KPK Anggap Eksepsi Budi Mulya Menyesatkan
Berita

KPK Anggap Eksepsi Budi Mulya Menyesatkan

Bukan kebijakan yang diadili, tapi perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian FPJP dan pengusulan penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Foto: SGP
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Foto: SGP
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menegaskan KPK tidak memidanakan kebijakan, melainkan pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan pengusulan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Ia menganggap argumentasi keberatan (eksepsi) pengacara Budi Mulya yang berkaitan dengan KPK mengadili kebijakan, keliru, serta menyesatkan fakta dan keyakinan publik. “Pendapat itu nampaknya sesuai dan selurus tegak dengan pernyataan yang dikemukakan Presiden SBY,” katanya kepada hukumonline, Jum’at (14/3).

Dua hari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang menanggapi kasus hukum mantan Deputi Gubernur Bidang IV Pengelolaan Moneter dan Devisa, Budi Mulya yang turut menyeret nama Wakil Presiden Boediono. SBY berpendapat, kebijakan BI yang ketika itu di bawah kepemimpinan Boediono selaku Gubernur BI tidak dapat diadili.

Presiden SBY, sebagaimana dikutip dari situs www.setkab.go.id, mengatakan kebijakan pemberian FPJP Century dan dana talangan Rp6,7 triliun untuk Century sudah tepat. Saat kebijakan tersebut diambil pada 2008, situasi sedang krisis. SBY mengaku sedang berada di Peru dan tidak dihubungi Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

“Saat itu ada Wapres Jusuf Kalla di Jakarta. Kalau tidak memberi tahu saya, ya tidak salah. Mereka punya kewenangan sesuai undang-undang. Namun, jika dalam policy development implementation ada penyimpangan, saya serahkan kepada proses hukum. Saya berharap tidak ada politisasi terhadap proses hukum kasus Century,” ujar SBY.

Seakan mempertegas pernyataan SBY, tim pengacara Budi mengungkapkan alasan serupa dalam eksepsi yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin. Namun, Bambang menjelaskan KPK meyakinki perbuatan yang diadili telah memenuhi rumusan delik. KPK menemukan adanya kesalahan dan orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Bambang, perubahan Peraturan Bank Indonesia (BI) dan aturan lainnya dilakukan sebagai sarana perwujudan dan penyempurnaan delik. Perubahan aturan ini dikarenakan Century tidak memenuhi syarat mendapatkan FPJP, mengingat nilai rasio kecukupan modal atau Capital Adequancy Ratio (CAR) dan jaminan aset kredit Century.

Kendati persyaratan CAR sudah diubah menjadi hanya positif, posisi CAR Century pada saat itu berada di angka negatif 3,53 persen. “Namun, FPJP tetap diberikan dengan menyajikan data yang keliru. Jaminan aset juga persyaratannya diubah. Tidak ada due diligence dan aset yang dijaminkan tidak memenuhi syarat,” tutur Bambang.

Perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang juga diduga terjadi dalam pengusulan penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Bambang mengungkapkan, perbuatan ini dilakukan Budi dan pihak lainnya di BI dengan telah mengabaikan hasil pemeriksaan onsite supervision BI sendiri atas Century.

Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, sejak 2005-2002, BI menemukan banyak pelanggaran Century atas batas maksimum pemberian kredit (BMPK), kredit fiktif, LC fiktif, dan pembiayaan fiktif yang tidak ditindak. Pengawas Bank BI bahkan sempat merekomendasikan penutupan Century, tapi diabaikan Budi dan pihak-pihak lain di BI.

Sementara, pengusulan penetapan Century sebagai bank gagal bedampak sistemik juga dilakukan secara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan. Bambang menerangkan, pengusulan itu dilakukan dengan cara membuat analisis seolah bank berdampak sistemik. Data Century yang sebenarnya telah diubah.

Bambang mencontohkan, data-data Century terkait surat-surat berharga (SSB) valas yang sebenarnya macet dinyatakan lancar. Selain itu, kebutuhan dana dibuat seolah-olah kecil untuk menutupi kebutuhan dampak sistemik. “Itu sebabnya dana yang dibutuhkan membengkak dari semula Rp632 miliar menjadi Rp6,7 triliun,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait