Terhukum Korupsi Persoalkan UU Lingkungan Hidup
Utama

Terhukum Korupsi Persoalkan UU Lingkungan Hidup

Materi posita permohonan yang dinilai kurang jelas pertentangan normanya.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Majelis Panel MK menggelar sidang perdana pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPPLH) yang dimohonkan Bachtiar Abdul Fatah, terhukum 2 tahun penjara dalam kasus korupsi bioremediasi. Bachtiar memohon pengujian Pasal 59 ayat (4), Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 102 UU PPPLH terkait kewajiban izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), beserta ancaman sanksinya.

Ini bukan pertama kali terhukum atau terpidana korupsi mengajukan pengujian terhadap Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi.

Ketua Tim Kuasa Bachtiar, Maqdir Ismail mengungkapkan Bachtiar selaku General Manager Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) telah dihukum oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena terbukti melanggar UU PPLH. Bachtiar terbukti melanggar Pasal 3 UU Tipikor dengan alasan proyek bioremediasi dikerjakan diatas tanah yang terkontaminasi limbah B3 yang dihasilkan CPI tanpa adanya izin.

Menurut Maqdir norma Pasal 59 ayat (1) dan (4) kontradiktif. Satu sisi, penghasil limbah B3 diwajibkan untuk mengelolanya, jika tidak bisa dikenai sanksi pidana. Sisi lain pengelolaan limbah wajib memperoleh izin menteri, gubernur/walikota/bupati. Sebab, bisa saja penghasil limbah B3 sedang mengurus izin perpanjangan pengolahan limbah, tetapi pengolah limbah B3 yang tak berizin bisa dipidana.

“Situasi ini yang dialami pemohon yang merugikan hak konstitusionalnya, sehingga pasal-pasal itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” kata Maqdir dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Muhammad Alim di ruang MK, Kamis (13/3). Alim didampingi, Ahmad Fadli Sumadi dan Patrialis Akbar sebagai anggota panel.

Selengkapnya, Pasal 59 ayat (4) menyebutkan, “Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.” Pasal 95 ayat (1) berbunyi, “Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri.”

Pasal 102 merumuskan setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp3 miliar.

Maqdir menegaskan, Pasal 59 ayat (4) UU PPLH memungkinkan terjadi kondisi dimana karena alasan-alasan tertentu instansi yang berwenang tidak/belum memberikan izin kepada penghasil limbah B3 untuk wajib mengelola limbahnya.

Dia mengatakan keberadaan kata “dapat” dalam Pasal 95 ayat (1) UU PPLH menciptakan ketidakpastian karena membuka kemungkinan “penegakkan hukum terpadu” hanya menjadi sekedar slogan tanpa pelaksanaan. Sebab, ini memberi peluang aparat penegak hukum untuk jalan sendiri-sendiri dengan mengabaikan semangat UU PPLH menegakkan hukum terpadu di bawah koordinasi Menteri Lingkungan Hidup.

Karenanya, seyogyanya kata “dapat” dinyatakan batal, frasa “tindak pidana lingkungan hidup” dalam Pasal 95 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk ‘tindak pidana terkait dengan lingkungan hidup’, misalnya tindak pidana korupsi.

Selain itu, Frasa “di bawah koordinasi Menteri" dalam Pasal 95 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai di bawah koordinasi Menteri kecuali Menteri berdasarkan bukti permulaan yang cukup diduga terlibat dalam tindak pidana yang sedang disidik. 

Pemohon juga meminta MK membatalkan Pasal 59 ayat (4) jo Pasal 102. Atau jika berpendapat lain, Pasal 102 UU PPLH dinyatakan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai bahwa tindak pidana hanya dapat dikenakan sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.

Menanggapi permohonan, anggota Panel Ahmad Fadlil Sumadi mengingatkan menyangkut petitum permohonan, bahwa MK tidak berwenang membatalkan Undang-Undang, tetapi hanya berwenang menyatakan suatu Undang-Undang itu bertentangan dengan UUD 1945. “Yang harus diperhatikan pemohon seharusnya melihat pertentangan normanya sebagai ujung dari pemeriksaan ini, bukan batal atau tidak,” kata Fadlil.

Fadlil memberi nasihat mengenai petitum permohonan yang minta membatalkan dan konstitusional bersyarat dalam satu tuntutan. “Petitum alternatif itu lazimnya tidak dalam satu poin, tetapi lebih distrukturkan agar bisa memastikan pertentangan normanya, mutlak atau nisbi (konstitusional bersyarat), ini perlu dijelaskan dalam dua poin yang berbeda,” sarannya.

Nasihat lain Fadlil mengenai materi posita permohonan yang dinilai kurang jelas pertentangan normanya, yang belum bisa meyakinkan hakim. Sebab, selama ini hakim MK harus bisa diyakinkan ketika suatu norma bertentangan dengan UUD 1945. “Bagaimana  pemohon bisa meyakinkan kami kalau pasal itu bertentangan, kalau minim seperti ini apa tidak ada alasan lain. Ini harus perlu diperbaiki”.
Tags:

Berita Terkait