Waspadai Efek Domino ‘Uang Darah’
Fokus

Waspadai Efek Domino ‘Uang Darah’

Tuntutan Diyat dikhawatirkan menjadi senjata baru untuk mendapatkan uang dari TKI yang sedang menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri. Sejumlah pihak memberi warning kepada pemerintah.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Setelah melalui negosiasi, akhirnya pemerintah menyerah. Duit tujuh juta Riyal berpindah dari Indonesia ke Arab Saudi. Awalnya dibayar lima riyal ke pengadilan, sisanya menyusul. Uang yang harus dibayar –biasa disebut Diyat atau Diat-- pemerintah kepada majikan Satinah  itu berkisar Rp21 miliar. Sebagian duit itu bersumber dari uang rakyat di APBN.

Itulah episode akhir negosiasi pembebasan Satinah dari hukuman gantung sejak 2011 silam. Eksekusi berkali-kali ditunda menunggu proses diplomasi dan negosiasi oleh tim yang dipimpin mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni. Batas waktu terakhir awal April lalu, ada kesepakatan membayar diyat atau uang darah kepada keluarga Nura al-Gharib. Satinah dihukum karena dituduh membunuh nyonya al-Gharib pada 2007 silam.  

Menurut Konstitusi, pemerintah memang punya kewajiban melindungi warga negara Indonesia termasuk mereka yang berhadapan dengan hukum di luar negeri. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di sejumlah negara termasuk warga negara yang sering menghadapi masalah hukum, bahkan ancaman hukuman mati. Apalagi, jika ada kasus sejenis, desakan kepada pemerintah untuk menyelamatkan nyawa TKI bertubi-tubi datang. Demikian pula saat Satinah terancam dihukum gantung. Gerakan Save Satinah bermunculan di banyak tempat, meminta pemerintah turun tangan.

Untuk sementara Satinah bisa lepas dari hukuman gantung. Tetapi opsi membayar Diyat atau 'uang darah' yang ditempuh pemerintah dinilai bisa memberi efek bola salju. Tuntutan Diyat akan terus bermunculan mengingat masih banyak WNI terancam hukuman mati di luar negeri.

Data dari Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri menunjukkan  hingga 24 Maret 2014, masih diproses 254 kasus TKI yang terancam hukuman mati di seluruh negara tujuan penempatan. Meskipun ada 176 TKI yang berhasil diselamatkan dari hukuman mati, tetapi jumlah yang masih menunggu proses tak kalah banyak.

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, termasuk yang mengecam sekaligus mengkhawatirkan dampak sikap pemerintah. “Lagi-lagi pemerintah telah membuat preseden buruk dengan melakukan pembayaran Diyat,” kecamnya.

Saat menjadi salah satu narasumber dalam talkshow radio, Rabu (2/4) lalu, Hikmahanto menyebut aksi pemerasan berada di balik tuntutan Diyat jutaan riyal itu. Ia mengkhawatirkan aksi serupa terus berulang, sehingga menyisakan beban pada pemerintahan mendatang. Minimal beban pada anggaran.

Besarnya tuntutan uang darah salah satunya. Pembayaran Diyat adalah hukum yang berlaku di Arab Saudi. Tetapi menurut Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care, hukum Diyat adalah 100 ekor unta, setara dengan sekitar Rp3,2 miliar. Dalam proses negosiasi awal kasus Satinah, keluarga korban meminta Diyat 15 juta Riyal atau Rp75 miliar. Jika besaran yang dituntut jauh dari kelaziman dan hukum di Arab Saudi, pemerintah seharusnya tak tinggal diam. “Pemerintah Indonesia layak mengajukan protes,” ujarnya.

Diyat itu Legal
Menurut Anis, Diyat adalah aturan yang sah berlaku di Arab Saudi. Pelaku pembunuhan biasanya mendapat ganjaran vonis mati dengan cara digantung. Dengan pertimbangan rasa keadilan, ancaman hukuman mati itu bisa berubah melalui upaya diplomasi atau membayar Diyat. “Diat itu legal,” jelas Anis.

Meskipun legal, Anis mengingatkan pentingnya memperhatikan nilai keadilan dalam setiap kasus. Membayar Diat seharusnya hanya ditempuh dalam kondisi memaksa. Jika tidak, jalur diplomasi yang harus dikedepankan. Anis melihat kasus Satinah sudah masuk kondisi memaksa. “Dalam kondisi yang memaksa, seperti kasus Satinah, tidak ada upaya lain selain membayar diat,” ujarnya melalui sambungan telepon, Jum’at (6/4).

Pembayaran Diyat adalah hubungan kontraktual, kesepakatan akhir dicapai melalui proses negosiasi antara keluarga pelaku atau pemerintah dari negara pelaku dengan keluarga korban. Dalam praktik, pemerintah di negara korban pun sering terlibat, terutama jika opsi diplomasi yang ditempuh.

Prof. Hikmahanto mengkritik pemerintah yang tampil seolah-olah sebagai pengacara Satinah. Idealnya, dalam proses negosiasi dan permintaan maaf kepada korban, Satinah dan keluarganya yang maju meskipun pemerintah mendampingi. “Dalam konsep diyat, hubungan antara pelaku kejahatan dengan keluarga korban merupakan hubungan kontraktual. “Negosiasi dan pembayaran seharusnya dilakukan oleh Satinah sebagai pelaku kejahatan, keluarga Satinah atau pengacaranya,” sambung Hikmahanto.

Waspadai Mafia Diyat
Senada dengan Hikmahanto, Anis juga mengkhawatirkan munculnya mafia Diat dalam kasus-kasus yang menimpa TKI di luar negeri, khususnya di Arab Saudi. Masuknya mafia membuat tuntutan Diat menjadi besar, bahkan melebihi kelaziman dan aturan yang berlaku di Arab Saudi. “Di sana ada mafia Diat yang terorganisasi dan terhubung dengan mafia perdagangan orang. Mereka bisnis kematian orang. Jadi, kalau ada orang yang mati mereka bekerja untuk minta ampun dengan cara negosiasi soal nominal,” ucapnya.

Akibat mafia Diat itu, kata Anis, banyak pekerja migran dan keluarganya yang dirugikan. Misalnya, ada pekerja migran Indonesia yang tewas. Kemudian mafia Diat melobi keluarga di Arab Saudi atau majikan yang bersangkutan agar Diat yang nanti dikeluarkan untuk keluarga pekerja migran di Indonesia jumlahnya kecil.

Dengan pengetahuan yang minim soal Diat dan lemahnya upaya yang dilakukan pemerintah biasanya keluarga pekerja migran menerima angka yang ditawarkan begitu saja. Proses hukum untuk mengungkap kasus pekerja migran Indonesia yang tewas itu langsung berhenti. “Banyak orang Arab Saudi datang ke sini minta maaf kepada keluarga TKI yang mati di Arab Saudi. Mereka hanya bayar Diat yang rendah Rp150-300 Juta,” papar Anis.

Sebaliknya, jika pelaku kejahatan adalah TKI dan korbannya warga Arab Saudi, tuntutan diat menjadi berlipat-lipat nilainya. Salah satu penyebabnya, Anis mendua, pemerintah lamban menangani dan mengadvokasi TKI yang berhadapan dengan hukum.

Sinyalamen itu pula yang diungkapkan Poempida Hidayatulloh. Anggota Komisi IX DPR ini mengatakan banyak kasus pembunuhan yang dilakukan warga Arab Saudi kepada WNI tidak terungkap. Padahal, keluarga WNI yang dibunuh itu juga bisa mengajukan Diat. Ujungnya pihak Arab Saudi menyambangi keluarga WNI di Indonesia dan memberikan uang Diat dengan nominal sangat rendah. Menurutnya untuk membayar Diat, terlebih dulu harus ada kesepakatan diantara pihak yang berperkara sehingga Diat itu dapat memenuhi harapan kedua pihak.

Pahami hukum negara tujuan
Poempida menyarankan agar calon pekerja migran Indonesia harus memahami hukum yang berlaku di Arab Saudi sehingga mereka dapat menghindari kemungkinan-kemungkinan yang berpotensi merugikan. “Harusnya pemahaman tentang hukum syariah di Arab Saudi harus dipahami secara maksimal oleh TKI. Langkah ini sebagai tindakan preventif,” usulnya.

Usul senada disampaikan anggota Komisi Hukum Nasional, Frans Hendra Winarta. Pengetahuan calon TKI mengenai hukum, bahasa, dan budaya di tempat tujuan penempatan menjadi syarat mutlak pengiriman. Kalau kemudian timbul masalah hukum, diplomat Indonesia juga harus sigap membantu TKI, misalnya menunjuk pengacara lokal untuk memberikan bantuan hukum. Jangan dibiarkan hingga prosesnya sudah vonis dan kemudian diributkan baru pemerintah turun tangan.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, mengatakan pemerintah tidak tinggal diam dalam setiap kasus hukum yang menimpa TKI. Upaya diplomasi dan negosiasi tetap dilakukan, baik secara formal maupun informal.

Lepas dari besarnya upaya dan kerja keras yang telah dilakukan untuk membebaskan Satinah, semua pemangku kepentingan harusnya memikirkan kemungkinan efek bola salju pembayaran diat. “Dengan membayar Diat, maka pemerintah telah menumbuhsuburkan komersialisasi diat dengan mafianya,” Hikmahanto memberi warning.
Tags:

Berita Terkait