Notaris Bingung Dimana Harus Menyimpan Protokol Notaris
Utama

Notaris Bingung Dimana Harus Menyimpan Protokol Notaris

Salah satu cara dengan mengelektronikkan protokol notaris

Oleh:
HRS
Bacaan 2 Menit
Pembicara dan Panitia Seminar Internasional Cyberlaw di Bali berpose bersama. Foto: HRS
Pembicara dan Panitia Seminar Internasional Cyberlaw di Bali berpose bersama. Foto: HRS
Sejumlah notaris tampak kebingungan bagaimana dan dimana menyimpan protokol notaris sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Pasal 1 angka 13 UU Jabatan Notaris mendefinisikan protokol notaris sebagai kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai arsip negara, dokumen itu harus selalu disimpan dan dipelihara dalam keadaan apapun meskipun notaris si pemilik protokol tengah cuti maupun meninggal dunia.

Pasal 63 ayat (5) UU Jabatan Notaris sebenarnya sudah mengatur cara penyimpanan dan pemeliharaan protokol notaris ini. Yakni, protokol notaris yang telah berusia 25 tahun atau lebih diserahkan kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD).

Ketua Bidang Informasi Teknologi Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI) Ismiati Dwi Rahayu tak yakin ketentuan ini bisa dilaksanakan. Bagaimana mungkin MPD mampu menyimpan ribuan protokol notaris yang telah berusia 25 tahun lebih di kantor MPD apabila majelis pengawas itu sendiri tidak memiliki kantor. Padahal, MPD telah berdiri sejak 2004 lalu.

Lantaran MPD tak punya kantor, protokol-protokol notaris tersebut kini disimpan di kantor notaris yang bersangkutan. Artinya, ketentuan Pasal 63 ayat (5) UU JN tak dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Begitu juga dengan ketentuan Pasal 1 angka 13 UU Jabatan Notaris. Persoalan ini pun semakin diperkuat dengan tidak ada solusi dari UU Jabatan Notaris itu sendiri. Undang-Undang belum mengatur dengan tegas diperbolehkannya menyimpan dan memelihara protokol notaris secara elektronik.

“UU ITE pun belum menunjang, apalagi UU Jabatan Notaris,” ujarnya saat Seminar Internasional Cyberlaw di Bali sedang berlangsung, Rabu (19/3).

Notaris Fardian juga membenarkan kondisi tersebut. Ia menambahkan, selain MPD tak memiliki tempat, MPD Juga tidak memiliki dana yang cukup untuk kelangsungan lembaga yang dibuat pemerintah ini.

“Mau diapain lagi karena MPD masih belum punya tempat. Mereka juga nggak punya dana. Tapi saat ini sudah ada, cuma dana yang dianggarkan buat mereka itu kecil,” ujar Fardian.

Namun, Ismiati tak kehilangan akal. Ia mencoba menelisik kemungkinan penyimpanan protokol notaris itu dalam bentuk elektronik. “Apakah UU Kearsipan mengakomodasikan untuk menyimpan protokol notaris dalam bentuk chip atau berupa elektronik?” tanyanya di dalam seminar.

Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Mustari Irawan menjelaskan terlebih dahulu tentang kearsipan itu sendiri. Dalam perspektif kearsipan, eksistensi arsip itu bisa ditentukan kapan ia dapat dimusnahkan atau dipermanenkan. Melihat urgensinya protokol notaris, Mustari mengklasifikasikan protokol notaris sebagai arsip yang vital karena arsip tersebut harus tetap ada selama notaris itu menjalankan perannya.

“Untuk soal medium (apakah disimpan dalam bentuk digital atau fisik, red) hal itu dimungkinkan,” tutur Mustari.

Namun, hal ini sedikit terbentur untuk soal pembuktian. Dalam praktiknya, sambung Mustari, ketika terjadi persoalan hukum seringkali majelis hakim meminta bukti fisik dari dokumen-dokumen tersebut. Untuk itu, saat ini ANRI baru sebatas memback-up dokumen-dokumen tersebut dalam bentuk digital.

“Kita simpan arsip itu di dunia siber,” tandasnya.

Pengajar Hukum Telematika Universitas Indonesia Edmon Makarim berpendapat, selain dengan mendigitalisasikan protokol notaris, penyimpanan protokol notaris tidak harus diserahkan kepada MPD. Ia justru memandang Public Repository Document (PRD) adalah jawabannya.

“Kita perlu Public Repository Document (gudang penyimpanan dokumen publik,-red) agar suatu saat orang mau melakukan pengecekan terhadap public document, pengecekan cukup ke situ (PRD, red),” tambah Edmon kepada hukumonline usai seminar, Rabu (19/3).

Selain mempermudah para pihak yang berkepentingan untuk mengecek dokumen, kemudahan ini juga dapat dirasakan dalam hal melakukan transaksi internasional. Selain dapat dilakukan pengecekan kepada notarisnya, para pihak dapat melakukan pengecekan ke PRD. “Dan saat ini kita belum ada PRD,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait