Tim Advokasi Buruh Kuali Kecewa dengan Putusan Hakim
Berita

Tim Advokasi Buruh Kuali Kecewa dengan Putusan Hakim

Karena tidak mengabulkan restitusi sebesar Rp17,8 milyar.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
PN Tangerang. Foto: SGP
PN Tangerang. Foto: SGP
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang menghukum bos pabrik kuali bernama Yuki Irawan dengan penjara 11 tahun dan denda Rp500 juta. Namun, putusan yang dibacakan kemarin, Rabu (25/3), tidak memuaskan tim advokasi buruh kuali.

Anggota Tim Advokasi dari KontraS, Syamsul Munir menuturkan salah satu kekecewaan tim karena majelis tidak mengabulkan permohonan restitusi sebesar Rp17,8 milyar yang dimohonkan jaksa penuntut umum dalam tuntutannya.

Padahal, restitusi itu menurut Munir dibutuhkan untuk pemulihan hak-hak pekerja kuali yang menjadi korban. Baginya hal itu menunjukan putusan tersebut belum memberi keadilan terhadap 62 pekerja kuali yang saat ini mengharapkan biaya pengobatan baik fisik dan trauma. “Majelis hakim tidak mengabulkan restitusi itu,” katanya dalam jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Kamis (26/3).

Munir menjelaskan, majelis menyatakan tuntutan restitusi tidak dapat diterima karena jaksa penuntut umum dianggap tidak memohonkan dalam surat tuntutan beserta pertimbangannya. Selain itu surat dari LPSK yang isinya tentang perincian besaran restitusi dianggap telat oleh majelis. Sebab, majelis menyebut surat itu baru diterima pada 10 Maret 2014.

Munir menegaskan permohonan restitusi itu sudah tercantum dalam tuntutan. Bahkan ahli di persidangan yang merupakan komisioner LPSK menegaskan surat yang dilayangkan kepada majelis sifatnya tidak wajib. Sebab dalam peraturan yang berlaku surat itu hanya perlu ditujukan kepada jaksa penuntut umum dan dituangkan dalam tuntutan. Bahkan tuntutan itu telah dibacakan di persidangan.

Bagi Munir, UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan lex spesialis yang menjadikan aspek pemulihan hak korban sebagai prioritas utama. Sebab tindak pidana perdagangan orang tidak dapat dilihat sebagai pidana biasa, tapi eksploitasi terhadap aspek kemanusiaan si korban.

Dalam perkara sejenis, Munir menyebut pengadilan selalu mengabulkan restitusi sebagai bentuk pemulihan bagi korban. Sayangnya kondisi itu tidak diperoleh para pekerja kuali yang menjadi korban. “Jaksa penuntut umum harus melakukan banding,” tegasnya.

Sementara anggota tim advokasi dari Peradi, Togar Sijabat, menyebut tim advokasi hanya ingin pekerja kuali yang menjadi korban mendapatkan hak-haknya secara layak. Ironisnya, majelis hakim tidak memperhatikan itu karena hak restitusi yang semestinya diperoleh korban sebagaimana amanat UU Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak dikabulkan. “Kami sayangkan putusan hakim yang tidak memberikan hak itu,” tandasnya.

Togar berpendapat jika majelis hakim berani menghukum Yuki dengan denda Rp500 juta kenapa tidak untuk menghadirkan restitusi bagi korban. Padahal besaran restitusi yang diajukan lewat jaksa penuntut umum berdasarkan perhitungan yang dilakukan LPSK sesuai kewenangannya. Walau restitusi itu bisa diajukan lewat gugatan terpisah seperti perdata atau pengadilan hubungan industrial (PHI), tapi prosesnya membutuhkan waktu yang sangat lama.

Sedangkan anggota tim lainnya dari Peradi, Rivai Kusumanegara, menyoroti dalih majelis hakim yang menyebut surat tentang restitusi yang dilayangkan LPSK ke majelis terlambat tidak tepat. Sebab, tidak ada regulasi yang mewajibkan LPSK untuk melayangkan surat itu kepada majelis hakim. Makanya, Rivai menilai majelis hakim tidak melihat perkara itu dengan tepat karena pandangannya masih tradisional dan tidak modern.

Padahal, Rivai melanjutkan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bukan hanya mengejar pidana tapi juga menghadirkan pemulihan kepada korban. Tak ketinggalan Rivai berpendapat untuk mengajukan restitusi dalam persidangan lain prosesnya sangat lama karena perlu menunggu sampai putusan itu berkekuatan hukum tetap. “Lewat banding atau kasasi kami harap putusan ini dikoreksi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait