MK Tolak ’Gugatan’ Pengusaha Terhadap UU Ketenagakerjaan
Berita

MK Tolak ’Gugatan’ Pengusaha Terhadap UU Ketenagakerjaan

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
MK Tolak ’Gugatan’ Pengusaha Terhadap UU Ketenagakerjaan
Hukumonline
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak uji materi Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diajukan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Dalam putusannya, MK menyatakan ketentuan yang mengatur persyaratan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan persyaratan perusahaan pemborongan telah menjamin kepastian hukum.

”Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 96/PUU-XII/2013 di ruang sidang MK, Rabu (7/5).

Sebelumnya, pengurus Apindo mempersoalkan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Pemohon berdalil Pasal 59 ayat (1), (2) yang mengatur syarat PKWT tidak memberi penafsiran yang pasti. Misalnya, penerapan Pasal 59 ayat (7) yang mengatur akibat batal demi hukum perubahan PKWT menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) jika tak penuhi syarat dinilai menjadi multitafsir baik pemerintah, pengusaha, maupun pekerja.

Pemohon menilai Pasal 65 ayat (8) UU Ketenagakerjaan tidak jelas saat diterapkan  karena penafsiran yang berbeda-beda. Misalnya tentang jenis pekerjaan apa yang dapat diserahkan pada perusahaan pemborongan, lembaga mana yang berwenang menentukan terpenuhi atau tidaknya syarat perusahaan penerima pekerjaan pemborongan.

Pasal 66 ayat (4) juga dinilai multitafsir terkait jenis-jenis pekerjaan yang dapat diserahkan melalui perusahaan pemborongan, lembaga mana yang berwenang menentukan terpenuhi atau tidaknya norma UU Ketenagakerjaan, dan mekanisme penegakkan norma hukum apabila tidak terpenuhinya syarat-syarat jenis pekerjaan dan legalitas syarat badan hukum perusahaan penerima pekerjaan pemborongan. Karena itu, pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan frasa ”demi hukum” seperti dimaksud Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan berkaitan dengan syarat yang harus dipenuhi dalam perubahan status dari Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu. ”Ketentuan mengenai syarat-syarat tersebut justru merupakan jaminan kepastian hukum yang adil bagi para pihak dalam hubungan kerja,” hakim konstitusi Anwar Usman, saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Terkait dalil pemohon adanya multitafsir terhadap frasa ”demi hukum” dalam pelaksanaannya di lapangan baik dari perspektif pengusaha maupun pekerja/buruh merupakan problem hukum yang bersifat implementatif dari pelaksanaan UU, bukan problem hukum yang bersifat pertentangan norma UU terhadap UUD 1945.

”Jika terdapat ketidaktaatan salah satu pihak dalam pelaksanaannya seperti disyaratkan dalam UU Ketenagakerjaan, hal itu menjadi kewenangan pemerintah, yang menyelenggarakan  bidang ketenagakerjaan, yang salah satu fungsinya adalah untuk melakukan pengawasan agar para pihak mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya UU 13/2003,” tutur Anwar Usman.

Namun demikian, lanjutnya, apabila terjadi perselisihan mengenai syarat-syarat tersebut yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang tersedia di luar pengadilan, maka perselisihan tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan.

Hal ini sudah dipertimbangkan dalam putusan No. 27/PUU-IX/2011 yang menyatakan, peran Pemerintah sangat penting untuk mengawasi terjadinya penyalahgunaan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Misalnya, melakukan PKWT dengan pekerja/buruh padahal jenis dan sifat pekerjaannya tidak memenuhi syarat yang ditentukan.

Lagi pula, jika terjadi pelanggaran Pasal 59, hal itu merupakan persoalan implementasi, bukan persoalan konstitusionalitas norma yang dapat diajukan gugatan secara perdata ke peradilan lain.

Usai sidang, kuasa hukum Apindo Ibrahim Sumantri mempertanyakan makna ”demi hukum” itu apa? Dia menilai putusan itu masih belum memberikan jaminan kepastian hukum. Sebab, frasa ”demi hukum” disebutkan tidak batal demi hukum, tetapi kalau syaratnya terlanggar bisa diselesaikan dengan musyawarah, kalau mentok baru bisa diajukan ke persidangan.

Dia menjelaskan ketiga pasal itu berkaitan dengan sifat dan jenis pekerjaan yang bisa di-PKWT-kan itu apakah sebagai pokok atau penunjang sering menimbulkan perdebatan. Sementara yang jadi perdebatan ada satu norma (persyaratan) kalau tidak tepenuhi demi hukum beralih menjadi pekerja PKWTT. Seharusnya, frasa demi hukum mesti ditafsirkan adanya putusan pengadilan ketika terjadi perbedaan.

“Pasal itu sering menjadi perbedaan pendapat mengenai jenis pekerjaan yang bisa di-PKWT-kan yang akhirnya sering terjadi perselisihan. Jenis pekerjaan yang bisa diborongkan apa saja. Sekarang kalau dari Permenakertrans dibuat alur proses, Tetapi kalau normanya sendiri ini tidak diatur,” katanya.
Tags:

Berita Terkait