Pakar: Pejabat JIS Tidak Dapat Dikenai Pidana
Berita

Pakar: Pejabat JIS Tidak Dapat Dikenai Pidana

Tapi bisa dimintai pertanggungjawaban perdata.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Sekolah JIS. Foto: RES
Sekolah JIS. Foto: RES
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekolah Jakarta International School (JIS) adalah perbuatan individu dalam sekolah bukan perbuatan sekolah secara institusional, sehingga pejabat sekolah terkait tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana.

"Sebab tindak pidana kesusilaan sebagaimana diatur dalam pasal 81 dan pasal 82 UU No. 23 tahun 2002 yang terjadi di sekolah JIS adalah perbuatan individu dalam sekolah, sehingga tersangka pelaku bisa dipertanggungjawabkan secara hukum pidana," kata Pakar Hukum Pidana Universitas Riau Dr Erdianto Effendi SH M.Hum di Pekanbaru, Kamis (24/4).

Pendapat demikian dikemukakannya karena seorang murid sekolah di taman kanak-kanak JIS, Jakarta Selatan, berinisial AK (6 tahun) menjadi korban pelecehan seksual di toilet sekolah. Ibu korban, menduga pelaku merupakan petugas kebersihan di sekolah tersebut dan lebih dari dua orang.

Ibu korban, T, melaporkan dugaan kekerasan seksual terhadap anaknya ke Polda Metro Jaya berdasarkan laporan Polisi Nomor: TBL/1044/III/2014/PMJ/Ditreskrimum pada 24 Maret 2014 terkait dugaan pelanggaran Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Belakangan, polisi juga memeriksa dua terduga pelaku lainnya. Temuan Kementerian Pendidikan berdasar keterangan orang tua murid lainnya lebih mengejutkan, kekerasan seksual di sana diduga telah terjadi bertahun-tahun.

Erdianto mengatakan, pejabat dan guru di sekolah tersebut juga tidak dapat dikenakan sebagai pembantu melakukan kejahatan karena syarat atau unsur pasal 56 KUHP adalah dengan sengaja memberi bantuan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

"Lalai untuk mencegah terjadinya kejahatan kekerasan seksual itu juga tidak dapat digolongkan sebagai membantu kejahatan, " kata Erdianto yang juga redaktur Jurnal Ilmu Hukum, UNRI itu.

Sementara itu jika dilihat dari aspek kriminologi, kekerasan seksual dalam sekolah JIS belum dapat disebut sebagai kejahatan korporasi, tetapi tetap dapat disebut sebagai white collar crime (kejahatan kerah putih) karena kejahatan kerah putih tidak harus dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dan para pelaku kelas atas.

"Kejahatan yang dilakukan oleh petugas kebersihan terkait jabatan dan atau pekerjaannya, karena itu lebih tepatnya dapat disebut sebagai 'occupational crime'," katanya.

Perdata
Meski begitu, Erdianto berpendapat bahwa sekolah bisa dimintai pertangggungjawaban secara administrasi negara dan perdata. "Pertangggungjawaban secara perdata dapat berupa ganti rugi materil dan immateril serta kompensasi kepada korban dan keluarga korban," kata Erdianto.

Menurut dia, pertanggungjawaban tersebut dituntut lebih karena kejadiannya di lingkungan sekolah, apalagi sekolah dengan sistem pengamanan dan disiplin yang ketat, patut juga dipertanyakan mengapa sampai terjadi peristiwa yang sama secara berulang-ulang itu.

Ia menyakini pula bahwa tidak tertutup kemungkinan masih ada korban-korban kekerasan seksual lainnya yang belum terungkap atau melaporkan diri.

"Jika kontrol sosial di sekolah tersebut terjaga dengan baik, maka sudah semestinya kejadian yang sama akan cepat diketahui, misalnya ketika si anak lama di kamar mandi, sudah sepatutnya guru bertanya mengapa anak lama di kamar mandi," katanya.

Ia menambahkan kejadian tersebut tidak dilakukan seorang diri tetapi melibatkan orang lain. Patut dipertanyakan, apakah tidak ada ketakutan akan ketahuan pihak sekolah dalam sikap batin para pelaku ketika melakukan tindakan tersebut? Dalam lingkungan yang tidak permisif atas perilaku menyimpang (deviant behavior), kata Erdianto, maka segala bentuk pelanggaran hukum dan kejahatan akan cepat terungkap.

"Namun jika sejumlah pelanggaran hukum dan kejahatan dianggap sebagai kejadian yang biasa saja, maka kontrol sosial di suatu komunitas tidak akan berjalan karena dianggap sebagai perbuatan yang biasa saja," katanya.

Sedangkan pertangggungjawaban secara administrasi negara dapat dilakukan dengan penutupan sekolah yang bersangkutan, pencabutan izin mengajar dan lain sebagainya.

Ia mengatakan, bahwa persoalan ketiadaan izin untuk penyelenggaraan Taman Kanak-kanak di JIS dengan kasus kekerasan seksual kepada peserta didik adalah peristiwa hukum yang berbeda.

"Soal izin adalah soal hukum administrasi negara, sedangkan soal kekerasan seksual adalah soal tindak pidana. Apakah jika seandainya TK tersebut telah memperoleh izin, lalu terjadi kekerasan seksual dapat dimaafkan, tentu saja tidak demikian," katanya.

Oleh karena itu, katanya, kedua persoalan menyangkut dua aspek hukum yang berbeda, maka penyelesaiannya dilakukan dengan metode yang berbeda pula.
Tags:

Berita Terkait