Masalah Hukum Jika BUMN Gunakan Jaksa Pengacara Negara
Utama

Masalah Hukum Jika BUMN Gunakan Jaksa Pengacara Negara

Ada disharmoni norma hukum. Pengacara negara bukan pengacara BUMN.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selama ini tercatat telah meneken nota kesepahaman dengan Kejaksaan. Jasa jaksa pengacara negara (JPN) dipakai untuk mewakili jika ada gugatan hukum terhadap BUMN. Tetapi bagaimana keabsahan penggunaan jasa JPN oleh BUMN di Indonesia?

Faktanya, tidak semua pegiat dan praktisi hukum setuju. Dalam kasus sengketa gedung BRI II di Jalan Sudirman Jakarta, misalnya, pengacara PT Mulia Persada Pasific, Fredrick Yunadi, menggunakan argumentasi ini, Menurut dia, BRI sebagai BUMN tak bisa menggunakan JPN sebagai kuasa hukum.

‘Gugatan’ senada datang dari praktisi hukum Agustinus Dawarja. Menurut Agustinus, nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) Kejaksaan – BUMN perlu dilihat secara cermat. Jika dimaksudkan untuk mencegah korupsi di BUMN, kesepahaman semacam itu sah-sah saja dilakukan. Tetapi jika isi MoU adalah menjadikan JPN sebagai pengacara yang mewakili BUMN dalam kasus perdata dan tata usaha negara, kesepahaman ini patut dipertanyakan keabsahannya.

“Lucu saja, benar bahwa Kejagung itu pengacara negara. Tetapi tidak benar kalau Kejaksaan itu pengacaranya BUMN,” kata Agustinus kepada hukumonline, Senin (28/4).

Agustinus melanjutkan, BUMN adalah sebagai pelaku bisnis yang kepadanya melekat hukum privat. Sementara Kejaksaan merupakan pejabat publik. Ia khawatir Kejaksaan sebagai penegak hukum akan tersandera oleh kerjasama dengan BUMN. Apalagi jika MoU berisi penyelesaian sengketa di tubuh BUMN bersangkutan. Sangat mungkin Kejaksaan terbebani tanggung jawab kerjasama. “Merujuk ke peraturan perundang-undangan, perusahaan BUMN itu berlaku hukum privat. Jangan sampai Kejaksaan menyandera diri sendiri karena secara psikologis terbebani,” ungkapnya.

Kendati perusahaan BUMN merupakan kekayaan negara, namun kekayaan tersebut sudah dipisahkan.  Dengan demikian, tegas Agustinus, jelas bahwa negara dan BUMN terpisah, sehingga penggunaan Kejaksaan sebagai pengacara BUMN adalah suatu yang keliru.

Selaku badan yang bergerak di sektor bisnis dan menjalankan peran sebagai pelaku usaha tidak sepatutnya BUMN mendapatkan pelayanan dari Kejagung sebagai pengacara negara. Menurut Agustinus, meski perusahaan BUMN dimiliki oleh negara dalam bentuk saham, namun posisi BUMN tetaplah sebagai pelaku usaha, yang sejajar dengan pelaku usaha swasta. Tidak ada perlakuan yang berbeda dengan pelaku usaha lainnya.

“MoU dalam hal sosialisasi rules, itu urgensinya apa? Jika pandangannya pengacara negara adalah pengacara BUMN juga karena BUMN punya negara, itu cacat hukum,” tegas Agustinus.

Harmonisasi peraturan
Dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Nindyo Pramono menilai MoU yang dilakukan oleh Kejagung dengan BUMN pada dasarnya lebih kepada arah pemberantasan korupsi. Kendati belum mengetahui secara pasti isi MoU Kejaksaan – BUMN, ia berpendapat, biasanya MoU dilakukan ke arah pemberantasan korupsi.

Muncul kekhawatiran tentang konflik antar norma hukum, terutama mengenai kebijakan-kebijakan manajemen BUMN yang sering dibawa ke ranah pemberantasan korupsi. “BUMN sendiri memandang kalau norma di UU publiknya belum hilang sampai sekarang, kan case manajemen bisa masuk ke ranah korupsi,” kata Nindyo.

Namun jika dikaitkan dengan kerugian negara, Nindyo menilai ada isu di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa kerugian negara bukan karena kesalahan manajemen. Jika hal tersebut terjadi, maka Kejaksaan selaku pengacara negara berhak melakukan gugatan.

“Jika doktrin kekayaan negara tidak segera diharmonisasikan dengan doktrin hukum bisnis, ini akan cenderung eksesif. Eksesnya jika perusahaan sudah go public dan swasta sudah ke pasar modal lalu kerugian manajemen masuk ke dalam kerugian negara, ya swastanya tidak mau. Apa urusannya dengan uang negara?,” ungkapnya.

Atas persoalan tersebut, ia menilai harmonisasi peraturan perlu segera dilakukan. “Kalau mau swasta juga diseret sebagai pihak yang bisa merugikan negara, ya jangan pakai embel-embel kekayaan negara yang dipisahkan. Pokoknya kalau merugikan negara karena korupsi, ya bisa dihukum. Jadi swasta pun bisa korupsi,” pungkasnya.
Tags: