Ini Hukum yang Bisa Bikin Perusahaan Bangkrut di AS
Berita

Ini Hukum yang Bisa Bikin Perusahaan Bangkrut di AS

Perkara yang berkaitan dengan cacatnya sebuah produk bisnis tak hanya menyangkut nilai gugatan yang mencapai ratusan juta dollar, tetapi juga berkaitan dengan reputasi si perusahaan.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Ini Hukum yang Bisa Bikin Perusahaan Bangkrut di AS
Hukumonline
Profesor Hukum dari Michigan University College of Law, Nicholas J Wittner menyatakan bahwa Hukum Pertanggungjawaban atas Produk yang berlaku di Amerika Serikat berpotensi bisa membuat sejumlah perusahaan bangkrut.

Nicholas menutarakan hal ini ketika menyampaikan kuliah umum bertajuk “Emerging Trends in Product Liability Law: The Evolution of Design Defect Law and Litigation” di Indonesia Jentera School of Law di Jakarta, Rabu (16/4). 

“Biasanya ini berkaitan dengan persuahaan-perusahaan di bidang otomotif dan farmasi. Karena itu, pentingnya kita memahami hukum ini, apalagi bagi perusahaan yang kerap berinteraksi bisnis dengan Amerika Serikat,” jelasnya.

Nicholas memaparkan perkara yang berkaitan dengan cacatnya sebuah produk bisnis tak hanya menyangkut nilai gugatan yang mencapai ratusan juta dollar, tetapi juga berkaitan dengan reputasi si perusahaan. Bila perusahaan sudah dianggap memiliki produk yang buruk (atau bahkan berbahaya), reputasinya maka akan hancur.

“Ini berkaitan dengan putusan-putusan yang bernilai jutaan dollar. Dan pengacara biasanya juga suka menangani perkara ini, karena biasanya mereka mendapat fee sebesar 33 persen dari nilai perkara. Silakan saja hitung 30 persen dari jutaan dollar itu berapa,” jelasnya.

Lebih lanjut, Nicholas memaparkan diskusi mengenai “product liabilty law” bermula dari kasus “Greenman vs Yuba Power Products, Inc(perusahaan pembuat mesin jahit)” pada 1963 lalu. Istri dari tuan Greenman memberikan dirinya sebuah alat kombinasi yang bisa digunakan untuk menggergaji, mengebor dan membubut kayu sebagai hadiah Natal pada 1955.  

Lalu, pada 1957, tuan Greenman membeli tambahan alat untuk mesin tersebut untuk mengubah sepotong kayu besar menjadi sebuah piala. Setelah mengerjakan hal tersebut beberapa kali tanpa kesulian, tiba-tiba alat itu copot dari mesin dan ‘menghantam’ dahinya dan menyebabkan luka serius.   

“Kasus ini dibawa ke pengadilan dan akhirnya penggugat menang. Perusahaan memiliki ‘strict liability’ (tanggung jawab) terhadap produk yang dibuatnya,” jelas Nicholas.

Kasus ini akhirnya menimbulkan dasar hukum yang dikenal dengan “Restatement (Second) of Torts (1965). Sayangnya, lanjut Nichollas, aturan yang digagas oleh sejumlah ahli di American Law Insitute ini tidak cukup jelas untuk dipahami. “Saya sendiri bingung membacanya,” tuturnya.

Setelah mengalami kebingungan terhadap “Restatement Second” selama 30 tahun, lalu dimunculkan aturan baru yang lebih mudah dipahami. Yakni, dengan terbitnya “Restatement Third”. “Aturan ini memudahkan lawyer untuk memberi advise kepada orang awam,” tuturnya.

Nicholas memaparkan rambu-rambu pelaku usaha bisa dimintai pertanggungjawaban terhadap produknya. Pertama, adanya bukti produk tersebut cacat. Ini mengandung aspek cacat pabrik, cacat bentuk, kegagalan untuk memperingatkan, dan peringatan yang memadai.

“Contoh kegagalan untuk memperingatkan bisa ditemukan dalam kasus farmasi. Obat itu kan biasanya ada efek sampingnya. Bila efek sampingnya itu tidak disebutkan, perusahaan farmasi bisa digugat,” ujarnya.

Kedua, bukti bahwa kerugian yang dialami konsumen disebabkan oleh produk tersebut. Ketiga, ganti rugi atau kompensasi terhadap kerusakan yang timbul.
Tags:

Berita Terkait