Awasi ‘Barbarisme Demokrasi’ dalam Pemilu
Berita

Awasi ‘Barbarisme Demokrasi’ dalam Pemilu

Keamanan pemilu bukan kompetensi Penyelenggara Pemilu

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Awasi ‘Barbarisme Demokrasi’ dalam Pemilu
Hukumonline
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggar Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie menilai terjadinya konflik dalam Pemilu sebagai hal yang wajar. Tapi ia yakin pihak kepolisian sudah mendeteksi berbagai daerah yang rawan terjadi konflik dalam Pemilu 2014 sehingga potensi kerusuhan dapat terdeteksi.

Namun ia menegaskan tugas pengamanan Pemilu tidak bisa dibebani kepada penyelenggara seperti KPU dan Bawaslu. Keamanan menjadi tugas aparat kepolisian. "Kita tidak bisa membebankan kemanan pemilu pada Penyelenggara Pemilu," katanya kepada wartawan di ruang kerjanya di gedung Bawaslu-DKPP di Jakarta, Kamis (17/4).

Jimly menilai sampai saat ini kepolisian masih sanggup mengamankan berjalannya Pemilu. Jika nanti kedodoran, kepolisian dapat minta bantuan TNI. Sejauh ini bantuan TNI belum dibutuhkan, kecuali sekadar menyediakan transportasi logistik pemilu.

Walau terjadi konflik di beberapa daerah paska Pemilu legislatif 9 April 2014, Jimly mengatakan Pemilu yang diselenggarakan di Indoesia sejak 1999 sampai saat ini tergolong lebih baik ketimbang negara lainnya. Seperti Thailand, India dan Pakistan. Oleh karenanya masyarakat internasional masih memuji penyelenggaraan Pemilu di Indonesia dengan segala kelemahan dan kekurangannya. “Dalam Pemilu itu wajar kalau ada konflik,” urainya.

Menanggapi terjadinya konflik di beberapa daerah paska Pemilu legislatif, Wasekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Girindra Sandino, mengatakan harusnya aparat keamanan dan intelijen mampu mengantisipasi konflik atau kerusuhan yang berpotensi terjadi. Apalagi masa Pemilu dapat dikatakan dalam kondisi waspada.

Girindra mengusulkan agar aparat keamanan dan penyelenggara Pemilu tidak menganggap remeh potensi konflik yang ada di lapangan. Sebab, kerusuhan paska Pemilu sangat memungkinkan untuk terjadi. Misalnya, saat pemungutan suara berlangsung ada calon legislatif (caleg) yang memenangkan perolehan suara. Tapi ketika dilakukan pemungutan suara ulang caleg bersangkutan kalah. Cara-cara destruktif yang dilakukan caleg gagal semacam itu dapat menyulut “barbarisme demokrasi”.

Menurut Girindra, ada sejumlah faktor penyebab konflik paska Pemilu. Pertama, ada indikasi kecurangan yang mengakibatkan penggelembungan atau manipulasi dalam rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. Bawaslu mengakui praktik manipulasi semacam itu masih terjadi, selain politik uang.

Kedua, ada caleg-caleg yang tidak puas dengan hasil Pemilu karena tidak sesuai dengan target perolehan suara mereka. Kondisi itu dapat memicu caleg tersebut menggerakan konstituennya untuk melakukan tindakan destruktif.

Ketiga, aparat keamanan khususnya kepolisian tidak responsif mencegah agar konflik tidak meletus. Padahal, anggaran yang dikucurkan untuk kepolisian dalam rangka pengamanan Pemilu 2014 tidak sedikit. “Anggaran yang diberikan jumlahnya triliunan rupiah,” paparnya.

Untuk surat suara hasil Pemilu legislatif yang rusak akibat konflik, Girindra menyarankan agar penyelenggara Pemilu melihat hasil salinan berita acara atau sertifikat hasil penghitungan suara yang ada di TPS kepada saksi-saksi parpol atau Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Sebab dalam salinan itu sudah termaktub berapa hasil perolehan suara yang ada di TPS yang bersangkutan.
Tags:

Berita Terkait