Pemerintah Anggap Sistem Noken Bertentangan dengan Asas Pemilu
Berita

Pemerintah Anggap Sistem Noken Bertentangan dengan Asas Pemilu

Penyeragaman metode pemberian suara ini dapat menutup celah kecurangan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Anggap Sistem Noken Bertentangan dengan Asas Pemilu
Hukumonline
Pemerintah menegaskan sistem pemilu sebagai manisfestasi demokrasi dapat lebih efektif dan efisien dan memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber-jurdil). Ini merupakan hasil unifikasi (penyeragaman) hukum dalam penyelenggaraan pemilu secara nasional sebagai bagian dari sistem ketatanegaraan (pemilu).

”Keanekaragaman suku, budaya, bahasa, adat-istiadat bukan menonjol perbedaan satu sama lain yang menimbulkan iklim kenegaraan kurang kondusif, seperti pemberian suara dengan sistem noken dalam Pemilu di Papua,” ujar Staf Ahli Mendagri, Reydonnyzar Moenek menanggapi pengujian Pasal 154 UU No. 8 Tahun 2012tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (06/5).

Menurut Reydonnyzar apabila masing-masing daerah/suku tetap mempertahankan cara-cara kedaerahan dan kesukuannya dalam pemilu, dapat dibayangkan jika 1.127 suku yang ada di Indonesia melaksanakan sistem pemilu sesuai adat-istiadatnya? Tentu saja, akan menimbulkan berbagai macam persoalan kompleks dalam pelaksanaan pemilu.

Pemerintah memahami keabsahan sistem ”kesepakatan warga” atau aklamasi (noken) di Papua seperti tertuang dalam Putusan MK No. 47-81/PHPU.A-VII/2009. Namun, hal itu hanyalah bersifat kasuistis yang tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pemilukada itu, seperti faktor geografis, sosiologis, dan kultur yang terjadi di masyarakat tertentu.

Pria yang akrab disapa Donny ini melanjutkan seiring dengan perkembangan dinamika masyarakat tentu saja akan membangun pemahaman dalam memperbaiki pelaksanaan pemilu yang semestinya. Dengan begitu, pelaksanaan pemilu yang bercorak kedaerahan hendaknya segera diseragamkan sesuai dengan sistem yang berlaku secara nasional.

”Terlebih, sistem noken tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemilu yang demokratis atas dasarone man one person vote on value khususnya asas langsung, bebas, dan rahasia,” kata Donny.

Dia tegaskan pelaksanaan pemilu yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan justru akan merusak legiltimasi dan menciderai lembaga demokrasi. Penyeragaman metode pemberian suara ini dapat menutup celah kecurangan dari implementasi pluralitas hukum yang mengatur metode pemberian suara. ”Upaya penyeragaman huku lokal pada tatanan sistem hukum nasional harus terus disosialisasikan dan dilaksanakan”.

Sebelumnya, warga Papua Isman Ismail Asso mempersoalkan sistem coblos dalam Pemilu melalui uji materi Pasal 154 UU Pemilu Legislatif. Pemohon meminta agar sistem noken atau ikat suara agar dapat diterapkan dalam Pemilu 2014. Sebab, beberapa wilayah di Pegunungan Tengah Papua pemberian suara dengan sistem coblos dalam Pemilukada tidak bisa dilakukan, tetapi justru dengan sistem noken.

Namun, hingga kini masyarakat Papua masih beda pendapat mengenai penggunaan sistem noken dalam Pemilu 2014 lantaran terbentur dengan adanya Pasal 154 UU Pemilu Legislatif dan Peraturan KPU.

Terlebih, dalam putusannya, MK telah mengakui pemberian suara dengan sistem noken dalam sejumlah Pemilukada sebagai praktik yang didasarkan adat istiadat setempat yang dijamin UUD 1945. Karenanya, pemohon meminta MK menyatakan frasa mencoblos satu kali dalam Pasal 154 UU Pemilu Legislatif dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sistem noken hanya berlaku di Papua.

Pasal 154 menyebutkan pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan atau nama calon legislatif pada surat suara.
Tags: