Rencana Akuisisi BTN-Mandiri Dipertanyakan
Utama

Rencana Akuisisi BTN-Mandiri Dipertanyakan

Rencana itu dikhawatirkan akan menyulitkan kredit kepemilikan rumah bagi kelas menengah dan kelas bawah.

Oleh:
FAT/ANT
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, mempertanyakan mengenai rencana akuisisi PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan. Ia mengaku hingga kini belum ada laporan mengenai rencana akuisisi tersebut.

“Sejauh ini kami belum pernah diajak rapat bersama terkait akan dilepasnya saham pemerintah dari BTN. Kami baru lihat di media-media, sosial media dan lain-lain. Karena itu, saya akan menanyakan kebenaran kabar tersebut,” katanya di Jakarta, Senin (21/4).

Menurutnya, pertanyaan ini merupakan reaksi wajar dari pihak Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Hal tersebut dikarenakan dalam tiap proses akuisisi bank milik pemerintah, terdapat prosedur yang harus dilakukan Kementerian BUMN. Prosedur tersebut, lanjut Hatta, berupa adanya komunikasi dari Kementerian BUMN kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan DPR.

Setelah komunikasi dilakukan, seluruh stakeholder tersebut rapat bersama kabinet dan pihak-pihak terkait. Dalam komunikasi tersebut, Kementerian BUMN wajib menjelaskan alasan dan tujuan dilakukannya akuisisi. Menurutnya, rencana ini harus dianalisa oleh tim yang mumpuni.

“Saya sendiri belum pernah membahas itu, jadi saya belum bisa mengatakan setuju atau tidak setuju, harus dianalisa oleh tim yang solid dan kuat,” kata Hatta.

Sebelumnya, pemerintah berencana melepas kepemilikan 60,14 persen saham di BTN ke Bank Mandiri dan Kementerian BUMN telah menyetujui hal itu. Menteri BUMN Dahlan Iskan mengatakan, BTN akan menjadi anak usaha Bank Mandiri dan keduanya akan tetap menjadi entitas perusahaan yang berbeda agar bisa menggenjot kinerja penyaluran kredit.

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo enggan mengomentari rencana akuisisi BTN dan Mandiri tersebut. Alasannya, lanjut Agus, lantaran BI sekarang hanya berwenang mengawasi moneter dan makroprudensial. Oleh sebab itu, pertanyaan mengenai akuisisi BTN dan Mandiri layaknya ditujukan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Kementerian BUMN.

“BI saat ini hanya sebagai otoritas moneter dan mengawasi makroprudensial saja. Karena itu, kami hanya bisa menyampaikan dari pandangan kami,” kata Agus.

Meski begitu, lanjut Agus, BI mendukung rencana akuisisi perbankan jika bertujuan agar bank tersebut menjadi lebih sehat. “Tapi kalau sistemnya akan mendorong terjadinya perbankan yang lebih sehat, konsolidasi perbankan, itu adalah sesuatu yang harus kita dukung,” katanya.

Terkait isu yang menyebutkan dirinya mempersiapkan obligasi rekap sebesar Rp70 triliun, Agus menolak untuk menanggapinya. “Saya sudah dari tahun 2010 meninggalkan Bank Mandiri dan saya tidak bisa berkomentar terkait itu. Bahwa kalau seandainya dua lembaga tersebut adalah badan usaha milik negara, baiknya ditanyakan kepada Menteri BUMN,” katanya.

Hingga kini, lanjut Agus, BI juga belum menerima semacam pemberitahuan rencana akuisisi dua bank plat merah tersebut. “Saya paling tidak di BI, di Dewan Gubernur belum menerima. Tapi bisa nanti ditanyakan ke Halim Alamsyah (Deputi Gubernur yang juga ex officio BI di OJK) yang mensupervisi makro prudensial, mungkin Pak Halim bisa menjelaskan hal yang terbaru. Untuk kami, belum ada notification (pemberitahuan) apa-apa,” katanya.

Sebagaimana diketahui, Menteri BUMN Dahlan Iskan pekan lalu mengatakan, berencana akan melepaskan saham pemerintah dari BTN. Salah satu alasan dilepasnya saham tersebut agar BTN bisa berkembang lebih cepat.

Sulitkan KPR
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, mengatakan rencana pemerintah yang akan mengalihkan saham BTN kepada Bank Mandiri dikhawatirkan akan menyulitkan kredit kepemilikan rumah (KPR) bagi kelas menengah dan kelas bawah.

"Jika nanti memang diakuisisi, konsumen khawatir suku bunga kreditnya akan berbeda, memakai suku bunga komersial, orang miskin akan susah dapat rumah," katanya.

Ali menambahkan, selain itu, fokus kreditnya akan berbeda, Bank Mandiri tidak melakukan program kerja Kementerian Perumahan Rakyat yakni Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). "Pasti fokusnya akan pecah, FLPP enggak bisa, tetap saja beda 'corenya' itu BTN," katanya.

Pasalnya, sekira 98 persen penyaluran KPR dilakukan oleh BTN, karena itu, Ali menilai, penyaluran kredit tidak akan fokus. “Penyaluran kredit, suku bunga kan pasti mengikuti perusahaan," katanya.

Selain itu, terkait backlog, Ali mengatakan tidak ada hubungannya antara akuisisi BTN oleh mandiri dengan mengurangi bakclog (pesanan rumah yang belum terlayani) sekitar 1,5 juta unit rumah yang dibutuhkan.

"Tidak ada hubungannya dengan akuisisi BTN, ini masalahnya ada di Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), yang tidak bisa mengimplementasikan kebijakan perumahan yang ujung-ujungnya terbentur di Pemda," katanya.

Sayangnya, dia melanjutkan, kewenangan Pemda bukan ada pada Kemenpera, tetapi di bawah Kementerian Dalam Negeri. Ali menyarankan seharusnya akuisisi BTN oleh Mandiri tidak dalam rentang waktu menjelang Pilres karena tidak ada jaminan bahwa BTN akan fokus kepada perumahan rakyat.

"Apa jaminannya BTN bisa tetap fokus ke perumahan rakyat? Saya yakin tidak ada yang dapat memberikan jaminan itu. Kalau sudah masuk Mandiri bisa "diobok-obok" nanti," kata Ali.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah Natsir Mansyur meminta Menteri BUMN agar perbankan bisa lebih fokus, misalnya bank yang khusus mengurusi perumahan, bank industri, bank infrastruktur, industri maritim, bank agribisnis, dan lainnya.

"BTN paling siap dan paham, apakah Mandiri siap? Program ini dibangun oleh pengusaha daerah yang banyak tersebar di luar Jakarta. Sehingga berdampak luas terhadap pergerakan ekonomi di daerah," ujarnya.

Ia menambahkan, kebutuhan perumahan dilindungi oleh Undang Undang Dasar 45, harusnya pemerintah menyiapkan minimal satu bank pemerintah yang siap menampung kebutuhan KPR (Kredit Perumahan Rakyat) masyarakat MBR.

"Malah harusnya buatkan juga skema khusus buat segmen non bankable, jangan pikirkan kebutuhan secara general saja," kata dia.
Tags:

Berita Terkait