Evaluasi Lewat UN Dinilai Tak Bisa Dipertanggungjawabkan
Berita

Evaluasi Lewat UN Dinilai Tak Bisa Dipertanggungjawabkan

Kelompok masyarakat sipil di beberapa daerah akan membuka pos pengaduan terkait dengan penyelenggaraan UN 2014 di 7 daerah.

Oleh:
YOZ/ANT
Bacaan 2 Menit
Evaluasi Lewat UN Dinilai Tak Bisa Dipertanggungjawabkan
Hukumonline
Anggota Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Doni Koesoema, mengatakan evaluasi belajar melalui ujian nasional (UN) tidak bisa dipertanggungjawabkan karena multiparameter.

"Evaluasi seharusnya fokus pada satu tujuan, sedangkan UN menjadi tolok ukur beberapa hal yaitu pemetaan, kelulusan siswa, syarat masuk perguruan tinggi dan kualitas sekolah," kata Doni Koesoema di Jakarta, Selasa (16/4).

Doni mengatakan, negara-negara maju mempunyai banyak kriteria yang ketat untuk menentukan validitas sebuah ujian. UN, kata dia, hanya memenuhi sedikit kriteria tersebut.

Selain evaluasi, kriteria lain untuk menentukan validitas sebuah ujian adalah desain awal. Menurut Doni, desain awal itu bukan sekedar pembuatan soal, tetapi juga meliputi proses pembuatannya. "Ada aspek validitas, reliabilitas dan kompetensi pembuat soal. Selama ini, pemerintah tidak transparan dalam proses pembuatan soal sehingga kompetensi pembuat soal pun dipertanyakan," tuturnya.

Doni mengatakan, pemerintah juga tidak transparan dengan evaluasi terhadap soal-soal yang diujikan setiap tahun. Seharusnya, pemerintah mempunyai acuan dalam membandingkan soal UN yang diujikan setiap tahun.

Selain itu, pemerintah juga selama ini tidak pernah mengevaluasi apakah kisi-kisi soal yang diujikan sudah sesuai dengan materi yang diajarkan di sekolah atau tidak.

"Pemerintah bertanggung jawab memastikan guru dan sekolah mengajar sesuai dengan kisi-kisi tersebut," ujarnya.

Kriteria lain untuk menentukan validitas UN adalah eksekusi atau pelaksanaan. Aspek keamanan di sini sangat menentukan, yaitu apakah ada kebocoran soal atau tidak.

"Kalau soal bocor, maka hasilnya menjadi bias dan sia-sia. Ujian tidak bisa digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur karena soal bocor," katanya.

FSGI sebelumnya telah menerima sejumlah pengaduan tentang pelaksanaan UN, antara lain menyangkut berbagai kecurangan, sekolah yang terpaksa memfotocopy soal dari sekolah lain, sindikat jual beli kunci jawaban, dan praktik tim sukses sekolah untuk meluluskan siswanya.

Pos Pengaduan
Sementara itu, kelompok masyarakat sipil dibeberapa daerah Indonesia akan membuka pos pengaduan terkait dengan penyelenggaraan UN 2014 di 7 daerah Jakarta, Medan, Semarang, Garut, Malang, Makassar, Lampung dan Solo. Pembukaan pos ini bertujuan untuk menampung pengaduan publik terkait dengan kecurangan dalam penyelenggaraan UN 2014. Laporan pengaduan dan hasil pemantauan akan disampaikan ke Kemendikbud dan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).

“Dan jika ditemukan tindak pidana akan disampaikan pada pihak kepolisian,” ujar Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), Siti Juliantari Rachman.

Siti mengatakan, pengalaman penyelenggaraan UN pada tahun-tahun sebelumnya membuktikan bahwa UN diwarnai berbagai masalah seperti penyelewengan dalam pengadaan dan distribusi naskah soal, beredarnya contekan jawaban dikalangan siswa dan keterlibatan guru, kepala sekolah memberi contekan pada peserta UN.

Koalisi masyarakat sipil memandang munculnya masalah dalam penyelenggaraan UN disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, UN masih menjadi penentu kelulusan siswa. UN sebagai penentu kelulusan telah memicu tekanan cukup tinggi pada peserta didik, guru, dan kepala sekolah.

Kedua, adanya kepentingan politik nasional dan daerah yang mengharamkan banyaknya siswa yang tidak lulus UN. Ketidaklulusan siswa dalam jumlah besar, misalnya sekitar 40 persen ditingkat sekolah, daerah ataupun nasional merupakan aib bagi kepala daerah dan pejabat terkait pendidikan.

“Publik akan bertanya tentang kinerja pemerintah pusat dan daerah dalam sektor pendidikan terutama bagaimana pengelolaan anggaran pendidikan,” kata Siti.

Siti melanjutkan, isu bahwa contekan jawaban UN telah beredar sebenarnya harus disikapi serius oleh pemerintah dan kepolisian. Contekan jawaban yang kebenaran jawabannya diatas 60 persen atau bisa meloloskan siswa lulus UN pantas untuk ditelusuri lebih lanjut.

“Tidak mungkin seseorang bisa mereka-reka jawaban UN yang menghasilkan 60 persen jawaban benar,” tuturnya.

Menurut Siti, ICW pernah mengadvokasi kecurangan UN pada Kemdikbud dan tidak pernah mendapat penjelasan yang meyakinkan bagaimana Kemdikbud melindungi pelapor kecurangan. Kemdikbud dan pemerintah daerah tidak dapat menjamin bahwa setelah melapor dan mengungkap kesaksian kecurangan UN, pelapor akan dijamin masa depan dan karirnya.

Menghadapi hal ini, sambung Siti, ICW bersama masyarakat sipil lainnya membuka pos pengaduan UN. “Pembukaan pos ini bertujuan untuk mendorong agar penyelenggaraan UN berjalan secara jujur sehingga tidak mencemari karakter siswa,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait