BCA Bersikukuh Keberatannya Sesuai Peraturan
Utama

BCA Bersikukuh Keberatannya Sesuai Peraturan

KPK harus menjadikan kasus mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo sebagai pintu masuk membongkar berbagai dugaan penyimpangan pajak.

Oleh:
FATHAN QORIB/ANT
Bacaan 2 Menit
Direktur Utama PT BCA Tbk, Jahja Setiaatmadja. Foto: RES
Direktur Utama PT BCA Tbk, Jahja Setiaatmadja. Foto: RES
PT Bank Central Asia (BCA) Tbk angkat bicara terkait kasus yang melilit mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo. Menurut Direktur Utama BCA, Jahja Setiaatmadja, nota keberatan yang diajukan BCA kepada Direktorat Jenderal Pajak dilakukan sesuai aturan yang berlaku.

“Sebagai wajib pajak, BCA telah memenuhi kewajiban dan jalankan haknya melalui prosedur dan tata cara perpajakan yang benar,” kata Jahja di kantornya, Selasa (22/4).

Awalnya, pada tahun 1998 BCA mengalami kerugian fiskal sebesar Rp29,2 triliun akibat krisis ekonomi di Indonesia. Berdasarkan peraturan, kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan (tax loss carry forward) mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai lima tahun.

Pada tahun 1999, Sekretaris Perusahaan BCA Inge Setiawati menambahkan, BCA sudah mulai membukukan laba fiskal sebesar Rp174 miliar. Namun, laba ini dikoreksi oleh Ditjen Pajak berdasarkan hasil pemeriksaannya yang dilakukan pada tahun 2002 menjadi sebesar Rp6,78 triliun.

Dalam angka Rp6,78 triliun tersebut terdapat koreksi terkait dengan transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp5,77 triliun. Transaksi pengalihan aset ini dilakukan dengan proses jual beli kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang tertuang dalam perjanjian jual beli dan penyerahan piutang No.SP-165/BPPN/0600.

Menurut Jahja, transaksi pengalihan aset tersebut dilaksanakan lantaran instruksi Menteri Keuangan No. 117/KMK.017/1999 dan Gubernur Bank Indonesia (BI) No. 31/15/KEP/GBI tanggal 26 Maret 1999. Instruksi ini sengaja dilakukan BCA, lantaran pada saat itu mayoritas saham BCA masih dimiliki oleh pemerintah. “Yakni sekitar 92,8 persen,” katanya.

Jahja mengatakan, dengan dijalankannya instruksi dari Menkeu dan Gubernur BI tersebut, maka transaksi pengalihan aset tersebut merupakan jual beli piutang. Namun, Ditjen Pajak menilai sebaliknya. Menurut Ditjen Pajak, transaksi tersebut merupakan penghapusan piutang macet.

“BCA telah laksanakan surat keputusan bersama, ada bukti-bukti nyata itu pengalihan aset. Kalau penghapusan, maka saldo piutang macet dan lain-lain ada di buku BCA, tapi itu berpindah ke BPPN,” tutur Jahja.

Atas dasar itu pula, pada tanggal 17 Juni 2003, BCA mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak terkait koreksi pajak yang telah dilakukan. Keberatan yang disampaikan oleh BCA diterima Ditjen Pajak dan dinyatakan dalam SK no. KEP-870/PJ.44/2004 tanggal 18 Juni 2004.

Menurut Jahja, pada saat masa kompensasi kerugian pajak tahun 1998 berakhir, masih terdapat sisa kompensasi yang belum digunakan sebsar Rp7,81 triliun. Jika keberatan BCA atas koreksi pajak senilai Rp5,77 triliun tidak diterima oleh Ditjen Pajak, Inge mengatakan, masih terdapat sisa tax loss carry forward yang bisa dikompensasikan sebesar Rp2,04 triliun.

Terkait kasus yang menimpa Hadi Poernomo, BCA menyerahkan proses tersebut kepada KPK. Menurut Jahja, BCA siap membantu KPK dalam menyidik kasus ini. Misalnya, dengan kooperatif jika KPK memerlukan keterangan dari BCA. “Harus siap (jika diperiksa KPK, red),” katanya.

Ia mengatakan, sebagai lembaga penegak hukum, KPK memiliki kewenangan untuk menyidik kasus secara profesional. Untuk itu, BCA akan menghormati proses hukum yang tengah dilakukan lembaga antikorupsi tersebut. “Kami menghormati proses hukum, dan KPK punya kewenangan dalam menegakkan hukum,” katanya.

Sebelumnya, KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam menerima seluruh keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) PT Bank BCA tahun pajak 1999-2003. Hadi diduga menyalahgunakan kewenangannya sebagai Dirjen Pajak karena memberikan nota untuk menerima keberatan pajak penghasilan badan (PPH) Bank BCA 1999-2003 sehingga merugian keuangan negara sebesar Rp375 miliar.

Atas perbuatan tersebut, KPK menyangkakan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukuman pasal tersebut maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, pengajuan keberatan pajak tersebut BCA tak sendiri. Menurutnya, di saat yang sama ada bank-bank lain yang mengajukan keberatan serupa. Namun, hanya keberatan BCA saja yang diterima Ditjen Pajak.

“Jadi ada beberapa bank yang juga mengajukan keberatan dan permasalahannya sama dengan BCA, tapi kemudian bank-bank yang lain itu keberatannya ditolak. Namun dalam kasus BCA, keberatan pajak BCA itu diterima. Ini duduk persoalan dari kasus tersebut,” pungkasnya.

Pintu Masuk
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo menilai Komisi Pemberantasan Korupsi harus menjadikan kasus mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo sebagai pintu masuk membongkar berbagai dugaan penyimpangan pajak.

"Kasus HP ini juga untuk membongkar penyimpangan BCA sebagai salah satu penerima fasilitas terbesar BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Penetapan HP sebagai tersangka oleh KPK juga harus disusul pemeriksaan terhadap pemilik BCA," kata Bambang.

Bambang berharap Hadi Poernono tidak boleh tinggal diam karena dia harus membuka data dan informasi yang dimiliki. Hal itu terkait data penyimpangan pajak dan harta kekayaan yang diperoleh secara tidak sah sejumlah pejabat tinggi negara yang hingga kini tidak tersentuh.

"Sebenarnya sama sekali tidak mengejutkan ketika KPK menetapkan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo sebagai tersangka karena dia sudah lama dibidik karena berbagai indikasi pelanggaran hukum semasa menjabat Dirjen Pajak," ujarnya.

KPK juga sudah mengirim surat permintaan cegah untuk bepergian keluar negeri terhadap Hadi Poernomo. Pencegahan itu berlaku selama 6 bulan ke depan. "Sudah kami siarkan itu sejak pukul 09.00 WIB, Direktorat Imigrasi sudah melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap Pak Hadi Poernomo," kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Imigrasi, Heryanto.
Tags:

Berita Terkait