Regulasi Pelaksanaan Pemasyarakatan Belum Berikan Efek Jera
Utama

Regulasi Pelaksanaan Pemasyarakatan Belum Berikan Efek Jera

Bisa dilihat dari bertambahnya jumlah narapidana.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Seminar nasional bertajuk, “Setengah Abad Sistem Pemasyarakatan”, di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Rabu (12/3). Foto: RES
Seminar nasional bertajuk, “Setengah Abad Sistem Pemasyarakatan”, di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Rabu (12/3). Foto: RES
Sejumlah kebijakan pemerintah dalam rangka memberikan remisi, asimilasi dan bebas bersyarat dinilai belum memberikan efek jera. Malahan, cenderung terjadi eskalasi ancaman terhadap ketertiban dan keamanan akibat dari kebijakan tersebut. Bahkan, tidak memberikan kenyamanan dan perlindungan terhadap kehidupan masyarakat.

Demikian disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita dalam seminar nasional bertajuk, “Setengah Abad Sistem Pemasyarakatan”  di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Rabu (12/3).

Sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diterbitkan sejumlah kebijakan baru dalam pemasyarakatan. Intinya, di zaman SBY banyak mengubah kebijakan yang ada dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Misalnya, kebijakan pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Pemerintah No.32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

PP tersebut, intinya menetapkan kebijakan  untuk memperketat pemberian remisi, asimilasi dan bebas bersyarat khususnya terhadap narapidana korupsi, terorisme, dan narkoba. Selain itu, pemerintah menerbitkan kembali PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Menurut Romli, bagian menimbang huruf a PP No. 99 Tahun 2012 tidak berbeda dengan PP No. 28 Tahun 2006 yang mengubah PP No. 32 Tahun 1999. Romli berpendapat, sikap pemerintah ambigu dan inkonsistensi terhadap kebijakan yang telah ditetapkan dalam menata kembali Pemasyarakatan sebagai suatu sistem pembinaan narapidana Indonesia.

“Perubahan kebijakan ini (PP 99/2012, red) hanya bertujuan mencari justifikasi untuk ‘menambah’ efek jera sebagaimana sering dikemukakan oleh pejabat Kemenkumham sejalan dengan teriakan-teriakan LSM yang kita dengar sehari-hari,” ujarnya.

Mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) itu lebih jauh berpandangan, kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan pemasyarakatan dinilai tidak berhasil menurunkan kuantitas maupun kualitas kejahatan terorisme, korupsi dan narkoba.

Menurut Romli, berdasarkan data statistik per 2012, jumlah narapidana residivis tahanan dan narapidana ketiga kelompok kejahatan sebanyak 66.859 orang. Ironisnya, meningkat menjadi 161.366 di tahun 2013.

Anggota Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Yunus Husein menambahkan, faktor lain adalah over kapasitas di Lapas yang dapat memicu kerusuhan di sejumlah Lapas. Misalnya, di Lapas tanjung Gusta Medan Sumatera Utara. Selain itu, faktor keamanan menjadi penilaian terhadap keberhasilan pelaksanaan pemasyarakatan.

Sebagaimana diketahui, terjadi insiden penyerangan terhadap pelaku pembunuhan anggota TNI di Rutan Cebongan Yogyakarta. Ia menilai perlunya perbaikan berbagai sektor di Lapas agar pelaksanaan pemasyarakatan terhadap narapidana dapat berhasil.

Menurutnya, sejumlah Kalapas sudah dikumpulkan agar memperkuat internal di Lapas. Ia menilai perlunya penambahan anggaran di Lapas menjadi faktor yang tidak terbantahkan dalam rangka penambahan sumber daya manusia yang tidak berbanding dengan jumlah narapidana di Lapas.

Lebih lanjut, mantan Kepala PPATK itu mengatakan ketidakberhasilan pemasyarakatan menjadi corengan hitam di wajah pemerintah. Menurutnya, mengelola narapidana di Lapas bukanlah persoalan mudah. Lagi-lagi lantaran kendala anggaran dan keterbatasan sumber daya manusia, bahkan fasilitas infrastruktur yang terbatas.

“Akar masalahnya adalah kemampuan internal dalam mengelola Lapas itu sendiri. Ini tinggal kemauan dari Kemenkumham yang kuat menjalankan pembinaan, sehingga mereka narapidana bisa kembali ke masyarakat dengan baik,” ujarnya.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin tak membantah masih perlunya berbagai perbaikan di berbagai sektor dalam pemasyarakatan. Menurutnya, konsep pemasyarakatan prinsipnya mengitegrasikan pemasyarakatan dengan baik bagi narapidana. Hak asasi narapidana prinsipnya tetap harus dijunjung tinggi dengan melakukan pembinaan, bukan pembalasan.

“Dalam konteks kekinian tugas pemasyarakat menghadapi tatangan yang beragam. Setiap hari disuguhi informasi tentang Rutan dan Lapas yang semakin padat. Tentu ini membawa dampak tersendiri, tidak optimalnya pelaksanaan program, dan pemicu terjadinya kerusuhan,” ujarnya.

Amir melanjutkan, masyarakat memiliki harapan besar agar pelaksanaan pemasyarakatan tetap menjunjung keadilan. Makanya ia berpendapat perlunya dilakukan perumusan mencari jalan keluar atas pelaksanaan tugas pemasyarakatan agar berjalan efektif dan maksimal. Dengan begitu, narapidana dapat kembali di tengah masyarakat dengan berkelakuan baik.

“Pembinaan narapidana menjadi tanggungjawab seluruh bangsa,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait