Lewat Diat, Negara Diperas Secara Terselubung
Berita

Lewat Diat, Negara Diperas Secara Terselubung

Sebaiknya lebih mengandalkan jalur diplomasi dan advokasi.

Oleh:
M. YASIN
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Maraknya kasus hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri merisaukan. Ratusan TKI terancam hukuman mati atau hukuman berat, dan seringkali dikonversi menjadi hukuman pembayaran sejumlah uang kepada keluarga korban, lazim disebut diat. Kasus terakhir menimpa Sutinah, TKI asal Ungaran, Jawa Tengah.

Pembayaran diat untuk menghindari TKI dari hukuman mati patut diwaspadai. Jangan sampai setiap ada masalah pidana yang menimpa TKI di luar negeri diselesaikan dengan pembayaran sejumlah uang. Apalagi kalau negara terus menerus harus menanggulangi uang diat tersebut. Kecenderungan permintaan jumlah diat yang fantastis, misalnya puluhan miliar, mengindikasikan diat sudah menjadi alat pemerasan.

“Negara diperas secara terselubung,” kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, melalui sambungan telepon dalam diskusi mingguan yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional (KHN) dan Radio 68H di Jakarta, Rabu (02/4).

Sekjen Dewan Pimpinan Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia, Bobby Anwar Ma’arif tak menampik pandangan Hikmahanto. Bobby juga melihat kecenderungan aksi ‘pemerasan’ dalam kasus-kasus yang menimpa TKI. Kondisi itu diperparah kelemahan posisi tawar dan diplomasi Indonesia dalam setiap kasus. “Posisi Indonesia masih lemah,” kata dia.

Dalam kasus Sutinah, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengindikasikan pemerintah akan membayar diat. Jika diat tak dibayar, ada kemungkinan Sutinah dieksekusi di Arab Saudi.

Menurut Hikmahanto, kasus Darsem, TKI yang lolos dari hukuman mati setelah pemerintah Indonesia membayar diat miliaran rupiah seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah. Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan yang selalu menyelesaikan masalah pidana yang menimpa TKI dengan diat. “Praktek buruk kalau negara selalu tunduk pada tuntutan pembayaran diat,” tandas Hikmahanto.

Hikmahanto sepakat ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengubah ancaman hukuman mati, misalnya menjadi hukuman beberapa tahun. Tetapi praktek mengedepankan diat justru akan membuat pemerasan terselubung marak. Ia menduga ada mafia yang bekerja dalam setiap kasus pidana yang menimpa TKI sehingga berujung pada tuntutan diat miliaran rupiah.

Anggota Komisi Hukum Nasional (KHN), Frans Hendra Winarta, meminta pemerintah lebih mengedepankan jalur diplomasi dan advokasi. Sesuai konstitusi, sudah menjadi kewajiban negara melindungi warga negaranya di luar negeri. “Pemerintah wajib melindungi seluruh warga negara,” kata dia.

Cuma, perlindungan tak harus selalu diwujudkan dalam bentuk membayar diat. Frans yakin jalur diplomasi dan advokasi jauh lebih efisien dan efektif menyelesaikan masalah. Lewat advokasi, misalnya, pemerintah harus bisa memastikan TKI yang berhadapan dengan hukum mendapatkan bantuan hukum dan pendampingan sejak proses awal. Demikian pula jalur diplomasi, penting bagi pemerintah untuk menggunakan saluran diplomatik yang tersedia. “Kalau perlu Presiden langsung menemui raja Arab Saudi”.

Tetapi, Frans juga meminta pemerintah melakukan pembenahan di dalam negeri. Pemerintah jangan hanya melihat nilai devisa yang dihasilkan tanpa membekali calon TKI dengan kemampuan dan keahlian. Termasuk mengenal budaya dan bahasa di negara tujuan. Kemudian, tenaga kerja yang dikirimkan sebaiknya bukan lagi penata rumah tangga.

Bobby melihat revisi terhadap UU No. 39 Tahun 2004, yang menjadi payung hukum pengiriman TKI ke luar negeri, sebagai salah satu sarana meminimalisasi resiko. Pengawasan dan penindakan terhadap perusahaan pengirim tenaga kerja ke luar negeri lemah antara lain karena kelemahan Undang-Undang itu juga. “Ada kesalahan mendasar pengiriman TKI,” pungkasnya.
Tags: