Hakim Tinggi Usul MK Dimasukan ke Kamar MA
Utama

Hakim Tinggi Usul MK Dimasukan ke Kamar MA

Usulan ini dinilai tak berdasar.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Seminar IKAHI yang digelar di Jakarta (20/3). Foto: RES
Seminar IKAHI yang digelar di Jakarta (20/3). Foto: RES
Hakim Tinggi pada Balitbang Diklat Kumdil, Disiplin F Manao mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi (MK) “dileburkan” ke dalam Mahkamah Agung (MA), dan ditempatkan di salah satu kamar di MA.

Disiplin menyampaikan hal ini dalam sesi tanya jawab dalam seminar Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) di Jakarta, Kamis (20/3). Disiplin menyampaikan ini kepada dua narasumber, Ketua DKPP yang sekaligus mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie dan mantan Ketua MA Bagir Manan.

“Di negara-negara demokrasi dan beradab, MK itu sebenarnya kan tidak ada. Kewenangan MK itu bisa ditangani MA. Sebaiknya, MK masuk ke dalam salah satu kamar di MA,” ujarnya.

Sebagai informasi, MA saat ini telah memiliki lima kamar pembagian perkara. Yakni, kamar pidana, perdata, agama, tata usaha negara, dan militer. MA telah memulai sistem kamar ini sejak 2011 dan mulai berlaku efektif secara penuh pada April 2014.

Jimly menjelaskan bahwa ada banyak konsep judicial review di dunia. “Ada 10 model judicial review di dunia, dan model terbesar yang diikuti banyak negara ada tiga model,” jelasnya sambil merujuk bukunya yang bertajuk Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara.

Ia mennjelaskan, selain model pengujian, masing-masing negara di dunia juga berbeda ketika menentukan lembaga yang berwenang menangani permohonan judicial review (pengujian undang-undang terhadap konstitusi). Misalnya, di negara yang menganut sistem common law yang menyerahkan kewenangan ini ke MA. 

“Semua negara common law, kecuali Inggris, menerapkan judicial review dan kewenangan ini dilakukan oleh MA. Ini karena sejarah judicial review kasus Marbury vs Madison pada 1803 oleh MA Amerika Serikat. Makanya, semua negara yang sistem konstitusi dipengaruhi Amerika, nggak punya MK,” jelas Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini.

Sedangkan, di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental (civil law) membentuk MK. “Semua negara Eropa Kontinental, selain Belanda, membentuk MK,” jelasnya.

Jimly menuturkan bahwa Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental sempat gamang ketika merumuskan kewenangan judicial review ini di awal kemerdekaan. Pasalnya, Indonesia terpengaruh sistem hukum Belanda. “Yamin usul agar MA bisa melakukan judicial review, tapi usul ini ditolak oleh Soepomo,” jelasnya.

Karenanya, Jimly berpendapat perdebatan mengenai siapa yang berwenang melakukan judicial review seharusnya tak perlu dipersoalkan kembali. Apalagi, sejak amandemen UUD 1945, konstitusi Indonesia telah memberi kewenangan ini kepada MK.

“Semua negara civil law mendirikan MK yang sederajat dengan MA. Bahkan, negara-negara bekas Komunis yang berubah menuju demokratis juga mulai mendirikan MK. Jadi, tak perlu lagi ada pikiran, ini harus dibubarkan dan masukan ke MA,” ujarnya.

Ditemui di sela-sela seminar, mantan Hakim MK Arsyad Sanusi menilai bahwa usulan agar MK dimasukan ke dalam salah satu kamar di MA tak berdasar. “Undang-Undangnya sudah begitu (judicial review,-red). Itu konstitusional,” ujar pria yang dahulu dicalonkan menjadi hakim konstitusi oleh MA ini.
Tags:

Berita Terkait