Penetapan Status Konflik oleh Kepala Daerah Konstitusional
Berita

Penetapan Status Konflik oleh Kepala Daerah Konstitusional

Ini menjadi pilihan kebijakan Pemerintah.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Penetapan Status Konflik oleh Kepala Daerah Konstitusional
Hukumonline
Pemerintah memandang pendelegasian kewenangan dari presiden kepada pemerintah daerah terkait kewenangan bupati/walikota untuk menetapkan status keadaan konflik di daerahnya sudah sesuai dengan UUD 1945. Sebab, presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dapat dimaknai sebagai penanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan nasional yang meliputi provinsi dan kabupaten/kota.

“Dalam konteks Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B UUD 1945 presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya dalam penyelenggaraan pemerintahan kepada gubernur, bupati, walikota,” kata Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi, dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial di ruang sidang pleno MK, Kamis (03/4).

Pandangan ini berbeda seratus delapan puluh derajat dari sejumlah organisasi dan warga negara yang memandang pemberian kewenangan kepada bupati/walikota untuk menetapkan status konflik bertentangan dengan konstitusi alias tidak konstitusional.

Koalisi Masyarakat Sipil dan anggota masyarakat --Imparsial, YLBHI, HRWG, dan Anton Ali Abbas -- mempersoalkan Pasal 16 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik Sosial terkait penetapan keadaan konflik di tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota. Ketentuan penetapan keadaan konflik itu dinilai tak sejalan dengan kaidah penetapan keadaan darurat.

Para pemohon melihat kewenangan menetapkan keadaan darurat ada pada presiden sebagai otoritas yang menggerakkan semua perangkat negara termasuk mengambil alih fungsi yudikatif dan legislatif seperti diamanatkan Pasal 12 UUD 1945. Negara pun sudah memiliki perangkat peraturan mengenai syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya seperti diamanatkan UU No. 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya.

Muhaimin menjelaskan, unsur-unsur keadaan konflik dalam Pasal 12 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik Sosial, status keadaan konflik memiliki kualifikasi yang sama dengan penetapan status keadaan darurat/bahaya. Karenanya, tidak tepat mendelegasikan kewenangan penetapan status keadaan darurat kepada bupati/walikota, sehingga bertentangan dengan Pasal 12 dan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945.

Mualimin menjelaskan Pasal 16 UU Penanganan Konflik Sosial itu intinya mengatur pemberian kewenangan bupati dan walikota untuk menetapkan status keadaan konflik di daerahnya, dengan terlebih dahulu meminta pertimbangan DPRD. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi dan UUD 1945.

“Lagipula, kewenangan yang dipersoalkan para pemohon sebenarnya pilihan kebijakan (legal policy) presiden yang dapat dilimpahkan kepada kepala daerah sesuai Pasal 4 ayat (1) UUD 1945,” lanjutnya.

Pasal 26 UU Penangan Konflik Sosial intinya mengatur bahwa setelah mengeluarkan penetapan keadaan konflik, bupati/walikota melakukan sejumlah pengurangan hak asasi manusia. Hal ini untuk menghindari kerugian dari warga negara lain mengingat pemerintah daerahlah yang lebih mengetahui kondisi riil di daerahnya dibandingkan pemerintah pusat. “Sehingga penentuan keadaan darurat oleh pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota adalah sudah tepat”.

Menurut Mualimin, konsekuensi desentralisasi adalah perlunya pengaturan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga otonomi daerah dapat dijalankan tanpa melanggar prinsip-prinsip negara kesatuan. “Dengan demikian pembentukan UU Penanganan Konflik Sosial sudah tepat,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait