Pro Kontra Delik Tindak Pidana Korupsi dalam RUU KUHP
Dialog Hukum KHN

Pro Kontra Delik Tindak Pidana Korupsi dalam RUU KUHP

Jangan sampai RUU KUHP ini terkesan dipaksakan.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Foto: KHN
Foto: KHN
Ketua KHN, Profesor J.E. Sahetapy meminta pemerintah bersama DPR RI mengeluarkan delik korupsi dalam RUU KUHP. Sebab, korupsi sebagai kejahatan luar biasa sekarang ini hanya mampu diberantas melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara kelembagaan, dengan senjatanya yang bersifat khusus, yakni UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal itu disampaikan J.E. Sahetapy dalam Dialog Hukum, bertajuk “Pro Kontra Delik Tindak Pidana Korupsi dalam RUU KUHP” yang digelar pada Rabu, 12 Maret 2014, bertempat di Ruang Pertemuan Perpustakaan KHN, Lantai 2, Jalan Diponegoro 64 Jakarta Pusat.

Menurut Sahetapy, jikalau delik korupsi tetap dipaksakan untuk  masuk dalam RUU KUHP, ia mempertanyakan apakah memang saat ini lembaga kepolisian dan kejaksaan sudah dapat dipercaya? Jadi, menurutnya KPK harus diberi kesempatan untuk bekerja. “Saya mengajak kepada segenap bangsa untuk kembali mengigat sejarah, bahwa dibentuknya KPK oleh karena kepolisian dan kejaksaan sudah tidak dipercaya dalam memberantas korupsi,” jelas Sahetapy.

Adapun terkait dengan semangat pemerintah bersama DPR untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi di bidang hukum pidana, Sahetapy menyatakan bahwa niat itu sah-sah saja. Namun, bukan berarti seluruh tindak pidana disusun dalam satu buku. Berikut kutipan pendapat, J.E. Sahetapy:

“bahwa  kodifikasi tidak boleh  diartikan seluruh tindak pidana, harus disusun dalam satu buku. Artinya, RUU KUHP harus dilakukan melalui proses pengkajian yang kritis. Dengan demikian, delik korupsi tidak layak dimasukan dalam RUU KUHP. Supaya tidak salah paham, kodifikasi adalah menghimpun semua peraturan yang ada dalam satu buku. Tapi itu tidak berarti tidak boleh ada peraturan di luar buku itu. Itu yang saya kira ada kesalahpahaman. Kodifikasi bisa saja dilakukan, tapi itu tidak berarti tidak boleh ada peraturan lain di luar kodifikasi,”

Atas dasar pendapatnya, Sahetapy berpandangan, bahwa sikap KPK maupun lembaga-lembaga penegak hukum lain yang merasa dirugikan akan keberadaan RUU KUHP sangat beralasan. Khusus KPK, menurutnya, dengan dimasukkannya delik korupsi dalam KUHP, maka tinggal menunggu hari saja nasib KPK. “Jika delik korupsi dimasukkan dalam RUU KUHP, maka pertanyaan saya, apakah KPK yang ada sekarang ini nanti dibubarkan atau tidak? Kalau tidak bagaimana dengan hukum acaranya?,” tanya Sahetapy.  

Sahetapy lalu menjelaskan bahwa RUU KUHP terdiri dari dua buku. Buku kesatu mengatur ketentuan umum, buku kedua mengatur tindak pidana.Secara keseluruhan di dalamnya terdapat 766 pasal.  Sahetapy menghimbau agar di dalam KUHP perlu dibicarakan betul-betul buku satu, karena di situlah pembahasannya.

Usulan ke Presiden
Profesor Sahetapy yang mengaku banyak berkontribusi pada awal-awal pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP memang sangat teguh pada pendiriannya bahwa  kedua RUU itu lebih baik dianulir. Ia mengungkapkan alasannya, pada era Presiden Soeharto, para ahli sudah hampir menyelesaikan RUU-RUU itu, tinggal satu atau dua pasal, tetapi begitu era reformasi, RUU itu dinyatakan tidak relevan. “Lain koki, lain masakannya,” jelasnya.

