Mengapa Remunerasi Pegawai Mahkamah Agung Harus Ditata Ulang?
Kolom

Mengapa Remunerasi Pegawai Mahkamah Agung Harus Ditata Ulang?

Sama-sama menjadi proyek percontohan reformasi birokrasi, perlakuan penyelenggara negara terhadap Kemenkeu dan MA seperti anak kandung dan anak tiri.

Bacaan 2 Menit
Foto: koleksi pribadi
Foto: koleksi pribadi
"Bom waktu" itu akhirnya meledak. Selama dua hari, 16-17 April 2014, ratusan pegawai pengadilan di berbagai wilayah melakukan aksi mogok kerja. Mereka menuntut adanya peningkatan kesejahteraan. Konkretnya, mereka menuntut agar remunerasi atau tunjangan khusus kinerja untuk pegawai pengadilan ditata ulang.

Meledaknya bom waktu itu sesungguhnya tidak terlalu mengagetkan. Jika kita tengok ke belakang, hasrat untuk meningkatkan perolehan tunjangan kinerja di Mahkamah Agung (MA) memang sudah muncul cukup lama. Sejak empat tahun silam, hasrat itu muncul dari pimpinan maupun pegawai MA, disertai dengan langkah-langkah nyata, namun faktanya hingga kini hasilnya masih diliputi tanda tanya.

Remunerasi untuk aparatur MA dan badan peradilan di bawahnya mulai diberlakukan pada 1 September 2007, berdasarkan Perpres No. 19 Tahun 2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya, dan Keputusan Ketua MA No. 070/KMA/SK/V/2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.

Mengacu kepada dua peraturan itu, tunjangan khusus kinerja hakim dan pegawai MA dibayarkan 70 persen, sebelum adanya penilaian lebih lanjut dari Tim Kerja Reformasi Birokrasi terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi di MA dan badan peradilan di bawahnya.

Remunerasi memang satu paket dengan reformasi birokrasi. Bersama Kemenkeu dan BPK, MA ditetapkan sebagai proyek percontohan (pilot project) reformasi birokrasi nasional. Sebagai imbalannya, para hakim dan pegawai MA berhak memperoleh tunjangan khusus kinerja alias remunerasi. Hanya, dari segi nominal, remunerasi yang diterima pegawai MA jauh lebih kecil ketimbang remunerasi yang diterima pegawai Kemenkeu, meskipun sama-sama jadi pilot project reformasi birokrasi. Pegawai golongan III/a, misalnya, di MA hanya mendapat remunerasi Rp 1,5 juta, sedangkan di Kemenkeu memperoleh hampir Rp 10 juta. Di samping itu, saat itu pencairan remunerasi ke rekening pegawai MA juga serba tak tentu. Kadang tiga bulan sekali; kadang lebih lama dari itu.

Sejak ditetapkan sebagai proyek percontohan reformasi birokrasi, nyata sekali, MA berbenah dalam banyak hal, melalui strategi Quick Wins hingga pencanangan program-program prioritas pembaruan peradilan. Artinya, perubahan tidak hanya terjadi pada pengetatan jam masuk dan pulang kerja, dengan memberikan sanksi kepada pegawai yang terlambat masuk dan pulang lebih awal. Setelah berbenah dalam berbagai aspek, MA pun berupaya menuntut haknya agar diberikan peningkatan remunerasi.

Pada tahun 2010, ketika MA mengadakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Balikpapan, persoalan peningkatan remunerasi dijadikan salah satu topik pembahasan utama. Saat itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan) E.E. Mangindaan memberi lampu hijau: remunerasi di MA bisa dinaikkan jika reformasi birokrasi di MA mengalami peningkatan. Di forum Rakernas itu, Menpan membeberkan sejauhmana pencapaian reformasi birokrasi di MA, sembari menyampaikan fase baru reformasi birokrasi atau biasa disebut dengan reformasi birokrasi gelombang kedua.

Di Jakarta, ketika MA menyelenggarakan Rakernas Akbar tahun 2011, lagi-lagi persoalan peningkatan remunerasi kembali mencuat. Tidak hanya itu, pimpinan MA juga berbagi kegelisahan soal minimnya anggaran MA. Tidak bisa lain, MA perlu memiliki kemandirian anggaran. Konkretnya, tiap tahun, MA harus mendapat alokasi anggaran minimal 1 persen dari total APBN. Di forum itu, seorang pimpinan BPK menyoroti pelaporan keuangan di MA, yang menurutnya, masih jauh dari harapan. Hingga ujung tahun 2011, peningkatan remunerasi masih jadi mimpi.

Awal tahun 2012, MA berganti nahkoda. YM Harifin Tumpa pensiun, dan YM Hatta Ali terpilih sebagai Ketua MA. Persis setelah terpilih, YM Hatta Ali mengumandangkan program 100 hari-nya. Satu di antaranya adalah mengenai peningkatan kesejahteraan aparat peradilan, dengan cara meningkatkan remunerasi 100 persen untuk hakim dan pegawai. ‘Janji’ Ketua MA itu selaras dengan aspirasi para hakim yang saat itu gencar memperjuangkan hak-hak mereka selaku pejabat negara. Ketika MA mengadakan Rakernas di Manado tahun 2012, sebagian keinginan Ketua MA itu terpenuhi, namun sebagian lainnya tidak. Persis menjelang penutupan Rakernas itu, Ketua MA mengumumkan bahwa Presiden RI baru saja menandatangani PP 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung.

Dampaknya, penghasilan hakim pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding terdongkrak tinggi. Sebaliknya, penghasilan hakim agung dan pegawai MA serta badan peradilan di bawahnya tetap tidak berubah. Dalam pidatonya kala itu, Ketua MA mengatakan bahwa prioritas berikutnya adalah peningkatan tunjangan jabatan hakim agung, dan setelah itu, barulah peningkatan remunerasi pegawai MA.

Pada tahun 2012 pula, MA makin menggencarkan pelaksanaan reformasi birokrasi, dan kemudian dinilai oleh Tim Penjamin Kualitas (Quality Assurance). Tim yang bertanggung jawab kepada Wakil Presiden RI itu bertugas menilai pencapaian reformasi birokrasi di MA dan badan peradilan di bawahnya. Ada delapan wilayah yang dijadikan sampel, ditambah satuan kerja di pusat. Parameter penilaiannya adalah delapan area reformasi birokrasi. Hasilnya, MA memperoleh skor 71, dari rentang skor 0-100.

Tahun 2013, ketika para hakim tingkat pertama dan tingkat banding mulai menikmati tunjangan jabatannya yang melonjak tinggi, aparatur peradilan non-hakim harus berjibaku dengan Penilaian Mandiri Pelaksnaan Reformasi Birokrasi (PMPRB). Berbeda dengan penilaian yang dilakukan oleh Tim Quality Assurance, kali ini penilaian dilakukan sendiri oleh MA, dengan mengacu kepada pedoman PMPRB yang sudah ada. Hasilnya, MA memperoleh skor 96, dari kemungkinan skor maksimal 100.

Hasil PMPRB itu kemudian diverifikasi oleh Tim Penilai Reformasi Birokrasi yang dibentuk Wakil Presiden RI. Hingga kini, hasil verifikasi itu belum diumumkan. Hasil penilaian itu menentukan prosentase remunerasi pegawai MA: apakah tetap seperti sekarang atau dinaikkan.

Lantas, mengapa kekecewaan para pegawai pengadilan kini mencapai puncaknya, hingga mereka melakukan aksi mogok kerja?

Sesungguhnya, yang dikehendaki aparatur peradilan non-hakim saat ini ialah adanya penataan ulang remunerasi di MA, bukan sekadar peningkatan prosentasenya yang bergantung pada hasil penilaian dari Tim Penilai Reformasi Birokrasi. Penataan ulang itu perlu, bahkan harus dilakukan, karena:

1.    Tabel beserta grade dan nonimal remunerasi yang berlaku sejak tahun 2007 sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang.
Mengacu kepada Perpres 19/2008 dan SK KMA 70/2008, remunerasi tertinggi diberikan kepada Ketua MA, lalu di bawahnya berturut-turut adalah Wakil Ketua MA, Ketua Muda (kini Ketua Kamar), Hakim Agung, Sekretaris MA, Dirjen dan pejabat eselon I lainnya, dan seterusnya ke bawah. Berdasarkan dua peraturan itu, para hakim di tingkat pertama dan tingkat banding juga berhak menerima remunerasi.

Ketua MA adalah pejabat tinggi negara setingkat Presiden RI. Wakil Ketua MA, Ketua Kamar, dan Hakim Agung juga pejabat negara. Mereka sudah tidak seharusnya mendapat remunerasi. Hak yang mestinya mereka terima adalah tunjangan jabatan selaku pejabat negara, bukan tunjangan khusus kinerja layaknya PNS. Analoginya, apakah Presiden RI, para menteri dan anggota DPR menerima remunerasi? Tidak, kan?

Sejak terbitnya PP 94/2012, hakim tingkat pertama dan tingkat banding sudah resmi tidak lagi menerima remunerasi. Sebagai pejabat negara, hak yang mereka terima adalah tunjangan jabatan selaku pejabat negara, bukan tunjangan khusus kinerja layaknya PNS. Dan, itu sudah sangat tepat.

Nah, dengan kondisi demikian, perlu segera dilakukan penataan ulang remunerasi di MA dan badan peradilan di bawahnya. Jika hakim tingkat pertama dan tingkat banding sudah tidak lagi menerima remunerasi, maka para hakim agung—termasuk pimpinan MA—mestinya juga tidak lagi menerima remunerasi. Agar tidak ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan, secara simultan, hendaknya penataan ulang remunerasi pegawai dibarengkan dengan peningkatan tunjangan jabatan hakim agung.

Jika remunerasi pegawai MA ditata ulang, maka grade tertinggi penerima remunerasi tidak lagi Ketua MA, melainkan Sekretaris MA. Dengan begitu, otomatis grade pegawai di bawahnya akan ikut terkatrol. Jika sebelumnya ada di grade 12, misalnya, bisa naik ke grade 8. Imbasnya, nominal remunerasi pun ikut naik, meski prosentasenya masih 70 persen.

2.    Adanya kesenjangan remunerasi yang terlampau jauh dengan Kemenkeu
Sebagaimana disinggung di atas, walaupun sama-sama menjadi proyek percontohan reformasi birokrasi, perlakuan penyelenggara negara terhadap Kemenkeu dan MA seperti anak kandung dan anak tiri. Dibandingkan dengan remunerasi pegawai BPK, remunerasi pegawai MA juga kalah nominal.

Sejatinya, ditetapkannya MA, Kemenkeu dan BPK sebagai proyek percontohan reformasi birokrasi dan kemudian dinyatakan berhak menerima remunerasi bukanlah tanpa alasan yang kuat. Mantan Kemenpan RB dan mantan Ketua Komisi II DPR E.E. Mangindaan pernah mengungkapkan, ketiga kementerian/lembaga itu dipilih dengan pertimbangan, Kemenkeu merupakan pengelola keuangan, BPK merupakan pemeriksa keuangan dan MA adalah penegak hukum. Ketiga institusi ini diharapkan mampu menjadi pemicu reformasi birokrasi di institusi-institusi lainnya, baik di pusat maupun daerah.

Sayangnya, hingga kini, sama sekali tidak jelas: Apa dasar pertimbangan pihak eksekutif dan legislatif menetapkan remunerasi pegawai MA berkali-kali lipat di bawah remunerasi pegawai Kemenkeu?

Jika memang pertimbangannya adalah Kemenkeu bertugas menghasilkan dan mengelola uang negara, maka seharusnya pihak legislatif dan eksekutif juga tidak boleh menafikan konsensus para pendiri negara (founding fathers) yang sudah tercantum secara eksplisit di dalam konstitusi, bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan benteng terakhir pencari keadilan tidak lain adalah pengadilan, yang saat ini berada satu atap di bawah MA.

Jika memang Kemenkeu dianggap telah berhasil melakukan reformasi birokrasi, apakah selama ini MA tidak punya keberhasilan-keberhasilan yang nyata dalam melaksanakan reformasi birokrasi?

Akhir tahun lalu, berdasarkan survei KPK, MA berhasil menjadi lembaga nomor satu dalam hal integritas sektor publik untuk kategori instansi vertikal. Itu bukan survei main-main, sebab yang menyelenggarakannya adalah KPK—lembaga antirasuah yang disegani di negeri ini. Apakah itu bukan prestasi di bidang reformasi birokrasi?

Soal keterbukaan informasi, MA sudah mempeloporinya sejak tahun 2007 dengan dikeluarkannya SK Ketua MA Nomor 144/2007, bahkan sebelum adanya UU Keterbukaan Informasi Publik. Saat ini seluruh pengadilan di bawah MA, yang jumlahnya tidak kurang dari 800, sudah punya website. Pelayanan publik melalui meja informasi juga tersedia. Awak media bebas meliput persidangan, jika memang sidang itu terbuka untuk umum, bahkan kadang secara live atau real time—sesuatu yang di Amerika, negeri yang dianggap paling demokratis sejagad, masih tabu dan tidak dibolehkan. Apakah itu bukan progress reformasi birokrasi?

Masih soal keterbukaan informasi, kini publik dapat mengakses ratusan ribu putusan pengadilan melalui situs Direktori Putusan dan situs-situs pengadilan. Hingga akhir Desember 2013, putusan yang terpublikasikan berjumlah 685.406. Jumlah ini, berdasarkan catatan Kepaniteraan MA, merupakan rekor dunia. Ketika jumlah publikasi putusan baru mencapai  22.437 pada bulan Maret 2011, Sebastian Pompe—akademisi asal Belanda yang dulu sangat kritis kepada MA—dibuat takjub, dan mengungkapkan kesan jujurnya di The Jakarta Post, 29 Maret 2011. Ia mengatakan, jumlah putusan yang terpublikasikan di Direktori Putusan lebih banyak dari putusan Amerika, Belanda, dan Australia dalam sepuluh tahun terakhir, atau lebih banyak dibandingkan putusan Amerika Serikat yang dipublikasikan dalam seratus tahun terakhir. Lantas, apa yang akan dikatakan Pompe saat ini dengan jumlah publikasi putusan mencapai 685.406?  Apakah itu bukan prestasi MA dalam bidang reformasi birokrasi, bahkan prestasi MA di level dunia?

Soal pengawasan, bisa jadi MA adalah lembaga negara yang paling ketat melakukan pengawasan terhadap aparaturnya. Selain ada pengawasan internal yang dijalankan Badan Pengawasan MA dan pengadilan-pengadilan tingkat banding yang menjadi kawal depan MA di daerah, juga ada pengawasan eksternal yang dilakukan Komisi Yudisial (KY). Setiap triwulan, Badan Pengawasan mengumumkan secara terbuka berapa aparat peradilan yang kena hukuman disiplin, dan apa jenis hukumannya. Majelis Kehormatan Hakim (MKH) juga dibentuk MA dan KY jika ada hakim yang terindikasi kuat telah melanggar kode etik. Sidang MKH boleh diliput media massa secara luas. Apakah ada, institusi di luar MA, yang begitu ketat pengawasannya, dan begitu transparannya dalam hal menjatuhkan hukuman disiplin kepada aparatnya? Apakah Kemenkeu seketat dan setransparan MA dalam hal-hal seperti ini?

Bagaimana dengan laporan keuangan? Seperti halnya Kemenkeu, laporan keuangan MA kini mendapat opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Itu adalah opini tertinggi dari BPK, di atas disclaimer dan WDP (Wajar Dengan Pengecualian).

Tidak hanya itu, dalam hal LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara), MA juga jadi contoh bagi kementerian/lembaga lain. Dari segi jumlah dan prosentase, pejabat MA dan badan peradilan di bawahnya-lah yang saat ini paling patuh melaporkan harta kekayaannya menggunakan LHKPN, dan kemudian diverifikasi oleh KPK. Hingga akhir tahun 2013, dari 11.559 pejabat MA dan badan peradilan di bawahnya yang wajib lapor, ternyata yang telah melaporkan LHKPN berjumlah 10.051 orang atau 88 persen. Silakan bandingkan dengan yang lain. Sekali lagi, apakah itu bukan prestasi di bidang reformasi birokrasi?

Nah, dengan segudang prestasi itu, juga dengan pertimbangan bahwa negara ini adalah negara hukum dan MA adalah salah satu pilot project reformasi birokrasi, apakah tidak pantas jika MA menuntut agar pihak eksekutif dan legislatif melakukan penataan ulang terhadap remunerasi pegawai MA, dengan menjadikan Kemenkeu sebagai acuan?

3.    Disalip oleh kementerian/lembaga lain
Satu lagi alasan mengapa remunerasi pegawai MA perlu ditata ulang ialah adanya fakta bahwa saat ini nominal remunerasi pegawai MA telah disalip oleh pegawai dari kementerian/lembaga lain, yang pada tahun-tahun belakangan ini juga ditetapkan sebagai penerima remunerasi.

Seorang pegawai golongan II di sebuah pengadilan bercerita, sebulan ia hanya menerima remunerasi Rp 1 jutaan, sedangkan rekannya sesama pegawai golongan II yang bekerja di sebuah kementerian menerima lebih dari Rp 2 juta sebulan.

Jelas, ini adalah kejanggalan yang nyata. MA yang dijadikan pilot project reformasi birokrasi mestinya diberi hak yang lebih, karena MA juga dibebani kewajiban yang lebih. Sedari awal, MA diplot untuk jadi role model proyek akbar di negara ini bernama reformasi birokrasi, bersama dengan Kemekeu dan BPK. Dengan plot itu, MA harus bergerak lebih cepat, lebih massif, dan lebih berhasil.

Lantas, wajarkah remunerasi pegawai MA disalip jumlahnya oleh remunerasi pegawai kementerian/lembaga lain yang baru saja melaksanakan reformasi birokrasi? Tidak pantaskah kalau kemudian pimpinan dan pegawai MA menghendaki adanya penataan ulang remunerasi di MA?

Jadi, itulah tiga alasan utama, mengapa remunerasi pegawai MA dan badan peradilan di bawahnya harus ditata ulang. Tentu, di luar tiga itu, ada alasan-alasan lain yang sifatnya internal, seperti terlalu jauhnya selisih penghasilan antara hakim dan pegawai di pengadilan saat ini.

Dengan begitu gamblangnya latar belakang persoalan ini, juga dengan mempertimbangkan situasi di lapangan yang begitu mengkhawatirkan, tidak boleh tidak, penyelenggara negara yang bertanggungjawab terhadap persoalan reformasi birokrasi dan remunerasi harus segera memberi respons.

Pihak legislatif, dalam hal ini Komisi III DPR, tidak boleh menganggap remeh persoalan ini. Usulan revisi anggaran dari MA dalam rangka penataan ulang remunerasi harus direspons positif.

Pihak eksekutif, dalam hal ini Kemenkeu, Kemenpan RB dan Presiden RI, juga harus memberi jalan bagi MA untuk menata ulang remunerasi pegawainya. Usulan yang telah disampaikan pimpinan MA hendaknya jangan dipandang sebelah mata. Setelah mencermati usulan itu dan membahasnya dengan pihak MA, pihak eksekutif perlu segera mengeluarkan payung hukum sebagai pengganti Perpres No. 19 Tahun 2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.

Jika tuntutan ini tidak dipenuhi dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin, bom waktu yang sudah meledak sekarang akan meledak lebih dahsyat lagi.

Jakarta, 17 April 2014

*Pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung
Tags:

Berita Terkait