PK Lebih dari Sekali Dinilai Keliru
Utama

PK Lebih dari Sekali Dinilai Keliru

Kriteria dan persyaratan pengajuan PK dalam Pasal 263 KUHAP dapat ditambah dengan PERMA.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
Prof Andi Hamzah. Foto: RES
Prof Andi Hamzah. Foto: RES
Ketua Tim Perumus Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) Prof Andi Hamzah menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan upaya Peninjauan Kembali (PK) dapat diajukan lebih dari satu kali adalah keliru. Menurutnya, RKUHAP yang saat ini sedang dibahas antara pemerintah dan DPR sudah memuat kekurangan KUHAP yang lama.

“Keliru, Mahkamah Konstitusi ini kurang paham mengenai PK itu,” ujarnya di Jakarta, Rabu (12/3).

Menurutnya, lembaga peradilan tertinggi yakni Mahkamah Agung hanya menentukan novum yang diajukan pemohon dapat diterima atau sebaliknya. Sedangkan untuk mendapatkan putusan dilakukan sidang ulang (retrial). Misalnya, kata Andi, dalam kasus mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar dapat dilakukan sidang ulang dengan mengemukakan saksi dan sejumlah bukti baru untuk membuktikan ia tidak bersalah.

“Kalau itu sudah diputus, tidak ada PK kedua, karena sudah disidang ulang,” ujarnya.

Lebih jauh, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu berpandangan jika saja MK menelaah pasal upaya luar biasa PK dalam RKUHAP, setidaknya putusannya tidak akan demikian. Pasalnya, kata Andi, putusan PK nantinya dilakukan oleh pengadilan tingkat pertama yang memeriksa awal perkara.

Menurutnya, dalam pembahasan RKUHAP nanti antara pemerintah dengan DPR tak akan terpengaruh dengan putusan MK. Pasalnya, sistem upaya PK lebih dari satu kali berbeda halnya dengan rumusan dalam RKUHAP.

“Kita tidak perduli, karena sistemnya lain, dan diputus oleh retrial sidang ulang,” ujarnya.

Selain Prof Andi, pihak yang juga mewakili pemerintah adalah Dirjen HAM Prof Harkristuti Harkrisnowo. Menurut Harkristuti, putusan MK tentang PK lebih dari sekali dinilai menimbulkan persoalan hukum lain. Namun prinsipnya, ia menghormati putusan MK. Pasalnya, putusan MK bersifat final dan mengikat.

“Saya membayangkan ada orang yang mau dieksekusi mati, lalu mereka mau PK dulu. Lalu sebagian orang menilai kepastian hukumnya seperti apa,” ujarnya.

Bila mengikuti putusan MK, kata Harkristuti, maka pengajuan PK lebih dari satu kali harus dibuka. Cuma menjadi pertanyaan, lanjutnya, apakah upaya PK lebih dari sekali dibuka seluruhnya atau dibatasi agar terdapat suatu proses hukum berhenti.

“Jadi tidak ada proses hukum yang bisa sampai akhir jaman itu tidak ada. Harus ada berhenti pada satu titik. Nah, ini agak sulit direalisasikan dengan putusan MK menurut saya,” ujarnya.

Berbeda dengan Andi dan Harkristuti, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita mengatakan, putusan MK dinilai tepat. Pasalnya, PK dalam rangka memperoleh keadilan. Pasalnya pasca terbit putusan kasasi, maka pekerjaan jaksa selaku penuntut umum dan hakim rampung demi kepastian hukum.

“Tetapi ketika dia (terpidana, red) masuk penjara itu yang dicari keadilan, karena dia menjalani pidana dia boleh PK. Jadi apa yang dicari, adil. Mungkin ada novum,” ujarnya.

Romli berpandangan putusan MK terkait PK menjadi perkembangan hukum. Oleh karena itu, kata Romli, mesti dimasukan dalam pembahasan RKUHAP. Hal itu perlu dilakukan ada persyaratan pengajuan PK diperberat khusus tindak pidana tertentu. Misalnya, tindak pidana teroris, korupsi dan narkotik.

“Perkembangan PK ini harusnya masuk RKUHAP. Misalnya konten alasan PK harus diperberat, sehingga untuk narkoba, terorisme dan korupsi kira-kira begitu,” ujarnya.

Lebih jauh, Romli yang juga mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) itu menuturkan, tak akan mempengaruhi penambahan beban perkara di MA. Pasalnya, selama ini PK dilakukan pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama. Selain itu, pengadilan tingkat pertama yang nantinya harus diberikan kewenangan memutuskan diterima tidaknya PK.

“Jadi nanti kriteria di Pasal 263 boleh ditambah dengan Peraturan Mahkamah Agung, boleh membentuk norma kan MA. Nanti Harus (masuk dalam RKUHAP, red), karena ini masa depan KUHAP. Sementara pakai PERMA,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait