Praktik Politik Uang dalam Pileg 2014 Masif
Berita

Praktik Politik Uang dalam Pileg 2014 Masif

Tren praktik politik uang sejak 2009 hingga 2014 meningkat.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Hasil pantauan ICW terkait politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014. Foto: RES
Hasil pantauan ICW terkait politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014. Foto: RES
Maraknya praktik politik uang dalam Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014 masih terus terjadi. Hal itu membuktikan betapa masifnya pelanggaran pidana pemilu yang berujung tercemarnya pemilu yang jujur dan adil. Demikian disampaikan anggota Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, dalam paparan hasil pemantauan politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014 di Jakarta, Senin (21/4).

“Praktik politik uang masih masif terjadi dalam pemilu legislatif tahun 2014 dengan modus pemberian secara prabayar dan pasca bayar,” ujarnya.

ICW bersama jaringan di daerah melakukan pemantauan di 15 provinsi sejak masa kampanye, minggu tenang, hingga hari pencoblosan. Hasil final pemantauan, setidaknya mendapatkan 313 temuan pelanggaran. Mulai pemberian uang sebanyak 104 kasus, pemberian barang sebanyak 128 kasus, pemberian jasa 27 kasus, dan penggunaan sumber daya negara 54 kasus.

Donal menyadari data yang dikumpulkan tidak mewakili seluruh provinsi. Namun setidaknya, temuan ICW menggambarkan realita yang terjadi di masyarakat sedemikian miris. Pasalnya, masih banyak kandidat caleg yang melakukan politik uang.

Dikatakan Donal, dari 15 provinsi, wilayah Banten yang paling banyak ditemukan pelanggaran, antara lain praktik curang dalam pemilu di tingkat kabupaten/kota. “Hal ini disebabkan bahwa persaingan di wilayah yang sempit dan kandidat yang banyak mendorong maraknya politik uang,” katanya.

Menurutnya, di Banten, politik uang yang dilakukan kisaran Rp5 ribu hingga Rp50 ribu sebanyak 24 kasus. Sedangkan kisaran Rp26 ribu hingga Rp50 ribu mencapai 28 kasus. Untuk politik uang berdasarkan latar belakang partai, Golkar menduduki nomor urut pertama, dengan 57 kasus. Sedangkan PPP 30 kasus, PAN 25 kasus, Demokrat 25 kasus, dan PDIP 24 kasus.

“Demokrasi kita masih pada pemodal uang, bisa kita bayangkan hasilnya nanti,” ujarnya.

Lebih jauh Donal menuturkan, dari hasil temuan di sejumlah provinsi itu, aktor pelaku politik uang lebih didominasi oleh kandidat caleg sebanyak 170 kasus. Sedangkan Tim Sukses (Timses) sebanyak 107 kasus, aparat pemerintah 24 kasus.

Berdasarkan catatan ICW, tren politik uang dari Pemilu pasca reformasi meningkat. Pemilu 1999 sebanyak 62 kasus. Sedangkan Pemilu 2004 sebanyak 113 kasus, Pemilu 2009 sebanyak 150 kasus, dan Pemilu 2014 sebanyak 313 kasus. “Ini membuktikan tren pelanggaran pemilu politik uang meningkat dari pemilu ke pemilu,” ujarnya.

Ketua Divisi Korupsi Politik ICW, Abdullah Dahlan, menambahkan, praktik transaksional yang dilakukan para caleg dalam Pemilu 2014 terus terjadi. Menurutnya, hal itu membuktikan betapa vote buying mengkonfirmasi atas praktik transaksional. Tak kalah penting, lemahnya penegakan hukum terhadap perkara pelanggaran tindak pidana pemilu. 

Deputi Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ferry Junaedi, menambahkan ada tren peningkatan aksi politik uang dalam setiap Pemilu. Ironisnya, hal tersebut tak menimbulkan efek jera. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengawalan agar penegak hukum melakukan proses hukum hingga selesai. Sayangnya, penegak hukum dalam menangani proses hukum terbatas oleh waktu yang hanya 14 hari.

“Kami menilai ada problem dalam proses penegakan hukum,” ujarnya

Ferry berpandangan, terkait limitasi penanganan kasus pelanggaran pidana pemilu harus dilakukan revisi. Bila tidak, dengan terbatasnya waktu penanganan kasus pelanggaran pemilu tidak akan maksimal. Bukan tidak mungkin banyak kasus yang dihentikan penyidikannya.

“Banyak pelanggaran pemilu kemudian dibawa ke polisi yang tuntas tanpa ending yang baik. Artinya, semua proses di polisi akan dihentikan dengan di SP3. Dan ini tidak menimbulkan efek jera,” katanya.

Menurutnya, kasus pidana pemilu harus ditindaklanjuti hingga rampung, bukan sebaliknya dihentikan penyidikannya. Dikatakan Ferry, kasus pidana pemilu tidak bisa dibuktikan secara serampangan. Maka dari itu, diperlukan waktu yang cukup panjang. Ia juga mendorong agar Bawaslu proaktif mendorong kasus pidana pemilu, khususnya politik uang di tindaklanjuti oleh penyidik Polri.

“Kita mengusulkan perpanjangan waktu penanganan pelanggaran pidana pemilu. Kalau perlu sepanjang masa jabatan 5 tahun, kalau terbukti yang terbukti bisa diskualifikasi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait