PERMAHI Bekali Calon Anggota dengan HAM dan Anti Korupsi
Rechtschool

PERMAHI Bekali Calon Anggota dengan HAM dan Anti Korupsi

Harus berperan dalam pemenuhan HAM dan memberantas korupsi.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
PERMAHI Bekali Calon Anggota dengan HAM dan Anti Korupsi
Hukumonline
Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPC PERMAHI) Yogyakarta membekali para calon anggotanya dengan semangat penegakan hak asasi manusia dan anti korupsi.

Ketua II Bagian Eksternal DPC PERMAHI Yogyakarta, M Jamil menyatakan pembekalan tersebut dilakukan dalam seminar nasional di Kampus Terpadu Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, Sabtu (22/3). “Ini merupakan rangkaian dari Masa Perkenalan Calon Anggota (MAPERCA) yang ke-XVII,” sebut Jamil dalam siaran persnya yang diterima hukumonline.

“Harapannya bisa membentuk regenerasi DPC PERMAHI Yogyakarta yang kelak menjadi kader profesi hukum yang mumpuni dan militan,” tambahnya.

Seminar yang dihadiri oleh 150 peserta – calon anggota, tamu undangan dan senior DPC PERMAHI Yogyakarta – ini menampilkan empat pembicara utama. Yakni, Dewan Pembina Tim Pembela Muslim (TPM) Achmad Michdan, Fungsional Deputi Bidang Pencegahan KPK Dhedy Adi Nugroho, mantan Jubir Presiden Gus Dur, dan Direktur LBH Yogyakarta Samsudin Nurseha.

Direktur LBH Yogyakarta, Samsudin memaparkan potret buram pemenuhan HAM di Yogyakarta. Ia membeberkan sepanjang 2013, ada 225 kasus yang masuk ke LBH Yogyakarta. Dari 225 kasus itu, delapan kasus pelanggaran hak sipil dan politik, sembilan kasus perempuan dan anak, serta 21 kasus pelanggaran hak ekonomi sosial budaya (ekosob).

“Selebihnya adalah kasus-kasus yang dialami oleh masyarakat miskin dan marginal yakni kasus perdata sebanyak 119 kasus dan kasus pidana sebanyak 54 kasus,” tambahnya.

Lebih lanjut, Samsudin memaparkan tiga model pelanggaran HAM. Yakni, negara melanggar hak asasi seseorang atau sekelompok orang dengan tindakannya (violence by action), pembiaran (violence by ommision), dan memberlakukan hukum atau perundang-undangan serta sistem peradilan yang membatasi dan melanggar maupun bertentangan dengan prinsip HAM (violence by judicial).

Samsudin melanjutkan, setelah para mahasiswa hukum tahu dengan konsep pelangggaran HAM itu, maka para mahasiswa juga harus paham dengan problem-problem pemenuhan HAM selama ini. Samsudin kembali merinci ada tiga jenis.

Pertama, sebagian besar pelanggaran HAM yagng dilakukan oleh aparat atau pejabat negara cenderung bersifat politis dan dalam kerangka menjalankan kebijakan-kebijakan politis tertentu dari penguasa. Fakta demikian tentunya sangat mudah untuk dijadikan basis argumentasi bahwa pengadilan terhadap pelanggaran HAM  hakikatnya adalah pengadilan terhadap kebijakan pemerintah negara.

“Pandangan inilah yang sering menyebabkan pihak-pihak yang diduga terlibat pelanggaran HAM mengambil sikap tidak mau dan merasa tidak perlu bertanggung jawab,” jelasnya.

Kedua, isu HAM yang terpinggirkan oleh isu politik sehingga tekanan internasional kepada Pemerintah  dan aparat penegak hukum Indonesia melemah atau bukan menjadi prioritas. “Hal ini diperkirakan dapat menjadi problem tersendiri, terutama pada tataran implementasinya,” tambahnya.

Ketiga, pemahaman dan kesadaran tentang HAM di tingkat masyarakat juga masih sangat rendah, terutama di kalangan lapis menengah ke bawah. “Tentunya hal ini mengakibatkan rendahnya monitoring dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh masyarakat,” jelasnya.

Anti Korupsi
Fungsional Deputi Bidang Pencegahan KPK Dhedy Adi Nugroho memaparkan beberapa pencapaian KPK seperti tuntutan yang selalu menang (100 persen) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hingga mendapat Ramon Magsaysay Award pada 2013.

Dhedy juga membeberkan sejumlah pejabat yang telah dijerat oleh KPK, berdasarkan laporan tahunan KPK 2012. Yakni, 65 anggota DPR/DPRD, tujuh Kepala Lembaga/Kementerian; empat duta besar; tujuh komisioner; delapan gubernur; 32 walikota/bupati dan wakil; 107 eselon I, II, dan III; lima hakim; 70 swasta; dan 32 lain-lain.

Lebih lanjut, Dhedy mengakui masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama-sama. Ia mengungkapkan estimasi total biaya eksplisit akibat praktik korupsi 2001-2012 sebesar Rp 168 triliun, sedangkan total hukuman finansial terhadap 1842 terdakwa koruptor 2001-2012 hanya sebesar Rp15 triliun.

“RP 168 triliun – Rp 15 triliun? Siapa yang menanggung sisa biayanya?” sebut Dhedy.

Ia juga menantang para pemuda untuk berperan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Bila para pemuda sudah berperan dalam peristiwa Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, perjuangan kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru (reformasi), para pemuda juga harus mengambil peran dalam “orde korupsi” ini.
Tags:

Berita Terkait