKUHAP perlu adanya pembatasan perkara yang masuk ke MA. Misalnya, jenis perkara kategori ringan tak diperbolehkan masuk ke MA, agar tidak menumpuk.

“Dasar MK memberikan PK berkali-kali berdasarkan HAM. Itu betul, tetapi pencari keadilan juga butuh kepastian,” katanya.

Tidak ada kepastian hukum
Harry Witjaksono mengatakan, pengajuan PK berulang kali bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia berpandangan dari sisi keadilan hukum, putusan MK memberikan ruang bagi pencari keadilan memperoleh keadilan, sekalipun putusan di tingkat kasasi sudah final.

Namun, Harry khawatir terhadap terpidana kejahatan narkotika yang telah divonis hukuman mati masih dapat mengajukan PK. Itu sebabnya, perlu pengaturan persyaratan pengajuan PK agar menimbulkan kepastian hukum. “Dari kepastian hukum, putusan MK tidak bisa menimbulkan kepastian hukum,” ujar anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat itu.

Terpisah, Kapolri Jenderal Sutarman menghormati putusan MK tersebut. Menurutnya, putusan hakim konstitusi memiliki independensi dalam penegakan hukum. Namun, dalam penegakan hukum perlu memandang rasa keadilan dan kepastian hukum.

Soal PK berulang kali dinilai yang bepotensi menguntungkan terpidana narkotika, Sutarman mempersilakan masyarakat menilainya. “Jadi mungkin dengan rasa keadilan itu bolak-balik sehingga menimbulkan rasa keadilan. Tetapi demi kepastian hukum kalau prosesnya panjang tentu juga akan menjadi pertimbangan-pertimbangan lain,” pungkas jenderal polisi bintang empat itu.

Sementara itu, LBH Keadilan menilai Putusan MK tersebut diketok untuk menggapai keadilan bagi seorang terpidana yang telah menemukan bukti baru (novum). Bagi LBH Keadilan, putusan tersebut tidak perlu ada yang dikhawatirkan.

Ketua Pengurus LBH Keadilan, Abdul Hamim Jauzie, mengatakan PK merupakan upaya hukum luar biasa yang tidak bisa menunda eksekusi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004.

“Jadi, jika ada putusan kasasi atas kasus tertentu, bisa langsung dieksekusi. Namun demikian, LBH Keadilan berpendapat penggunaan pasal tersebut jangan digeneralisasi. Harus ada pengecualian. Jadi dalam kasus tertentu PK dimungkinkan dapat menunda eksekusi,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima hukumonline.

Menurut Abdul, praktik PK lebih dari sekali sudah pernah dilakukan Mahkamah Agung antara lain dalam Kasus Mochtar Pakpahan dan Pollycarpus. Bagi LBH Keadilan, sambung Abdul, di tengah kondisi demoralisasi penegakan hukum, PK berkali-kali sangat relevan.

“Bisa dibayangan jika ada satu rekayasa kasus, yang kemudian seorang terdakwa dijatuhi hukuman mati dan tidak bisa mengajukan PK yang kedua, ketiga dan seterusnya. Padahal telah ada bukti baru yang ditemukan. Sungguh telah merampas rasa keadilan seorang terpidana,” katanya.

Demoralisasi penegakan hukum tidak hanya akibat perilaku penegak hukum yang buruk, seperti rekayasa kasus oleh kepolisian, semakin banyaknya hakim dan jaksa yang terjerat kasus korupsi, hakim yang dijatuhi sanksi oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH) serta jaksa dan advokat yang terseret kasus suap. Tetapi juga buruknya sejumlah peraturan perundang-undangan.
Tags:

Berita Terkait