Untuk itu, di sisa kurang lebih 100 hari masa kerja, menurut J.E. Sahetapy tidak memungkinkan bagi DPR periode 2009-2014 untuk membicarakan masalah kodifikasi RUU KUHP. “Jangan sampai RUU KUHP ini terkesan dipaksakan,” sarannya. Menurutnya, pembahasan revisi KUHP dan KUHAP di DPR saat ini hanya membuang waktu dan anggaran, sehingga sudah selayaknya pembahasan ini dihentikan.

Sahetapy lalu menceritakan, saat diundang KPK sebagai narasumber diskusi “‘Quo Vadis Pembaharuan Hukum Pidana Melalui RUU KUHP dan RUU KUHAP: Memperkuat atau Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi” beberapa waktu lalu, ia juga telah mengusulkan kepada Presiden agar kedua RUU itu dicabut saja dari pembahasan anggota dewan saat ini. Ia menilai lebih baik revisi ini dilakukan oleh anggota DPR pada periode mendatang.

“Serahkan saja kepada DPR yang terpilih nanti (hasil Pemilu 9 April 2014, red),” saran Guru Besar emeritus Universitas Airlangga ini.  Profesor yang kini akan memasuki usia 82 tahun ini berjanji, “masuk tahun 2014, jika pemilu dilaksanakan dengan jujur,  kalau ada umur panjang, saya siap membantu membuat KUHP,” demikian janji Sahetapy.

Jangan Dipaksakan
Narasumber panel, praktisi hukum yang juga akademisi UI, Luhut M.P. Pangaribuan setuju dengan Profesor Sahetapy, bahwa pembahasan RUU KUHP tidak baik untuk dipaksakan pada sisa masa sidang DPR yang berakhir pada September 2014. Ia juga setuju agar pembahasan RUU KUHP termasuk RUU KUHAP sebaiknya dilanjutkan oleh anggota DPR periode berikutnya (2014-2019).

Luhut mengaku merasakan perdebatan yang cukup dinamis dalam pembahasan RUU KUHP. Ia pun menyatakan pendapatnya yang berbeda. Menurutnya, eksistensi KPPK tidak terancam jika nantinya RUU KUHP diundangkan. Luhut memberikan alasan, bahwa 15 pasal korupsi yang terdapat dalam RUU KUHP hanya mengatur substansi, tidak menyentuh penegakan hukumnya.

Luhut juga berpendapat bahwa RUU KUHP bukan melemahkan pemberantasan korupsi, tetapi kodifikasi semua tindak pidana yang jumlahnya ada sembilan. “Menutut saya, ini adalah produk nasional hukum yang konsepnya baik, yaitu; demokratisasi, konsolidasi hukum pidana, adaptasi dan harmonisasi,” jelas Luhut.

Luhut menyatakan, kritik keras dari KPK yang menolak delik korupsi masuk dalam RUU KUHP lebih karena perasaan emosi bahkan terkesan memonopoli kebenaran. Padahal, sebenarnya hiruk-pikuk pemberantasan korupsi sekarang, lebih dikarenakan isu politisasinya daripada penegakan hukum. “Saya tidak setuju dengan sikap KPK yang menolak keberadaan RUU KUHP,” jelasnya.

Luhut juga menyampaikan ketidaksetujuannya dengan cara-cara menghardik terhadap pembahasan RUU KUHP. Ia menyarankan agar pihak-pihak yang tidak setuju hendaknya menyampaikan saja dengan membuat daftar inventarisasi masalah. “Jangan sampai  RUU ini tidak jadi diundangkan hanya karena emosi yang berkembang, karena jika itu yang menjadi alas an, maka  kita rugi besar” ujarnya.

Untuk melihat transkrip lengkap acara Dialog Hukum edisi ini, silakan klik "Transkrip".

Tim KHN
Tags:

Berita Terkait