Politik Dalam Karung
Tajuk

Politik Dalam Karung

Kita menyaksikan begitu banyak kemunafikan dalam proses politik yang terjadi saat ini. Ideologi politik tidak menjadi penting lagi karena mereka bisa berkoalisi dengan parpol dengan platform dan program apa saja.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Politik Dalam Karung
Hukumonline
Hari-hari ini kita semua menyaksikan serbuan drama politik dalam banyak ruang publik. Seorang teman mengatakan: “if you want to understand Indonesian politics, you need to understand the Indonesian tv drama (sinetron) first”. Saya cenderung setuju, karena semua kegiatan para politisi akhir-akhir ini hanya mengenai segala yang serba kemilau. Pencitraan yang mengeksploitasi segala apa yang bisa berujung pada kemenangan dalam pileg dan pilpres. Dan kemenangan hanya berarti memegang kekuasaan, bukan pada proses politiknya, bukan pada bagaimana mengajak para pemilih untuk mendukung program dan langkah aksi untuk perbaikan bangsa ke depan.

Pencitraan begitu hebatnya memasuki ruang-ruang publik, termasuk rakyat kecil yang serba minim pendidikan, pengetahuan dan eksposur tentang rekam jejak dan latar belakang para pemberi citra. Segala apa dijual sebagai kekuatan. Ketegasan sebagai eks militer, kereligiusan, bahkan kebersahajaan yang semua tidak ada hubungannya dengan efektivitas pemerintahan, kemampuan menyetir kepentingan negara dalam persaingan global, dan pemerintahan yang menjamin governance yang tinggi, dijual sebagai cara menyihir pemilih, terutama pemilih baru atau “non-well-informed voters”.   

Ketika parpol berada dalam genggaman kekuasaan Orde Baru, memang ideologi politik menjadi semakin kabur. Mungkin kita bisa memberi suatu batas toleransi, karena memang itu dibutuhkan untuk “survival”. Tetapi ketika kebebasan berpolitik telah muncul kembali di Indonesia sejak awal reformasi, ideologi politik parpol juga tetap kabur. Istilah ideologi mungkin sudah ditinggalkan, karena dianggap sangat kiri, dan sebagai gantinya dimunculkan istilah-istilah baru, yaitu “platform” dan “program”, untuk menunjukkan bahwa parpol bisa melakukan maneuver bebas dengan platform dan program.

Dengan kacamata yang lebih jernih orang-orang yang tahu rekam jejak para politisi dan gerakan-gerakannya kini, bisa melihat bahwa tidak terlihat ada perbedaan nyata pada Golkar dan parpol sempalannya. Demikian juga dengan parpol berbasis Islam, dan parpol yang mendukung nasionalisme yang mau didengar sebagai patriotik. Nasionalisme aneh, dengan janji menguasai aset negara dan menasionalisir perusahaan asing, juga digembar-gemborkan oleh sejumlah parpol yang ingin dianggap heroik tetapi sesungguhnya malah terjebak ke dalam alam pikir supra nasionalis. Sementara kalau dilihat rekam jejaknya, sebagian besar dari mereka bisa menjadi seperti sekarang ini (kaya raya) karena diuntungkan oleh kegiatannya menjalankan konsep kapitalisme murni. Bahkan sebagian diantaranya pernah di masa lalu menjadi bagian terpenting pemerintahan yang telah menerapkan sistem ekonomi terbuka dan mengundang asing untuk bancakan aset murah Indonesia.

Begitulah, kita menyaksikan begitu banyak kemunafikan dalam proses politik yang terjadi saat ini. Ideologi politik tidak menjadi penting lagi karena mereka bisa berkoalisi dengan parpol dengan platform dan program apa saja. Program mereka berupa garis besar kebijakan ekonomi juga mereka sadari sendiri tidak akan bisa dicapai hanya dengan slogan dan kampanye, karena sistem ekonomi kita yang sudah terlanjur sangat tergantung pada impor barang modal asing, teknologi asing, jaringan pasar asing, dan pendanaan asing. 

Kepentingan rakyat yang mereka sebutkan dalam kampanye sebagai tujuan mereka mendapatkan kekuasaan, merupakan janji-janji kosong yang mereka sendiri sadar betul tidak akan mampu memenuhinya.

Jangan-jangan pilpres mendatang ini kita sekali lagi akan diberi pilihan yang menyesakkan dada lagi. Bukan memilih pemimpin terbaik yang mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, tetapi memilih pemimpin yang dianggap paling tidak berbahaya atau tidak merugikan untuk perbaikan Indonesia di masa mendatang. Anda tidak tahu apa yang akan muncul dari dalam situ. Politik sekarang sudah masuk karung, demikian juga pemimpinnya. Seperti juga Tom Hanks sebagai Forest Gump mengatakan “life is like a box of chocolate”, kita tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Mudah-mudahan ini tidak terjadi, walaupun sekarang ini dengan perkiraan-perkiraan yang semakin bisa diprediksi dengan teknologi maju, seringkali mimpi buruk kita menjadi kenyataan.

Pertengahan Mei 2014
ats
Tags: