Sistem Verifikasi Legalitas Hutan Belum Antikorupsi
Berita

Sistem Verifikasi Legalitas Hutan Belum Antikorupsi

Dinilai hanya alat bagi masyarakat Eropa agar tidak disalahkan karena membeli kayu-kayu ilegal Indonesia.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP (Ilustrasi)
Foto: SGP (Ilustrasi)
Pada tanggal 27 Februari lalu, Parlemen Uni Eropa secara aklamasi meratifikasi Perjanjian Kemitraan Indonesia-Uni Eropa tentang penegakan hukum, tata kelola, dan perdagangan sektor kehutanan (FLEGT VPA). Perjanjian tersebut secara mendasar menempatkan sistem sertifikasi kayu Indonesia, yang biasa disebut dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Sistem tersebut menjadi instrumen penting untuk memastikan bahwa kayu-kayu Indonesia yang dipasarkan di Eropa adalah kayu yang bebas dari pelanggaran hukum dan berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.

Sayangnya, SVLK dinilai banyak kalangan masih belum bisa memastikan bahwa kayu yang dipasarkan itu benar-benar besar dari pelanggaran hukum. Selain itu, tak ada jaminan pula bahwa kayu yang dipasarkan berasal dari hutan yang dikelola secara baik. Regulasi SVLK yang hampir setiap tahun diubah, dipandang justru menurunkan kualitasi kriteria dan indikator kayu yang bebas persoalan hukum.

“Masih ada`pertanyaan yang tersisa dari SVLK ini, mengapa pengawasan independen masih belum bisa berjalan? Kayu-kayu dari perusahaan yang tersangkut kasus hukum dan dari kawasan yang belum kukuh pun bisa mendapatkan sertifikat,” komentar Andy Roby, ahli kehutanan dari Britain’s Departmentfor International Development,dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (18/3).

Menurut Andy, SVLK baru sebatas legalitas mengenai ketentuan-ketentuan formal. Ia mengatakan bahwa banyak kasus yang dalam proses perizinannya terjadi pelanggaran hukum seperti suap atau korupsi tetap bisa mendapat sertifikat. Hal itu terjadi karena perusahaan bisa memenuhi ketentuan syarat mendapatkan sertifikat.

“SVLK didesain untuk melihat kepatuhan perusahaan terhadap peraturan. Jadi, selama perusahaan bisa memenuhi syarat yang ditentukan peraturan untuk mendapatkan sertifikat, tak masalah. Sekalipun telah terjadi suap atau korupsi dalam proses perizinannya,” ujarnya.

Aktivis hutan dari WALHI, Zenzi Suhadi, menilai SVLK hanya alat bagi masyarakat Eropa agar tidak disalahkan karena membeli kayu-kayu illegal dari Indonesia. Padahal, SVLK sejak awal bukan sekadar tata niaga kayu. Dengan tegas ia menyatakan, seharusnya SVLK bisa menjadi alat uji mutu tata kelola kehutanan.

“SVLK justru sedang dilemahkan sehingga dikhawatirkan malah mendukung deforestasi dan pelanggaran HAM. Ini hanya alat bagi masyarakat Eropa agar tidak disalahkan karena membeli kayu-kayu ilegal Indonesia,” katanya.

Pernyataan Zenzi diamini peneliti Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho. Menurut Emerson, pihaknya banyak menemukan bahwa SVLK justru diberikan kepada perusahaan yang tidak sepenuhnya memenuhi peraturan dan regulasi pemerintah. Hal ini dinilai akibat tidak adanya proses lacak balak hingga ke titik tonggak, cakupan standar dan criteria yang tidak mencakup peraturan di luar regulasi kehutanan.

Selain itu, Emerson melihat korupsi dalam perizinan tidak dijadikan objek verifikasi SVLK. Ia juga menilai tak ada mekanisme yang memastikan bahwa izin yang dikeluarkan pemerintah tidak melanggar hukum adat masyarakat. Akibatnya, ada perusahaan yang mendapatkan SVLK padahal tersangkut perkara korupsi yang ditangani oleh KPK.

“Sistem ini diragukan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Kajian perizinan kehutanan yang dilakukan KPK bahkan menengarai sertifikasi ini sebagai ruang pemerasan baru terhadap unit usaha,” paparnya.
Tags:

Berita Terkait