Ditjen Pajak Akan Tertibkan Usaha Tambang yang Tidak Taat Pajak
Berita

Ditjen Pajak Akan Tertibkan Usaha Tambang yang Tidak Taat Pajak

Merespon temuan KPK.

Oleh:
ANT/RES
Bacaan 2 Menit
Ditjen Pajak Akan Tertibkan Usaha Tambang yang Tidak Taat Pajak
Hukumonline
Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Fuad Rahmany berjanji akan menertibkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) bagi pelaku usaha yang tidak menaati aturan perpajakan.

"Pengusaha-pengusaha yang mendapai izin usaha pertambangan tapi tidak taat NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) akan kami tertibkan kembali dan ini akan jadi rencana aksi yang akan kita buat serta dikaitkan dengan seluruh pemerintah pusat dan daerah," kata Fuad di gedung KPK Jakarta, Rabu.

Fuad mengungkapkan hal tersebut dalam konferensi pers bersama dengan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dan Bambang Widjojanto yang membahas mengenai kajian KPK di bidang pajak mineral dan batu bara (Minerba).

"Selama ini saat memberikan izin pertambangan tidak terkait dengan pajak, jadi pengusaha tambah yang tidak punya NPWP juga masih bisa melakukan usaha, ini ada di daerah baik kabupaten atau provinsi. Kita akan lihat apa aturan-aturan yang dapat memaksa pengusaha tambang yang kalau bila tidak 'clear' pajaknya maka izin usaha harus distop, jadi produksi tidak bisa kalau belum selesai pajaknya," tambah Fuad.

Hal itu terkait dengan temuan KPK mengenai perbedaan data produksi mineral dan batu bara yang dimiliki Ditjen Pajak maupun lembaga lain sehingga berdampak pada minimnya pengawasan terhadap pajak yang dibayar di sektor tambang.

"Kami akan berkoordinasi dengan instansi pusat dan daerah sebagai regulator yang memberikan izin usaha koordinasi dengan mereka dan kalau masih ngemplang maka akan distop produksinya," tegas Fuad.

Perbedaan data produksi misalnya data di Ditjen pajak minerba pada 2012 data mencapai 228 juta dolar AS, tapi data World Coal Association (WCA) mencapai 443 juta dolar AS, sedangkan data US Energy Information Administration (EIA) senilai 452 juta dolar AS.

"Kami tidak tahu perbedaan dari mana, siapa wajib pajak ini, dirjen pajak kesulitan karena meski kami dapat tembusan izin pertambangan tapi begitu datang ke lokasi ternyata tidak cocok dengan alamatnya, jadi informasinya sendiri tidak cocok. Tidak akurat di level teknis. Kami di Dirjen Pajak juga akan melakukan perbaikan IT "Kami minta maaf kalau kapasitas kita belum sampai tapi kami akan bangun untuk sistem 'online' agar sehingga bisa langsung dicek di pusat," tambah Bambang Widjojanto menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara dengan cadangan nomor 8 di dunia tapi menjadi negara pengekspor batu bara nomor satu di dunia.

"Penghasilan ekspor batubara hanya Rp22 triliun padahal produksi batu bara ada 228 juta ton tapi karena data yang berbeda-beda ada selisih Rp28,5 triliun yang harusnya menjadi bagian dari pemasukan," ungkap Bambang.

Adnan Pandu menegaskan bahwa dalam 15 tahun lagi, cadangan batu bara Indonesia akan habis karena Indonesia hanya memiliki 2,6 persen cadangan dunia, tapi pengekspor nomor 1 dunia "Tata kelola tidak terintegrasi jadi muncul selisih itu, temuan ini akan diserahkan ke Dirjen agar membuat tata kelola yang terintegrasi," ungkap Adnan.

KPK juga mengidentifikasi tujuh permasalahan pajak di sektor minerba.

"Pertama belum akuratnya data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada sektor pertambangan karena dari sekitar 3.826 pemegang usaha pertambangan hampir 25 persen atau 724 pengusaha tidak punya NPWP bahkan pemegang IUP (Izin Usaha Tambang) yang statusnya 'clean and clear' tidak punya NPWP," ungkap Adnan.

Kedua, kurangnya data pendungkung khususnya data produksi karena adanya perbedaan statistik di lembaga terkait, misalnya data di Ditjen pajak minerba pada 2012 data mencapai 228 juta dolar AS, tapi data World Coal Association (WCA) mencapai 443 juta dolar AS, sedangkan data US Energy Information Administration "Ketiga adanya multitafsir penerapan aturan pengenaan pajak, inilah pokok persoalan dalam sengketa pajak," tambah Adnan.

Masalah keempat adalah keterbatasan peraturan untuk mendapatkan data eksternal perpajakan. Kelima belum optimalnya data pengelolaan permintaan data eksternal pajak.

"Keenam adalah minimnya pengawasan terhadap wajib pajak karena pemeriksa pajak hanya ada 4.000 orang yang jauh dari standar negara-negara pada umumnya," jelas Adnan.

Terakhir adalah belum optimalnya fungsi analisis potensi pajak di Ditjen Pajak.
Tags: