“Menurut kita kasus ini belumselesai karena ada 8 tersangka, dan harus diteruskan dilimpahkan ke pengadilan,” ujar anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson Yunto, di Jakarta, Senin (17/3).
Kedelapan tersangka itu adalah Semion Tarigan, Eddy Lukas, Linda Rahardja, Andrian, Wilihar Tamba, Laksamana Adhyaksa, Tio Bio Kok dan Lee Boon Heng. Selain itu, kata Emerson, pemilik Asian Agri Group yakni Sukanto Tanoto belum tersentuh secara hukum. Pernyataan Emerson menyikapi munculnya informasi terbitnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) oleh pihak Kejagung terhadap delapan tersangka itu.
Emerson mengatakan, Kejagung beralasan proses hukum kedelapan orang tersangka tidak perlu lagi diteruskan lantaran telah diwakili Suwir Laut yang telah divonis bersalah. Terlebih, Asian Agri telah diwajibkan membayar denda atas perkara pajak. Selain itu, Kejagung menilai penghentian perkara merupakan pemenuhan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Jika informasi ini benar maka penghentian penuntutan kedelapan tersangka skandal pajak Asian Agri Group maupun alasan yang dikemukakan Kejagung adalah keliru, tidak mendasar dan tidak dapat dipertanggungjawabakan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Legal Resource Center (ILRC), Uli Parulian, menambahkan dalam penghentian penuntutan, setidaknya Kejagung harus merujuk pada KUHAP, khususnya Pasal 140 ayat (2) yang mensyaratkan penghentian penuntutan dapat dilakukan jika tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan tindak pidana, peristiwa yang terjadi bukan merupakan tindak pidana, dan dihentikan dengan alasan demi hukum.
Uli menilai Kejagung keliru menggunakan asas nebis in idem. Menurutnya, kedelapan tersangka itu belum menjalani tahap penuntutan. Maka dari itu, kata Uli, mustahil jika kedelapan orang tersangka dilakukan penuntutan untuk yang kedua kali atas perkara yang sama.
“Lantas bagaimana mungkin Kejaksaan Agung menggunakan asas nebis in idem dalam mengeluarkan keputusan penghentian penuntutan perkara ini yang nyata-nyata tidak dapat diterapkan untuk kedelapan tersangka di atas,” katanya.
Menurutnya, hukum pidana tidak mengenal perwakilan dalam menjalankan pertanggungjawaban pidana. Sebaliknya, setiap orang wajib mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kapasitas, kadar dan porsinya saat melakukan kejahatan.
Praktisi Perpajakan Prastowo menambahkan, putusan Mahkamah Agung terhadap Suwir Laut telah berkekuatan hukum tetap. Dia menilai Kejagung seolah mengabaikan putusan Mahkamah Agung tersebut. Menurutnya, tahap penuntutan perlu terus dilakukan hingga dilimpahkan ke meja hijau.
“Hal itu dilakukan agar mendapatkan pihak yang secara menyuruh melakukan atau menganjurkan atas tindak pidana tersebut. Pasalnya Suwir Laut hanyalah pelaku,” tambahnya.
Menurutnya, putusan MA dalam perkara Suwir Laut menjadi petunjuk bahwa terdapat beneficial owner yang harus bertangungjawab terhadap tindak pidana yang dilakukan Suwir Laut. Sebaliknya, jika penuntutan dihentikan maka terancam tidak dapat dikejar siapa pihak yang menganjurkan tindak pidana perpajakan tersebut.
Atas dasar itu, Kejagung diminta agar terus melakukan tahap penuntutan berdasarkan fakta hukum, bukan sebaliknya malah menghentikan. Selain itu, Kejagung diminta segera melimpahkan kasus tersebut ke pengadilan. Namun jika dihentikan maka akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di bidang perpajakan.
“Kita khawatir kalau dihentikan akan memberikan kepercayaan diri bagi pengempelang pajak,” tandasnya.
Terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Setia Untung Ari Muladi, menepis tudingan pihaknya menghentikan penuntutan. Menurutnya, proses hukum masih terus berjalan di penyidik Ditjen Pajak. Menurutnya, jika berkas dinyatakan memenuhi syarat formil dan materil akan diserahkan ke kejaksaan selaku penuntut umum.
“Setahu saya kasus dimaksud masih dalam proses penyidikan oleh penyidik dari Dirjen Pajak. (Soal SKPP, red) tidak ada,” pungkasnya.