Asas Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi MK
Resensi

Asas Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi MK

Sejumlah putusan MK melahirkan prinsip hukum baru dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilukada.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Hiruk pikuk perhelatan Pemilu 2014 akan segera berlangsung yang diperkirakan timbul banyak sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Karenanya, prinsip hukum penyelenggaraan pemilu menjadi sangat penting bagi peserta dan penyelenggara pemilu yang tidak melulu bersumber dari peraturan perundang-undangan, tetapi juga bersumber dari sejumlah putusan MK yang dianggap fenomenal(yurisprudensi).

Hal itu terurai dalam buku berjudul Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi MK yang ditulis Sekjen MK Janedjri M Gaffar yang diluncurkan pada Selasa (01/4) lalu di Gedung MK.

Buku itu hasil modifikasi dari isi disertasi Janedjri di Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang (Mei 2013), yang berjudul “Rekontruksi Kewenangan MK dalam Menangani Perkara Pemilu untuk Mewujudkan Pemilu yang Demokratis dalam Perspektif Hukum Progresif.”

Buku setebal 236 halaman ini merupakan kumpulan (kompilasi) putusan-putusan MKsejak 2003 hingga 2013 yang melahirkan berbagai prinsip hukum baru terkait pemilu baik perkara pengujian undang-undang, sengketa hasil pemilu, maupun sengketa pemilukada.Prinsip-prinsip hukum yang lahir itu merupakan hasil ijtihad (pemikiran) progresif para hakim konstitusi terkait pemilu sebagai mekanisme penting negara demokrasi konstitusional.
Judul Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi
Penulis Dr. Janedjri M. Gaffar
Penerbit Konstitusi Press, Jakarta
Terbit Cet I, November 2013
Tebal 263 halaman
Ukuran 14,8 cm x 21 cm

Seperti dipaparkan dalam Bab II, dari sekitar102 putusan MK yang mempengaruhi aturan pemilu diklasifikasike dalam lima kelompok yakni hak pilih dan persyaratanmenggunakanhak pilih; peserta pemilu dan persyaratan calon; sistem pemilu, penghitungan suara, dan penentuan calon terpilih; penyelenggara pemilu; mekanisme penyelesaian pelanggaran PHPU.

Misalnya, ada dua putusan penting (landmark decisions) berkaitan denganhak pilih dan persyaratan menggunakan hak pilih. Pertama, putusan yang memulihkan hak pilih bekas anggota PKI, dan kedua, penggunaan hak pilih dengan KTP atau paspor meski tidak terdaftar dalam DPT. Ini bisa dilihat dalam putusan MKNo.011-017/PUU-I/2003 yang menghapus Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 dan putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 yang menyatakan Pasal 28 dan Pasal 111 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres secara konstitusional bersyarat (hal. 70-76).

AlasanMK, meski penyusunan DPT sebagai prosedur administratif penting, tetapitidak boleh menegasikan hak memilih dalam pemilu. Sama halnya,empat kelompok lain diuraikan sebagai dasar utamadanmemahami isi putusan yang berpengaruh besar dalam sistem pemilu yang menjadi dasar putusan MK berikutnya (yurisprudensi).

Demikian pula dari perkembangan putusansengketa pemilu dan pemilukada, penulis membuat 14 pengelompokkan. Diantaranya, pelanggaran prinsip konstitusional pemilu sebagai bagian objek perkara PHPU; pelanggaran sistematis, terstruktur, dan masif serta pelanggaran serius signifikan sebagai alasan pemungutan suara ulang; pelanggaran asas jujur berakibat diskualifikasi calon, pemilih dapat menggunakan KTP dan paspor dalam Pemilukada hingga perselisihan antarcaleg dalam satu parpol (hal. 140-191).

Misalnya, dari pengalaman MK dua kali mengadili perselisihan hasil pemilu (PHPU) mengubah prinsip hukum pemilu sesuai kewenangan yang ada. Secara normatif, objek PHPU hanyalah menyangkut kesalahan penghitungan hasil pemilu oleh penyelenggara. Namun, dalam beberapa putusan PHPU/PHPU.D, MK tak hanya memeriksa sengketa hasil pemilu/pemilukada, tetapi menilai bobot pelanggaran keseluruhan tahapan dan proses yang mempengaruhi hasil penghitungan suara.      

Di bagian akhir, dari sejumlah putusan MK dalam perkembangannya membentuk prinsip hukum baru yang dianalisis dari perpektif hukum progresif khususnya dalam bidang hukum pemilu. Seperti, dalam pengujian undang-undang melahirkan prinsip keadilan substantif mengesampingkan keadilan prosedural; prinsip perlindungan hak konstitusional warga negara; prinsip nondiskriminasi (hal. 194-199).     

Sementara dalam sejumlah putusan perselisihan sengketa hasil pemilu melahirkan prinsip kebenaran materiil mengatasi kebenaran formil; prinsip keputusan proses demokrasi dapat dibatalkan pengadilan; prinsip perlindungan hak konstitusional warga negara; prinsip memperhatikan perkembangan masyarakat (hal. 204-206). Prinsip-prinsip itu penting diketahui terutama bagi peserta dan penyelenggara pemilu sebagai pedoman praktik penegakan hukum pemilu.

Namun, buku ini tak terlepas dari kelemahan terutama dari segi respon publik. Penulis tidak memaparkan respon publik dari setiap putusan MK yang dianggap penulis sebagai putusan fenomenal (yurisprudensi). Respon publik ini penting untuk mengukur tingkat penerimaan publik (sosiologis) ketika sebuah putusan MK dinilai melahirkan prinsip hukum baru itu. Pasalnya, salah satu aspek pembentukan prinsip/asas hukum harus diukur dengan aspek sosiologis, selain aspek yuridis dan filosofis.

Meski begitu, buku ini layak dijadikan rujukan dalam rangka kebutuhan pengembangan keilmuan dan bahan penyempurnaan dalamproses legislasi di bidang penyelenggaraan pemilu.    

Selamat membaca….! 
Tags: