Anggoro Widjojo Didakwa Suap MS Kaban
Utama

Anggoro Widjojo Didakwa Suap MS Kaban

MS Kaban disebut meminta sumbangan lift untuk gedung pusat kegiatan Partai Bulan Bintang.

Oleh:
Nov
Bacaan 2 Menit
Anggoro Widjojo. Foto: RES
Anggoro Widjojo. Foto: RES
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa bos PT Masaro Radiocom, Anggoro Widjojo menyuap Menteri Kehutanan (kala itu) MS Kaban, Sekjen Departemen Kehutanan (Dephut) Boen Mochtar Purnama, dan Ketua Komisi IV DPR periode 2004-2009, Yusuf Erwin Faishal.

Penunut Umum KPK Riyono menyatakan, penyuapan itu untuk memuluskan usulan persetujuan Rancangan Pagu Bagian Anggaran 69 Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) Dephut tahun 2007. “Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b, subsidair Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHP,” katanya, Rabu (23/4)

Peristiwa pidana ini, bermula ketika Dephut mengajukan usulan persetujuan Rancangan Pagu Bagian Anggaran 69 Program Gerhan tahun 2007 senilai Rp4,2 triliun kepada DPR. Salah satu kegiatan yang akan dilakukan dalam program tersebut adalah Revitalisasi Sistem Komunikasi Radio Terpadi (SKRT) pada Sekretariat Jenderal Dephut. 

Menurut Riyono, PT Masaro merupakan perusahaan milik Anggoro dan keluarganya. PT Masaro pernah menjadi rekanan Dephut dalam proyek SKRT tahun 2005-2006. Setelah mengetahui pengajuan anggaran, Anggoro menghubungi Yusuf. Anggoro meminta Komisi IV menyetujui usulan rancangan pagu bagian anggaran Gerhan.

Yusuf meminta anggota Komisi IV Muhtarudin menemui Anggoro. Muhtarudin bertemu dengan Anggoro di Kudus Bar, Hotel Sultan untuk membicarakan pembahasan anggaran SKRT yang sedang dibahas Komisi IV. Anggoro meminta Muhtarhudin membantu karena proses pembahasan di Komisi IV sudah cukup lama.

Setelah itu, Anggoro kembali menemui Yusuf. Anggoro menyampaikan, PT Masaro diminta menyelesaikan proyek SKRT selambat-lambatnya Desemberi 2007. Apabila tidak ada kepastian anggaran SKRT, pengerjaan SKRT akan terhambat karena pekerjaan SKRT membutuhkan waktu untuk pemesanan dan instalasi. 

“Terdakwa meminta Yusuf membantu agar anggaran SKRT disetujui Komisi IV. Yusuf menjawab, tugas selaku Ketua Komisi IV hanya sebatas pembahasan anggaran. Namun, Yusuf berjanji akan mengecek ke Tim SKRT Komisi IV. Saat itu, terdakwa menjanjikan akan memberikan sesuatu kepada anggota Komisi IV,” ujar Riyono.

Alhasil, pada 16 Juli 2007, Yusuf mengesahkan Rancangan Pagu Bagian Anggaran 69 Program Gerhan tahun 2007. Lembaran pengesahan itu ditandatangani pula Menhut MS Kaban dan pimpinan Komisi IV lainnya, Fachri Andilelusa dan Hilman Indra. Selanjutnya, diusulkan ke Departemen Keuangan (Depkeu).

Riyono melanjutkan, Anggoro menghubungi Yusuf pada 25 Juli 2007. Anggoro menginformasikan dokumen anggaran sudah ditandatangani Menhut, tapi belum dikirim kembali ke Komisi IV. Kemudian, Yusuf meminta Kabiro Perencanaan dan Keuangan Dephut Wandoyo Siswanto langsung mengirimkan ke Dirjen Anggaran, Depkeu.

Ketika mengetahui dokumen anggaran sudah dikirim ke Dirjen Anggaran, Anggoro meminta anaknya, David Angkawidjaya memberikan sejumlah uang kepada Yusuf. David menghubungi Yusuf dengan mengatakan, “Pak Yusuf, saya disuruh Pak Anggoro untuk bertemu bapak” dan dijawab Yusuf, “agar dititipkan kepada Tri Budi Utami”.

Kemudian, David memberikan sejumlah uang dari Anggoro kepada Tri Budi Utami di ruang Sekretariat Komisi IV. “Uang tersebut oleh Yusuf dibagi-bagikan kepada anggota Komisi IV DPR, antara lain, Suswono sejumlah Rp50 juta, Muhtarudin sejumlah Rp50 juta, dan Nurhadi M Musawir sejumlah Rp5 juta,” beber Riyono.

Selain itu, Anggoro juga memberikan uang kepada MS Kaban atas diajukannya pengesahan anggaran 69 program Gerhan ke Menteri Keuangan. Sebelumnya, pada 6 Agustus 2007, Anggoro menerima Short Message Service (SMS) dari MS Kaban yang menyatakan, “Skrg merapat saja ke rmh dinas. Kalau smpat bgks rapi 15rb”.

Atas permintaan tersebut, Anggoro membeli valuta asing sejumlah AS$15 ribu untuk diberikan kepada MS Kaban di rumah dinasnya. Pada 16 Agustus 2007, Anggoro kembali menerima telepon dari MS Kaban yang bunyinya, “Ini agak emergency, bisa kirim 10.000? seperti kemarin bungkus kecil aja, kirim ke rumah sekitar jam 8 gitu”.

“Terdakwa memberikan uang AS$10 ribu kepada MS Kaban melalui Direktur Keuangan PT Masaro, David Angkawijaya. Selanjutnya, setelah DIPA 69 terbit, terdakwa menemui Boen Mochtar Purnama dan memberikan amplop berisi uang AS$20 ribu, Terdakwa juga memberikan AS$10 ribu kepada Wandojo Siswanto,” tutur Riyono.

Riyono mengungkapkan, pemberian uang masih berlanjut pada 13 Februari 2008. Anggoro menghubungi sopir MS Kaban, Muhammad Yusuf dan menyampaikan bahwa MS Kaban meminta barang dikirim ke Yusuf. Anggoro memerintahkan sopirnya, Isdriatmoko mengantarkan uang AS$20 riibu ke rumah dinas Menhut.

Kemudian, pada 25 Februari 2008, Anggoro menerima SMS dari MS Kaban yang intinya meminta Anggoro menyediakan traveller cheque (TC) senilai Rp50 juta. Anggoro lalu memerintahkan Isdriatmoko mengantarkan TC tersebut ke MS Kaban di Dephut. Selang sebulan, MS Kaban kembali meminta Sing$40 ribu untuk dikirim melalui Yusuf.

Menyanggupi permintaan MS Kaban, Anggoro membeli valuta asing senilai Sing$40 ribu dan memberikannya kepada MS Kaban di rumah dinasnya. Riyono menyatakan, setelah pemberian uang, Anggoro mengikuti pertemuan di rumah dinas Menhut yang juga dihadiri pula Ketua Umum Dewan Dakwah Indonesia Syuhada Bahri.

Menurut Riyono, dalam pertemuan itu, MS Kaban membicarakan tentang permintaan bantuan lift untuk Gedung Menara Dakwah dan acara ormas-ormas pendukung Partai Bulan Bintang (PBB) kepada Anggoro. Gedung tersebut juga digunakan sebagai pusat kegiatan PBB dan MS Kaban merupakan Ketua Umum PBB.

Demi memenuhi permintaan MS Kaban, Anggoro pada 28 Maret 2008 membeli dua unit lift seharga AS$58,581 ribu plus pemasangan Rp200,653 juta dari PT Pilar Multi Sarana Utama. Lift diberikan kepada MS Kaban untuk dipergunakan di Menara Dakwah. Masih di bulan yang sama, Anggoro kembali memberikan uang kepada Yusuf Erwin Faishal.

“Uang diserahkan kepada Muhtarudin di restaurant Din Tai Fung Pasific Place, Jakarta. Selanjutnya, uang dibagi-bagikan kepada anggota Komisi IV, antara lain, Fachri Andi Leluasa Sing$30 ribu, Azwar Chesputra Sing$5000, Hilman Indra Sing$20 ribu, Muhtarudin Sing$30 ribu, dan Sujud Sirajudin Sing$20 ribu,” terang Riyono.

Batal Demi Hukum
Menanggapi dakwaan, tim pengacara Anggoro langsung mengajukan nota keberatan (eksepsi). Pengacara Anggoro, Tomson Situmeang mempersoalkan uraian dakwaan yang tidak cermat, jelas, dan lengkap. Selain itu, dakwaan dianggap tidak tepat karena penuntut umum tidak menyusun dakwaan sesuai hasil penyidikan.

Sesuai Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum membuat surat dakwaan berdasarkan hasil penyidikan. Nyatanya, hasil penyidikan yang dipergunakan adalah penyidikan dugaan perkara korupsi pemberian sejumlah uang kepada anggota Komisi IV DPR dan pejabat Dephit sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 13 UU Tipikor.

Namun, penuntut umum malah menggunakan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor untuk mendakwa Anggoro. Tomson berpendapat, surat dakwaan tidak disusun berdasarkan hasil penyidikan karena menggunakan pasal yang berbeda. Terlebih lagi, penuntut umum masih menggunakan kata “menjanjikan sesuatu” dalam uraian dakwaan.

Padahal, menurut Tomson, Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor yang didakwakan kepada Anggoro tidak memuat frasa “menjanjikan sesuatu”, melainkan hanya “memberikan sesuatu”. Oleh karena itu, Tomson menyatakan surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 KUHAP, sehingga sudah sepatutnya batal demi hukum.

“Kami meminta majelis mengabulkan eksespi dan menyatakan batal demi hukum dakwaan primair dan subsidair, sepanjang ketentuan Pasal 65 ayat (1) KUHP atau setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat diterima. Kami meminta menyatakan pemeriksaan terhadap dakwaan subsidair, Pasal 13 UU Tipikor dilanjutkan,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait