Wajah Perbankan Setelah Revisi DNI
Fokus

Wajah Perbankan Setelah Revisi DNI

Pemerintah kembali mengubah Daftar Negatif Investasi. Perbankan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Foto: RES (Ilustrasi)
Foto: RES (Ilustrasi)
Untuk kesekian kalinya pemerintah mengubah daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dalam rangka penanaman modal. Peraturan Presiden (Perpres) No. 39 Tahun 2014 menjadi payung hukum Daftar Negatif Investasi (DNI) terbaru, dan mulai berlaku 24 April 2014.

Kebijakan terbaru ini menggantikan Perpres DNI 2010. Salah satu pertimbangan perubahan adalah persiapan Indonesia menghadapi ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Perubahan DNI adalah ‘untuk lebih meningkatkan kegiatan penanaman modal di Indonesia dan dalam rangka pelaksanaan komitmen Indonesia’.

Perpres No. 39 Tahun 2014 mengatur bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. Masing-masing bidang dimuat dalam lampiran Perpres. Yang tertutup misalnya budidaya ganja, dan yang terbuka dengan syarat adalah perbankan. Jika tak dicantumkan dalam lampiran berarti dianggap sebagai bidang usaha yang terbuka tanpa persyaratan.

Beragam sikap muncul setelah Perpres DNI terbit. Pemerintah menganggap ini sebagai kebijakan antisipasi dan harus dilakukan untuk menyambut globalisasi perekonomian. Bagaimana dengan perbankan? Polemik rencana akuisisi Bank Tabungan Negara (BTN) oleh Bank Mandiri bisa dijadikan contoh. Rencana akuisisi itu berkaitan dengan upaya Kementerian BUMN memperkuat perbankan plat merah menghadapi persaingan regional setelah MEA berjalan.

Perbankan adalah bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjadi ukuran persyaratan yang harus dipenuhi investor. Misalnya, syarat pencadangan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), kemitraan, izin khusus, dan persyaratan modal.

Pengamat perbankan Fauzi Ichsan berpendapat kebutuhan atas investasi asing di Indonesia masih sangat besar. Apalagi neraca berjalan Indonesia masih cenderung defisit. Mengundang investasi asing salah satu jalan keluar menutupi defisit neraca tersebut. Pada intinya, Fauzi mengatakan harus melihat kebutuhan ketika bicara tentang DNI. “Kalau persoalan DNI, kita harus lihat kebutuhannya. Butuh investasi asing atau tidak? Percuma kalau butuh tetapi kita tutup,” kata Fauzi. “Defisit harus ditombok dengan investasi asing,” sambungnya.

Fauzi melihat sesuatu yang wajar jika pemerintah lebih membuka diri untuk investor asing. Bagaimanapun regulasi yang dibuat pemerintah harus ramah pada investasi.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik, Natsir Mansyur mengaku belum membaca isi dari DNI yang baru saja terbit. Kendati demikian, secara keseluruhan ia setuju jika isi DNI diatur untuk menarik investasi. “Saya belum baca secara keseluruhan, tetapi sepanjang untuk menarik investasi, saya sih setuju-setuju saja,” katanya.

Tetapi pengamat hukum internasional, Hikmahanto Juwana, meminta semua pihak berhati-hati membaca DNI. Sikap hati-hati penting terutama untuk sektor-sektor tertentu seperti perbankan. Keterbukaan penuh bidang usaha perbankan bisa beresiko. “Ini harus hati-hati. Sektor Perbankan di Indonesia selama ini sudah liberal,” kata Hikmahanto saat dihubungi oleh hukumonline, Senin (05/5).

Perpres DNI 2014 sebenarnya tidak banyak berubah dari DNI 2010 di  bidang perbankan. Itu artinya, asing tetap terbuka masuk ke sektor perbankan. Ironisnya, perbankan Indonesia sulit masuk ke negara ASEAN lainnya. “Jangankan membuka cabang, membuka ATM saja hanya boleh di area Kedutaan Besar Republik Indonesia. Ini artinya, hanya untuk masyarakat Indonesia saja”. Hikmahanto melihat ada perbedaan perlakuan.

Untuk itu, ia menyarankan aturan investasi untuk sektor perbankan harus dikoordinasikan oleh pemerintah dalam hal ini Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kepada Bank Indonesia (BI). Jika tidak, bank nasional dikhawatirkan akan sulit bersaing dengan bank negara tetangga. “Kepentingan membuka cabang di luar negeri itu lebih kepada prestise bank-bank nasional di mata internasional,” ungkapnya.

Dalam revisi UU Perbankan yang kini tengah dibahas oleh Komisi XI DPR, asas resiprokal  kembali mencuat. Namun beberapa pihak seperti Direktur Utama PT Bank Central Asia, Tbk (BCA), Yahya Setiaatmaja justru berpendapat, sebaiknya pemerintah dan DPR tidak perlu terlalu mengoptimalkan asas resiprokal. Ia menyarankan agar lebih mengurangi penguasaan asing pada sektor perbankan yang saat ini kepemilikan saham maksimal 99 persen.

Tetapi lagi-lagi, belum ada penegasan, terutama dari Komisi XI DPR untuk melakukan pembatasan terhadap investasi asing di sektor perbankan. Keinginan para pemangku kepentingan dalam negeri agar porsi kepemilikan asing dapat dikurangi dari 99 persen dalam revisi UU Perbankan, belumlah jelas. Sayangnya, DNI tidak mengakomodasi pembatasan itu.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis sempat mengatakan, sejauh ini DPR memang belum bisa memastikan apakah akan mengurangi kepemilikan saham asing pada perbankan atau tidak. Hal tersebut masih menjadi pembahasan oleh DPR bersama dengan pemerintah dan pemangku kepentingan. DPR juga akan terus berkomunikasi dengan OJK untuk mengkaji kepemilikan asing pada sektor perbankan ini.

Lebih lanjut ia menilai, kekhawatiran aturan investasi sebesar 99 persen pada sektor perbankan tidak hanya dibebankan kepada pembahasan RUU Perbankan saja. Sebaiknya pemerintah juga mencabut aturan yang memberikan keleluasaan investasi. Jika pada akhirnya investasi sektor perbankan tidak mengurangi porsi bagi asing, setidaknya Harry berharap bank asing dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia.

Itu baru bidang usaha perbankan yang tak banyak mengalami perubahan. Gejolak dan perdebatan mungkin akan muncul pada bidang usaha lain, terutama layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. MEA sudah di depan mata, dan mau tidak mau, masyarakat harus mempersiapkan diri menghadapi tatanan ekonomi global dengan segala implikasinya.
Tags:

Berita Terkait