Veto Presiden di Mata Patrialis Akbar
Resensi

Veto Presiden di Mata Patrialis Akbar

Buku ini berasal dari disertasi Patrialis Akbar di Universitas Padjadjaran Bandung.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Apa dan bagaimana hubungan lembaga kepresidenan dengan DPR dalam menjalankan fungsi legislasi dan anggaran? Pertanyaan itulah yang coba dijawab Patrialis Akbar lewat sebuah disertasi doktor di Universitas Padjajaran, Bandung.

Jawaban dan analisis Patrialis telah meyakinkan tim promotor dipimpin Prof Sri Soemantri memberi ganjaran cumlaude pada 7 November 2012 silam. Setelah melewati proses editing, karya disertasi itu kemudian dibukukan dengan judul Hubungan Lembaga Kepresidenan dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Veto Presiden.

Diterbitkan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Hukum (P3IH) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (2013), buku ini hadir sebagai salah satu ‘sumbangan pemikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan hukum’.

Dilihat dari konsep awal, penulis sebenarnya ingin menganalisis apa dan bagaimana hubungan lembaga kepresidenan dan DPR sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945, termasuk dalam kaitannya dengan penggunaan hak veto. Secara umum, penulis melihat hubungan itu dalam perspektif checks and balances karena prinsip ini paling mendasar dalam negara yang menganut sistem presidensial (hal. 196).

Sebelum amandemen konstitusi, hubungan lembaga kepresidenan dengan DPR tampak pada delapan kegiatan kenegaraan berupa fungsi legislasi dan anggaran. Dalam prakteknya, kekuasaan presiden ternyata sangat kuat (executive heavy) karena selain sebagai kepala eksekutif, presiden juga memegang kekuasaan legislatif (hal. 3-4).

Setelah amandemen, terjadi perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum amandemen, UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan; setelah amandemen berubah menjadi pemisahan kekuasaan. Masing-masing lembaga  negara memiliki kekuasaan yang terpisah satu sama lain walaupun dalam pelaksanaan tugasnya masih tetap terkait dan mempunyai hubungan satu sama lain dalam sistem kontrol dan mengimbangi. Secara hirarkhis tidak ada satu lembaga negara yang memiliki kedudukan dan tingkat lebih tinggi dibanding lainnya (hal. 7).

Karya Patrialis bukanlah kajian pertama yang membahas hubungan antarlembaga negara pasca amandemen UUD 1945. Bahkan enam tahun sebelumnya, Kuntana Magnar sudah menulis disertasi tentang hubungan DPR dan Presiden setelah perubahan UUD 1945, juga di Unpad Bandung (2006), fungsi kewenangan legislasi DPR dan Presiden juga sudah menjadi kajian Saldi Isra (Pergeseran Fungsi Legislasi, 2010). Bahkan sudah menjadi perhatian akademisi jauh sebelumnya seperti karya klasik Ismail Sunny ‘Pergeseran Kekuasaan Eksekutif’.

Salah satu yang menarik dari kajian Patrialis adalah hak veto dan posisi presiden jika berhadapan dengan DPR. Hak veto dikenal di Amerika Serikat, bahkan sudah sering dilakukan. Penulis memuat daftar veto yang pernah terjadi di Amerika Serikat (hal. 114-116).

Hak veto adalah hak menyatakan menolak atau tidak setuju terhadap suatu rencana pembahasan RUU atau terhadap materi suatu RUU. Hak veto tercantum secara implisit dalam pasal 20 ayat (1), pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Hak veto pernah terjadi baik pada masa Menteri Hukum dan HAM dijabat Patrialis dalam pembahasan RUU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, atau masa Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra dalam pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi (hal 202). DPR bahkan pernah mengancam menggunakan hak itu saat membahas anggaran Polri.

Buku karya Patrialis juga menyebut veto bersyarat berkaitan dengan penyusunan RUU APBN. Tentang apa maksudnya, tentu pembaca bisa membaca lebih lanjut. Penulis menyarankan agar ada amandemen terhadap Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Langkah ini perlu untuk memperjelas posisi Presiden dan DPR saat menggunakan hak veto.

Apapun kesimpulan dan rekomendasi penulis, buku ini tetap layak dipandang sebagai kontribusi terhadap kajian ketatanegaraan Indonesia, seperti karya-karya lain yang sudah banyak menghiasi toko buku.

Selamat membaca…
Tags: